Chereads / Nadia Secret Admire si Boss / Chapter 9 - BAB 9 Mobil Mogok pembawa berkah

Chapter 9 - BAB 9 Mobil Mogok pembawa berkah

Aku kira dia meneleponku untuk,-

"Ah! Lagi-lagi aku memikirkan hal yang tidak-tidak," aku mengusap keningku sendiri.

Tentu saja dia meneleponku untuk pekerjaan, memangnya untuk apa lagi, memangnya apa yang aku harapkan? 

Lagipula  ini memang salahku, aku lupa kalau hari ini ada janji meeting. Aku malah menjadi kehilangan fokus.

Segeralah aku beranjak dari tempat dudukku, lalu kembali ke kantor, sebelum aku dengar lagi celotehannya.  

Berhubung sopir yang biasanya mengantar mama sedang cuti, jadi mama meminjam sopirku untuk mengantarkannya pergi ke luar kota.

Waktunya sudah sangat mepet. Tidak ada jalan lain, aku sendiri yang akan menyetir mobil. Aku akan ke Prisma Group bersama Nadia.

"Hey kenapa kamu duduk di belakang, memangnya aku sopirmu?" Tanyaku kesal. Bisa-bisanya dia di belakang seperti itu.

Lalu dengan langkah malas dia membuka pintu mobil dan berpindah posisi duduk di samping kemudi.

"Aku tidak menyuruhmu duduk disana Nadia," kataku sambil mengecek jadwal di ponselku.

"Lalu saya mau anda suruh duduk dimana pak?"

"Iya kamu yang nyetir, masak saya yang menyetir."

"Iya bagus, sekarang aku merangkap bekerja sebagai sopir pribadi juga," gerutunya berbisik, padahal terdengar juga olehku.

"Aku dengar Nadia."

"Dengar apa? Saya tidak bilang apa-apa," sanggahnya setengah sewot.

Benar kan? Dia lebih galak sekarang.

Iya, meeting kali ini memang hanya diwakilkan aku dan Nadia saja. Biasanya akan ada Adit juga, tapi aku sengaja memberi tugas lain padanya. Agar dia tidak ikut meeting. Aku menyipitkan mata dan tersenyum licik.

Nadia memasang wajah kesal. Tapi entah kenapa dia menjadi terlihat mengemaskan.

Nadia membuka pintu sampingku dan meraih tasnya dengan kasar, hingga ponselnya terjatuh.

"Dasar ceroboh, ponselmu jatuh nih," ledekku dengan berpura-pura memasang wajah dingin.

Dia tidak menjawab, tapi menyuruhku mengambilkan ponselnya yang berada tepat di ujung pintu mobil.

"Tolong pak, ambilkan ponsel saya," pintanya.

"Kau menyuruhku?"

Tanpa basa-basi Nadia mengambil sendiri ponselnya.

Aku kaget. Rambutnya menyibak tepat ke arah wajahku, dan aku sempat melihat leher mulusnya. 

Mataku membulat sempurna. Aku menelan ludah. Dan jantungku seperti berdetak tak beraturan. Napasku tersengal-sengal.

Aku berusaha tenang. Kenapa dia harus seperti ini sih? 

Aku merasa tidak karuan seperti ini. Tapi sepertinya dia tapi merasa seperti yang aku rasakan. Dia justru bertambah kesal. Dia membuang nafas kasar.

Mungkin karena kesal. Nadia menjadi menyetir mobil ugal-ugalan. Dan itu membuatku menjadi sangat takut. Perutku menjadi mual hingga mau muntah.

"Nadia kau mau membunuhku ya!?" Teriakku panik, aku berpegangan diantara kursi samping kananku dan pegangan atas pintu mobil sebelah kiri.

Aku tidak menyangka, Nadia ternyata menakutkan kalau marah.

"Bapak bilang kita buru-buru, saya kalau nyetir emang gini pak," jawabnya menyunggingkan senyuman.

"Hentikan Nadia!" 

Nadia mengerem mendadak. Hingga membuatku seperti terjungkal. Padahal aku sibuk mengatur tempo nafasku yang seakan sudah berlari maraton karena takut. Tapi lihat wajahnya. Nadia terlihat santai, bahkan dia tidak merasa bersalah sama sekali.

Beberapa detik kemudian aku menyuruhnya turun. "Turun kamu Nadia, biar aku yang menyetir."

"Terus saya duduk dimana pak?" tanyanya.

"Terserah mau duduk dimana, diatas juga boleh!" 

Lalu Nadia berpindah duduk di kursi belakang.

"Kamu menyetir sudah seperti orang tidak waras saja, apa kau mau membunuhku?" gerutuku, yang dibalas gerakan bibir yang meledek mengikuti kata-kataku.

Di tengah perjalanan aku merasa ada yang tidak beres dengan mobilku. Mobilnya terasa oleng.  Dan akhirnya mogok. Aku segera menepikan mobil.

Aku periksa bannya tidak bocor. Apa mungkin mesinnya yang bermasalah. 

"Pasti semua ini terjadi karena kamu tadi menyetir secara sembarangan, makanya jadi rusak," aku melirik tajam ke arahnya.

"Kok jadi nyalahin saya?" protesnya.

"Memang kamu tadi nyetir ugal-ugalan kan? makanya jadi gini."

"Ya lain kali jangan suruh saya nyetir lagi," kilahnya.

"Telepon mobil derek sana!?" suruhku kesal.

"I iya Pak," jawabnya gugup, sambil sibuk mencari ponselnya di dalam tasnya.

"Duh, kok lama sekali ya?" Aku mulai cemas.

Sudah mondar-mandir dari tadi, tapi montir belum juga datang.

"Gawat kalau sampai telat," aku bertambah panik, aku berusaha menelepon mobil dereknya lagi. Mereka bilang  sedang dalam perjalanan.

"Dah nggak ada jalan lain, Nadia ambilkan kunci-kunci di belakang!" Suruhku dengan menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kasar.

"Ini pak, tapi,- apa yang akan bapak lakukan dengan kunci-kunci ini?" tanyanya penasaran.

Nadia menelan ludah cemas, " jangan bilang, bapak nyuruh saya benerin mobil?" 

"Nggak, nggak," Nadia menggelengkan kepalanya.

"Emangnya kamu bisa?" tanyaku.

"Ya nggak bisa dong pak, ih," jawabnya sewot.

"Kalau tidak bisa, setidaknya diamlah."

"Tentu saja mau mengecek dan membenahi mesinnya," jawabku malas.

Aku melepas jasku, agar tak kepanasan. Aku sampirkan pada kaca spion. 

Tapi entah kenapa Nadia justru heboh. Nadia takut aku kotor.

"Lho pak, jangan pak! nanti tangan bapak kotor...kita mau meeting lho!" Nadia heboh.

"Lagian emang bapak bisa benerin mobil?" 

"Kamu meremehkan saya!?" Tanyaku kesal.

"Ya gimana, dulu aja bapak main sepak bola aja takut, ini benerin mobil," jawabnya meledek.

"Nadia…" 

"Iya iya, okey saya diam," jawabnya sambil memberi isyarat gerakan jari mengunci mulut.

"Lagipula sepak bola dan membenahi mobil adalah sesuatu yang berbeda Nadia," kilahku.

Sial, dia masih ingat saja kejadian waktu itu, gerutuku dalam hati, dengan gerakan bibir komat-kamit ala Mister Bean.

Kunci sudah ditangan. Aku mulai mencari kerusakan, atau penyebab mobilnya oleng dan nyaris mogok.

"Nah, ini dia penyebabnya," aku merasa lega menemukan penyebabnya, aku lap keningku yang bercucuran oleh keringat dengan kemejaku.

Tiba-tiba sebuah tangan, dengan sigap mengelap keningku dengan tisu.

Aku menoleh kaget. Ternyata Nadia yang mengelap keringat di keningku.

Dia juga ikut kaget. Setelah itu kami saling canggung. Seperti ABG saja. Padahal dalam hidupku aku belum pernah merasakan ini sebelumnya.

"Ma maaf Pak, saya reflek, abis keringat bapak banyak sekali, kan bapak mau meeting sebentar lagi." katanya terbata-bata, dia juga menjadi canggung.

Aku mengangkat kedua alisku. "Okey," jawabku singkat tak kalah canggung.

Aku tidak boleh baper (bawa perasaan) tidak tidak,-

"Nadia, coba kamu nyalakan mesinnya! sepertinya sudah bisa di starter."

"Baik pak," jawabnya sigap.

Brem brem brem… mobilnya nyala, akhirnya nyala juga. Lalu apa gunanya menelepon mobil derek tadi?

"Pak, bisa nyala lagi," kata Nadia riang.

Entah kenapa wajah riangnya membuatku senang, dan tanpa sadar aku tersenyum. Dia manis kalau tersenyum.

Saking riangnya dia keluar dari mobil, lalu melompat-lompat seperti anak kecil, hingga hampir saja mencelakai dirinya sendiri.

Dia hampir terserempet motor karena kecerobohannya. 

"Nadia awas…!" teriakku.

Tanganku reflek meraih tangan Nadia agar tidak terserempet motor tadi.  Adegan seperti di sinetron pun terjadi.cDan tanpa disengaja aku

merangkul Nadia. Setelah itu kami saling berpandangan. Ternyata kalau dilihat-lihat dia sangat cantik.

Dua detik kemudian kami saling tersadar. Dan tentu bertambah canggung.