Nadia tersipu malu. Dia segera berdiri. Begitupun aku, segera membetulkan posisiku. Aku meraih jasku. Aku berusaha tenang. Aku bersikap sewajar mungkin.
Aku tidak kekurangan akal. Aku menyuruh Nadia menelepon kembali mobil dereknya.
"Nadia telepon mobil dereknya."
"Iya Pak, payah, kenapa mereka lama sekali?" Dia terlihat gugup.
Saking gugupnya dia terburu-buru masuk mobil. Dia tidak sadar, kalau dia sedang duduk di sampingku. Kalau dia sadar dia akan berpindah ke kursi belakang. Tidak, tidak,-
Tuhan aku mohon, Jangan biarkan dia duduk di belakang Tuhan. Biarkan dia di sampingku.
Eh, kok aku mikir gini ya? Terkadang aku sadar, akhir-akhir ini aku menjadi seperti orang gila saja. Sikapku pada Nadia menjadi plin-plan.
Ekor mataku melirik ke arahnya. Sial, aku menyetir mobil, kenapa dia malah asyik memainkan gawainya? Dia terlihat cekikikan dengan benda itu. Sementara aku malah seperti sopirnya sekarang. Aku mencebikan bibir.
Tapi aku tidak punya pilihan lain selain mengalah. Mau bagaimana lagi? sebentar lagi kami akan sampai di Prisma group.
Pulang dari Prisma Group ponsel Nadia mati. Yes! dia tidak akan sibuk lagi dengan gawainya itu.
"Yah...lowbat lagi ponselku," gerutunya.
Berbeda denganku. Sebenarnya aku justru senang ponselnya mati. Tapi kebahagianku itu hanya bertahan beberapa detik. Karena setelah itu dia tertidur pulas. Iya bagus, sekarang selain menjadi sopir, aku menjadi baby sitternya juga, Tck!
Dia tertidur pulas sekali. Aku memiringkan badanku, sementara sikuku menyenggol lengannya. Aku sengaja memiringkan badanku, agar kalau dia terbangun aku bisa bilang kalau aku tidak sengaja menyenggolnya. Tapi ternyata dia tidak bangun. Astaga dia tidur atau pingsan sebenarnya?
Belum puas dengan reaksinya aku sengaja membelai pipinya. Astaga pipinya bukan hanya cerah, tapi halus dan mulus sekali.
Dan melihat wajah polos itu. Begitu cantik. Aku terlena melihat wajah Nadia. Hingga hampir saja aku menabrak pembatas jalan. Sontak aku injak rem mobilku segera. Nadia bangun dan kaget.
Aku lebih terkejut sebagai sopirnya. Napas kami berdua menjadi terengah-engah.
Nadia marah. "Bapak kenapa sih ngerem mendadak? Kaget tau!"
"Bapak kalau mau ngeprank malaikat maut jangan ajak-ajak saya ya," dia marah masih dengan napas terengah-engah.
Mungkin karena melihatku yang diam, dan terpaku tak berdaya dia malah jadi kasihan.
"Pak? Kok diem?"
"Aduh...jangan buat saya takut dong pak," dia menjadi panik, Nadia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"Oke, bapak tenang, ambil napas dalam-dalam, iya, buang," Nadia memberi arahan agar aku tenang, dan aku mengikutinya.
Dengan sigap dia mengambil air mineral yang aku sediakan di belakang kursiku.
"Minum pak, minum."
Aku minum dengan tangan masih gemetar.
"Kalau bapak nggak siap nyetir, biar saya yang menyetir oke?" Nadia menawarkan diri.
"Tidak-tidak, kalau kau yang menyetir mobil, aku bisa kena serangan jantung," tolakku cepat.
"Lalu maunya bapak gimana? Saya mesti gimana?"
"Nah itu ada kopi shop, saya antar kesana dulu gimana? abis itu terserah bapak," sarannya.
"Kalau nggak pesen taksi online aja pak, biar mobil saya yang bawa?" tambahnya.
"Enak aja mau bawa mobil saya, nanti lecet kamu buat kebut-kebutan," jawabku sewot.
"Ke kopi shop aja deh, terpaksa!"
"Ya terserah," jawabnya enteng.
Nadia menarik sebuah kursi untukku duduk. Dia memperlakukan aku seperti anak kecil, "Duduk sini ya pak, biar saya pesankan sesuatu untuk anda," suruhnya.
Aku hanya bisa menurut, sambil memijat-mijat kepalaku sendiri yang terasa pusing.
Tidak butuh waktu lama untuknya memesan makanan. Nadia datang membawa nampan berisi hot chocolate dan cheese burger.
Tanpa basa-basi aku langsung menyesap hot chocolate yang ada di depanku. Aku juga tanpa ragu melahap dengan rakus cheese burgernya.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Nadia. Dia hanya menemani aku makan, lalu kembali ke kantor. Kondisiku sudah membaik, jadi aku sendiri yang menyetir mobil.
***
Pagi hari yang cerah. Aku pergi ke kantor dengan suasana hati yang baik.
Sepertinya menyenangkan kalau bisa ngerjain Nadia. Aku tersenyum licik.
Aku menelponnya dari telepon kantor.
"Nadia, tolong ke ruangan saya," suruhku.
"Baik pak," jawabnya menurut.
Beberapa detik kemudian Nadia masuk.
"Iya pak, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Tolong bikinkan saya kopi ya?" Suruhku.
"Kenapa bapak menyuruh saya bikin kopi? bukannya biasanya nyuruh OB?" Tanyanya ketus.
"Soleh sedang cuti Nadia, kamu saja," jawabku tak mau kalah.
Soleh adalah OB yang biasa aku suruh bikin kopi dan memesan makanan untukku. Aku memang sengaja memberikan cuti pada Soleh.
"Baik pak," jawabnya pasrah.
Tak butuh waktu lama untuk Nadia membuatkan aku kopi.
"Permisi pak, ini kopi anda."
Aku menyesap sedikit kopi buatan Nadia, tapi sebelum dia keluar dari ruanganku, aku memanggilnya lagi. Padahal hampir saja dia meraih knop pintu.
"Nadia ini tidak enak, kamu bisa tidak sih bikin kopi?"
Nadia membalikkan badan. "Masak sih pak?" dia nampak berpikir.
"Ya maaf saya kan nggak biasa bikin kopi buat bapak," elaknya, padahal dulu dia yang setiap hari membuatkan aku kopi.
"Tolong belikan saya kopi di tempat kemarin itu ya?"
"What?!"
"Jauh lho itu pak?" Nadia sewot.
"Lagian kenapa harus nyuruh saya sih pak? Kalaupun nggak ada Soleh kan ada OB yang lain, kerjaan saya juga masih banyak ini," protesnya.
Singkat cerita akhirnya Nadia mengalah. Dia mau membelikan aku menu yang seperti kemarin sore, di tempat yang sama.
Berulang kali aku mengecek jam. Kenapa lama sekali Nadia belinya? Aku memegangi perut dan memberengut kan wajah.
Lalu beberapa menit kemudian Nadia datang membawa yang aku pesan.
Nadia menaruh bungkusannya di meja kerjaku "Ini silahkan pak," ungkapnya ramah. Senyumnya manis dan mengembang. Tumben sekali. Akhir-akhir ini mukanya dingin.
"Hmm, taruh situ," jawabku singkat.
"Selamat makan pak, segera dimakan lho pak, nanti kalau udah dingin nggak enak."
"Saya juga dah susah-susah carikan sarapan buat bapak," imbuhnya.
Aku melirik dari balik lap top, walau sebenarnya aku sudah sangat lapar, tapi aku harus jaim di depannya.
Setelah Nadia keluar dari ruanganku, aku langsung membuka bungkusannya. Baunya harum sekali. Ini pasti enak.
Aku menggigit cheese burger nya dengan lahap. Tak lama mukaku memerah karena kepedasan.
"Haaahhh, pedas…"
Karena kepedasan aku meminum hot chocolatenya. Dan sedetik kemudian aku menyemburkannya. Hot chocolate apa ini? Kok rasanya asin?
Sial! Nadia berbalik mengerjai aku rupanya. Pantas tadi dia senyum dan ramah sekali waktu menyerahkan makanannya.
Nadia tahu aku tidak bisa memakan makanan yang sangat pedas. Dia sengaja menaruh banyak saos pedas di dalamnya. Dan hot chocolate ini, pantas saja dia susah-susah mencarikan, mana ada hot chocolate asin begini
"Nadia…!" Teriakku geram.