***
Kembali ke situasi kantor.
"Kamu ingat kan sekarang?" tanya Roni, yang membuyarkan lamunanku.
"Sudah lupa," aku mengelak.
"Aku yakin memori kamu tidak sependek itu Nadia," ucapnya, sambil meraih air mineral.
"Nih minum dulu," Roni menyodorkan aku air minum.
"Saya nggak haus pak," jawabku, sebenarnya aku menahan ingin buang air kecil.
"Saya malah lagi kebelet pipis."
Aku bangkit dari sofa dan mau menuju ke toilet dengan bantuan cahaya senter pada ponselku. Malang nasibku, ku urungkan niatku untuk ke toilet, ponselku baterainya low lalu mati beberapa detik setelahnya. "Celaka." Decihku.
Aku menarik bibirku ke dalam dan mengarahkan ekor mataku ke arah Roni. Aku bermaksud meminjam ponselnya untuk ke toilet. "Pak, saya pinjem ponselnya sebentar, ponsel saya lowbat, saya nggak bisa lihat apa-apa," ungkapku ragu.
"Mau kamu taruh dimana ponsel saya?" mahal, nanti kotor atau kena air saya yang rugi."
Dia berbicara dengan mimik wajah yang terlihat menyebalkan sekali.
"Saya mohon pak, perut saya sudah sakit ini, menahan pipis," aku menelakupkan tangan memohon padanya.
"iya saya pinjamkan," Roni menjawab dengan wajah datar. Mungkin dia kasihan, karena aku telah memohon padanya tadi. Lalu dia bangkit dan menuntunku cepat-cepat. "Ayo cepat, kamu ini menyusahkan saya saja!"
"Ta tapi…" aku jadi terbata-bata.
"masak anda ikut gimana sih?" Protesku. Tapi aku benar-benar sudah kebelet pipis, aku memang sudah tidak kuat menahannya. Jadi terpaksa aku menurut padanya.
Aku menyuruhnya berdiri di depan pintu toilet. "Anda disini aja, nggak boleh ngintip apalagi masuk!" Aku mewanti-wanti dia. Aku takut dia akan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Dia terkekeh. "Buat apa ngintip,kalau aku mau udah aku lakukan sejak dulu Nadia."
"Pak Roni! nanti saya getok pakai, pakai… pakai apa ya?" Dengan bantuan cahaya dari ponsel yang terbatas aku melihat sekitar. Aku mencermati setiap barang yang ada di toilet. Dan aku tidak melihat ada sesuatu yang bisa dipakai untuk memukul kepalanya.
"Mau getok pakai apa? Kamu pikir toilet saya wc umum ada gayungnya hah?" Dia berhasil mengejekku. Oke aku kalah aku malas meladeninya.
Keluar dari toilet tiba-tiba aku jadi menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Iya aneh, bagaimana bisa kantor sebesar ini sampai mati lampu dalam waktu yang lama. Seharusnya ada mesin genset di kantor ini. Apa Roni sengaja mengerjai aku ya? Aku berjalan sambil memikirkan hal itu.
"Pak,- anda lagi ngerjain saya ya?" Aku memandangnya penuh curiga.
"Ngerjain gimana?" Dia pasang wajah polos.
"Ya masak kantor sebesar ini mati lampu dalam waktu yang lama, emang nggak punya genset apa kantor ini?"
"Gensetnya baru aja rusak Nadia." Jelasnya.
"Masak anda nggak prepare dari kemarin kalau bakal ada kejadian kayak gini di kantor? Apa nggak ada karyawan yang benerin?" Aku bertanya lagi.
"Ya kamu aja yang benerin sana!, nggak percayaan banget kamu ini." Dia meyakinkan aku.
"Emang, percaya sama anda musyrik pak?" Kelakarku.
"Whatever." Jawabnya singkat.
"Udah jam segini kenapa belum nyala juga, mau pulang jam berapa saya pak Roni? Nggak ada taksi entar, apalagi angkot." Gerutuku.
"Kita turun pelan-pelan. Aku anterin, aku males denger ocehan kamu tau nggak, berisik," sekarang dia yang mengomel.
"Ow iya bagus." jawabku santai.
Kami akhirnya turun menggunakan tangga darurat karena jelas lift mati. Ini akan melelahkan, karena lantai tempat kami berpijak berada di lantai 10.
Menuruni anak tangga ke 9 dan 8 aku masih biasa-biasa saja belum merasakan capek. Lantai ke 7 dan ke 6 kakiku mulai terasa capek. Tiba di lantai 5 dan 4 rasa capek sudah bercampur dengan lapar perutku mulai keroncongan dan terdengar keras sekali, krucuk krucuk krucuk. Aku malu lalu memegangi perutku, berharap Roni tak mendengar suara perutku yang riuh.
"Suara cacing di perutmu sama berisiknya ya denganmu." Dia mulai meledekku. Dan aku sepertinya tidak punya tenaga untuk menjawabnya.
"Kalau capek istirahat dulu." Raut wajah Roni merasa kasihan padaku sepertinya. Tapi berhenti akan membuatku lebih lama di kantor ini. "Nggak usah, saya nggak papa kok." Jawabku tidak mau terlihat lemah.
Saat di lantai 2 kepalaku pusing berkunang-kunang. Aku memegangi kepalaku dengan tangan kananku sedang tangan kiriku memegang besi pegangan tangga. "Tu kan kamu lemes, sini saya gendong ?" Dengan sigap dia memegang pundakku. Dia sudah stan merentangkan kedua tangannya.
"Saya nggak papa." Jawabku singkat.
"Dasar keras kepala, apanya yang tidak papa?! wajahmu pucat, badanmu keringat dingin begini." Wajah Roni mulai terlihat khawatir.
Lalu tanpa meminta ijin padaku dia memanggulku di atas pundaknya. Sontak aku terkejut dan berteriak seakan lupa kalau tadi sudah lemas sekaligus lapar hampir mau pingsan.
"Pak Roni turunin saya, apa anda sudah gila ya?!" Pekikku sambil memukul-mukul pundaknya.
"Iya-iya saya nurut, saya mau digendong, tapi turunin saya dulu, sakit nih." Aku berusaha membujuknya, dan berhasil, dia menurunkan aku.
Setelah menurunkan aku dia memberikan aku 2 pilihan. "Mau gendong depan atau belakang?" Dia menepuk pundaknya lalu merentangkan tangan.
"Kalau nggak usah aja gimana?" Aku pasang wajah meringis merasa tak enak hati.
"Kalau nggak jawab, aku gendong pundak lagi nih!" ancamnya.
"Iya-iya!" Sambarku cepat.
"Lagian kenapa jadi anda yang repot sih? Pakai ngotot lagi."
"Ya saya nggak mau aja, kamu mati sia-sia di kantor saya."
"Kan ngeri kalau di kantor ini ada hantu Nadia."
Aku menyipitkan mata kesal. Dia menyebalkan sekali.
Lalu dia berjongkok.
Aku menyipitkan mata lalu bertanya penasaran. "Mau ngapain?"
"Lemot banget sih kamu,"
"ya mau gendong kamu."
Setelah itu dia menggendongku di belakang pundak. Tanpa sadar kepalaku bersandar di pundaknya. Entah kenapa rasanya nyaman sekali. "Ah tidak ini mungkin karena aku capek saja." Aku menyangkal praduga ku sendiri. Aku menegakkan kembali kepalaku.
"Kenapa diangkat?"
"Bukannya kamu udah nyaman ya bersandar dari tadi?" Dia terkekeh.
Astaga! Kaget bukan kepalang aku, kenapa dia bisa tahu? Apa dia bisa membaca pikiranku?
"Ye GE ER!" Aku mengelakkan.
Dia menghela nafas sejenak. "Terserah elo deh."
Akhirnya sampai juga di mobil Roni. Mataku terasa berat sekali. Lelah dan lapar juga menjadi satu. Aku memejamkan mata. Aku akan tidur sejenak.
Mataku tiba-tiba terbelalak. Ada yang menyenggol pundakku. Kaget bukan main reflek tanganku menyibak ke arah random seperti orang kesurupan.
"PLAK!" Suara pukulan tanganku mengenai Roni.