Chereads / EXIT HUMANITY / Chapter 2 - The Chaos is Everywhere

Chapter 2 - The Chaos is Everywhere

Jazz memberi tahu Milen jika ia harus mengunjungi ibunya di rumah sakit terlebih dulu. Jalanan menuju tempat tersebut, anehnya, makin banyak makhluk mengerikan yang mereka temui. Milen dengan lincah menarik ransel dari depan dan memeluk bayi tersebut dalam dekapannya.

Jazz berusaha sebisa mungkin menghindari kejaran makhluk yang kini muncul dari berbagai arah. Satu jam mereka berjibaku dengan situasi yang mencekam, kini mereka tiba di rumah sakit. Kondisi ambulan dan beberapa mobil tampak parkir sembarangan dan berantakan. Rumah sakit sangat sepi! Hanya beberapa orang yang mengejang di pintu masuk lobby UGD.

"Sial!" maki Jazz mendadak putus asa. Di mana kamu mama? Teriak Jazz dalam hati.

"Jazz kita harus pergi dari sini, sepertinya semua berawal dari tempat ini," ucap Milen hampir menangis.

"Apa maksudmu?" tanya Jazz setengah kesal. "Aku harus mencari Ibuku dulu!" lanjutnya menumpahkan kekecewaan. Milen menunjuk ke arah ruang masuk pengunjung dan dari tempat mereka berada, hampir puluhan makhluk terperangkap di dalam dan sedang menempel di kaca mencoba keluar.

"Brengsek!" makinya kembali dan memutar motor serta bergegas meninggalkan tempat mengerikan tersebut. Jazz berpikir mungkin ia butuh kembali ke rumah dan berpikir untuk langkah selanjutnya.

Menempuh perjalanan selama satu kembali sebelum tiba di kediaman Jazz. Tangannya menempel di salah satu pilar gerbang dan pintu besi itu terbuka otomatis. Pagar yang tinggi dan di aliri listrik bisa menjadi benteng paling aman saat ini.

Begitu tiba di garasi, Jazz mengajak Milen masuk dan mencari pembantunya.

"Mbok Tum! Mbooook …," panggil Jazz keras. Tidak ada jawaban. Jazz menggerutu dengan wajah berkeringat.

"Bayi ini tertidur," ucap Milen dengan iba. Jazz tidak peduli dan terus mencari pembantu rumahnya. Begitu ia tiba di ruang kolam, tubuhnya membeku. Jazz melihat dua manusia sedang membungkuk dan terlihat menarik daging mbok Tum dengan mulut mereka. Jazz menutup mulut dan mencoba untuk tidak muntah ataupun panik. Dengan langkah perlahan ia mundur. Dirinya menabrak Milen yang juga melihat kejadian itu.

"Di-dia sudah berubah …," desis Milen. Jazz menarik tangan Milen yang juga menggendong bayi.

"Pergilah ke belakang dekat gudang," pinta Jazz cepat. Jazz mengambil sesuatu dari kulkas. Susu segar dan juga beberapa makanan yang bisa ia ambil dan memasukkan ke dalam ransel.

"Ayo!" ajak Milen tidak sabar. Jazz berlari dan mendobrak pintu gudang. Milen mengikuti dan tidak mengeri kenapa mereka malah menuju gudang tersebut. Namun setelah Jazz membuka sebuah lemari kayu dan menarik dasar lemari tersebut, Milen baru memahami. Tanpa banyak bertanya, Milen menuruni tangga yang mengarah ke bawah dan Jazz menutup pintu besi serta memutar kunci yang mirip dengan kemudi kapal tersebut. Bunyi klik terdengar dan Jazz tampak lega. Milen terhenyak begitu memasuki ruangan yang gelap itu.

"Ini tempat apa?" tanya Milen. Suaranya tidak bergaung menandakan dindingnya kedap suara. Jazz mengeluarkan kartu mirip ATM dari tasnya dan menempelkan pada kotak seperti mesin alarm.

Seketika ruang menjadi terang benderang dan Milen berdecak kagum. Bunker yang berbentuk setengah lingkaran mirip labirin dengan empat ruangan terbagi dilihat dari jumlah pintu. Sementara di tengah ruangan adalah adalah sofa dan karpet bulu yang terlihat mahal dengan televisi datar yang sangat besar. Berbagai stick game dan dua speaker kecil berjajar di samping televisi dengan rapi. Rak kecil dengan bagian bawah kabinet berlaci menampilkan koleksi buku dan DVD. Ini mirip dengan movie theater daripada ruang televisi. Semua dinding bercat abu-abu dan warna plafon yang sama. Ini bunker termewah dan lebih menyerupai apartemen daripada tempat mengungsi.

"Ini adalah ruang kontrol system yang aku rancang selama ini. Dalam ruangan ini aku bisa memonitor seluruh wilayah rumah dan perkebunan. Aku juga menempatkan beberapa drone dan kita bisa mengoperasikan dari sini untuk memantau kondisi saat ini." Jazz menutup pintu pertama dan menuju pintu kedua.

"Ini ruang workshop aku. Di ruangan ini aku merancang semua senjata yang ide dan konsepnya aku dapatkan dari game atau film," ucap Jazz. Milen mengikuti dengan mulut bungkam.

"Ini adalah ruang tidur. Karena aku tidak merencanakan ini sebagai tempat untuk dihuni orang banyak, maka hanya ada satu tempat tidur dilengkapi kamar mandi saja. Kita bisa bergantian," ucap Jazz tampak sungkan. Milen mengangguk lesu. Pintu terakhir adalah kaca dan Milen melihat dengan jelas bahwa itu adalah dapur.

"Dapur dan kulkas yang hanya berisi daging dan sayuran beku. Buah-buahan kaleng juga sereal dan beberapa makanan kaleng lainnya ada di lemari sebelah. Tapi kompor dan peralatan masak lengkap termasuk microwave. Stok makanan kurasa cukup untuk satu bulan, sementara mencari solusi lainnya nanti," terang Jazz. Milen menatap Jazz dengan wajah lelah dan putus asa.

"Aku berharap ini adalah mimpi buruk, Jazz," ucap Milen dan air matanya bergulir dengan perlahan di pipi tirusnya. Wajah gadis itu tampak pucat. Jazz menghela napas dan melangkah menuju sofa. Dia menghempaskan tubuhnya dengan kalut. Milen meletakkan bayi yang masih tertidur pulas dengan hati-hati dan duduk di sofa seberang.

"Aku tidak tahu apa yang menimpa Bogor saat ini. Ibuku bekerja di rumah sakit itu dan aku tidak bisa menemukan dia di sana. Aku takut membayangkan semuanya, Mil," balas Jazz dengan mata menerawang.

"Bagaimana mungkin ada zombie di kota kita? Ini bukan film ataupun luar negeri yang penuh dengan eksperimen. Ini Bogor! Kota kecil yang juga jauh dari Jakarta. Kenapa bisa sampai sini?" tanya Milen dengan penuh emosi.

"Aku sama butanya dengan kamu, Mil. Tapi satu yang pasti, pagi ini Mama mendapat panggilan dan menjelaskan bahwa ada dua pasien yang di transfer dari rumah sakit pusat untuk di rawat di Bogor. Mungkin itu awal dari semuanya," ungkap Jazz.

"Aku harus menelepon orang tuaku," cetus Milen seraya melepas tas selempangnya dan mengambil ponsel.

Jazz melakukan hal sama. Menelepon mama dan papanya adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Selama ini ia hanya mengirim pesan dan membalas email yang selalu papanya lakukan. Setelah mencoba selama beberapa waktu, Jazz memutuskan untuk mengirim email dan pesan saja. Sedangkan Milen akhirnya berhasil menghubungi ayahnya. Dari pembicaraan yang Jazz dengar, invasi makhluk yang keduanya sepakati sebagai zombie belum mencapai daerah Semarang. Itu berarti kondisi mereka masih aman. Ayahnya berpesan untuk hati-hati dan mereka pun menangis. Milen menutup panggilan dengan isak tangis yang cukup kuat.

Tangisan kaget bayi membuyarkan Milen dari ratapannya dan Jazz yang sempat sibuk mencari kabar terakhir dari social media. Keduanya mendekat dan Milen menggendong bayi dengan luwes.

"Aku punya adik dan sering mengasuh waktu kecil dulu," ucap Milen dengan mahir menenangkan bayi tersebut.

"Aku membawa susu segar yang mungkin cukup untuk dia minum selama beberapa hari," balas Jazz dan baru teringat membawa bahan makanan di tasnya. Milen mengangguk. Jazz menaruh semua makanan dan minuman di kulkas dan kembali dengan gelas berisi susu.

"Dia tidak bisa minum dari gelas Jazz," ucap Milen dengan cepat. "Harus dari botol," sambung Milen.

"Nggak ada di sini," jawab Jazz bingung.

"Berikan aku sendok. Aku akan mencoba menyuapi," pinta Milen kemudian. Jazz mengangguk dan memberikan sendok padanya. Milen dengan telaten menyuap susu pada bayi tersebut.

"Kita harus memberi nama padanya," ucap Milen pelan.

"Mungkin ayahnya masih hidup, kita harus memberitahu tentang keberadaan bayi di social media," saran Jazz.

"Ya, kita cari tahu. Tapi aku akan memanggilnya Milly," sahut Milen.

"Jangan cari nama yang mirip denganmu, kurasa Zee lebih tepat untuknya," tukas Jazz tidak setuju. Milen mengangkat wajahnya.

"Ok, karena kau yang menemukan pertama, Zee adalah nama untuk bayi ini," Milen sepakat dan mencoba tersenyum. Jazz mengangguk kikuk dan menghindar dari ruang tersebut menuju dapur. Ia kembali dengan dua kaleng beer di tangan.

"Aku menyiapkan makanan beku di microwave dan kita bisa minum untuk memenangkan diri." Jazz meletakkan bir kaleng di meja.

"Aku akan menidurkan Zee di kamar," sahut Milen. Jazz mengangguk dan meraih ponselnya. Jarinya menelusuri layar dan berita tentang parahnya serangan hari pertama cukup viral. Ini bukan hanya di Indonesia. Hampir di seluruh belahan dunia menampilkan berita kejutan mengerikan ini di pertengahan tahun 2018. Ada beberapa foto dan info yang Jazz lihat dari postingan teman-temannya.

"Dunia sangat kacau," seru Milen kembali dan mengangsurkan ponselnya pada Jazz.

"Di grup kuliah kita, sudah ada dua puluh mahasiswa tewas."

Jazz menatap berita di grup dari ponsel Milen dengan dada bergemuruh. Dia mengenal mereka semua walau tidak hapal satu persatu nama. Tanda RIP terus muncul dari chat yang silih berganti. Ini kekacauan yang merata di seluruh dunia!