Sejak kecil aku memang begitu ingin tinggal bersama Ayah. Dan sekarang saat benar-benar berada di bawah atap yang sama dengan Ayah, rasanya sangat membahagiakan, seperti sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.
Tapi aku menemukan hal yang membuatku merasa tidak nyaman tinggal dengan Ayah. Ada saja orang-orang yang suka mencari masalah ingin bertemu denganku. Sampai sekarang niat mereka datang ke rumah tidak ada yang buruk sih, tapi ini kan jadi membuat Ayah tahu aku sudah salah memilih pergaulan.
Dan dari semua orang yang tidak ingin kutemui, saat ini malah muncul perempuan merepotkan yang sedang berdiri di depan rumah.
"Rio, kita berangkat ke sekolah bareng ya?"
Kenapa harus Evi yang datang ke rumah pagi-pagi begini sih? Untung Ayah dan Bunda masih berada di dalam rumah, Evi jadi tidak perlu disalahpahami sebagai pacarku, "Kita kan nggak satu sekolah."
"Lo kan nggak dateng ke konser seperti yang udah dijanjikan, jadi sebagai gantinya lo harus nganterin gue."
Tidak ada janji untuk bertemu di tempat konser, Leo yang salah dikenali oleh Evi hanya memberikan tiket saja. Dan kenapa dia sangat yakin aku mau mengantarnya? Walau dia sampai menangis berguling-guling di lantai sekalipun, aku tetap menolak, "Gue cuma kasih tiket doang tanpa bilang mau ketemu lo di sana."
"Jangan bikin salah paham dong."
Melihat wajah merengut Evi, aku memutar bola mata dengan malas. Dia sendiri kan yang salah paham? Mana pakai acara salah mengenaliku segala lagi.
"Pokoknya sekarang lo harus nganter gue. Lagian nggak ada orang lain yang mau lo bonceng kan?"
Tidak ada yang salah dengan mengendarai motor sendiri tanpa membonceng siapa pun kan? Kenapa Evi semakin lebay sih? Dan kenapa juga dia sekarang nekat datang ke rumah dan minta diantar ke sekolah? Dia pikir aku mau menerima permintaannya?
Merepotkan.
Saat mataku melihat Sinta yang keluar dari pagar rumahnya, aku langsung mendapat ide untuk menolak ajakan Evi, "Gue bakal berangkat sekolah bareng dia."
Tanpa mau menunggu tanggapan Evi, aku langsung naik ke atas motor lalu mendekati Sinta, "Ayo naik!"
Ketika motor yang kunaiki sudah berada di hadapan Sinta, dia justru menunjukkan raut kebingungan, "Kita berangkat bareng?"
Aku mengangguk. Lebih baik berangkat sekolah bersama Sinta daripada mengantar Evi ke sekolahnya. Sudah sekalian jalan, juga lebih mendapat ketenangan.
"Tunggu dulu, emang cewek ini siapa?"
Kedua netraku menatap Sinta yang sudah seenaknya didorong oleh Evi, "Gimana kalau gue bilang dia pacar gue?"
"Cewek nerd ini pacar lo?" Evi melirik Sinta dengan sinis, "nggak mungkin. Mustahil bangat lo pacaran sama cewek cupu gini."
Sinta memang dianggap sebagai nerd di sekolah, tapi jika disuruh memilih salah satu dari mereka, tentu aku tidak memilih Evi, "Jauh lebih mustahil lagi gue pacaran sama cewek kayak lo. Nggak usah lenjeh deh, mending juga bersenang-senang aja sama pacar-pacar lo daripada gangguin gue terus."
"Gue bisa putusin mereka semua jika lo mau jadi pacar gue."
Sungguh sangat keras kepala ya? Jika Evi masih bersikeras begini, bisa-bisa aku terlambat masuk sekolah. Lebih baik langsung tinggalkan saja dibanding terus beradu mulut, "Gue nggak pernah mau jadi pacar lo. Udah abaikan aja cewek aneh ini, ayo naik, Sin!"
"Gue nggak bakal biarin lo naik ke boncengan motor Rio."
Ck! Kenapa Evi selalu bersikap seperti ini dengan semua perempuan yang dekat denganku sih? "Vi, gue hafal dengan segala macam undang-undang yang bisa memenjarakan lo detik ini juga. Jadi lepaskan tangan lo dari Sinta sekarang juga."
Mendapat ancaman dariku membuat Evi dengan cepat melepaskan lengan Sinta, "Tapi kan Rio–"
"Gue udah bertunangan dengan anak kapolres Jaktim, kalau mau protes lakukan aja di kantor polisi," jengkel dengan sikap posesif Evi, aku pun memilih menyelesaikan masalah ini dengan cepat.
Melihat Evi yang terkejut, aku memberi isyarat pada Sinta agar naik ke atas motor. Sinta yang mengerti buru-buru naik ke boncengan motor dan membuatku bisa kabur dari Evi.
Setelah sampai sekolah, aku menghembuskan napas dengan jengkel agar tidak terus merasa emosi. Kenapa perempuan merepotkan seperti Evi harus menyukaiku sih? Padahal dia sering melihat sisi burukku yang bahkan selalu kuhindari agar tidak terlihat oleh Leo. Kenapa tipe badboy bisa selalu menarik untuk perempuan coba?
"Makasih ya, Rio."
Aku mengalihkan pandangan ke Sinta yang sudah turun dari boncengan motor, "Jika cewek tadi gangguin lo lagi, jangan takut ngadu ke gue."
Melihat wajah keheranan Sinta, aku seketika sadar sudah tidak sengaja bicara pakai bahasa kasar, "Maaf, aku emosian karena pagi-pagi gini udah menghadapi cewek nyebelin."
"Cewek tadi kayaknya sangat menyukaimu ya?"
Terlalu suka sampai aku tidak tahu bagaimana membuatnya berubah menjadi membenciku, "Dia selalu nggak suka melihatku dekat dengan cewek lain, jadi jika dia sampai ganggu bilang aja padaku."
"Baik."
Melihat Sinta yang belum beranjak pergi dari samping motor yang masih kunaiki, aku mengernyit bingung, "Ada apa? Ada yang salah dengan ucapanku? Atau justru tindakanku ini membuatmu semakin menyukaiku? Jika iya, jangan lakukan. Aku benar-benar disuruh menikah dengan anak kapolres Jakarta Timur loh."
Sinta mengibaskan kedua tangannya seolah merasa panik, "Ng- nggak kok, aku cuma merasa Rio punya wajah yang sangat mirip dengan Leo."
Hah? Bukan mirip lagi, wajah kami tuh sama persis! Tapi kenapa Sinta baru mengatakannya sekarang padahal sudah pernah menemui kami secara bersamaan? "Emang kenapa kalau mirip? Ini membuatmu terganggu atau semacamnya?"
Sinta menggeleng kemudian menunduk, "Aku cuma ngerasa bodoh karena pernah nggak bisa membedakan kalian."
Tidak perlu merasa bersalah segala. Ayah saja sempat salah mengenali Leo sebagai aku, wajar saja jika Sinta juga pernah salah menganggap Leo sebagai aku. Hal semacam ini bisa saja kembali terulang selama orang lain hanya sekedar mengenal salah satu di antara aku atau Leo saja.
Tapi kenapa Sinta mendadak membahas tentang kemiripanku dengan Leo? Apa tadi aku secara tak sengaja terlihat seperti Leo untuknya? Tidak, mustahil. Leo murah senyum dan easy going, tidak mungkin dia bisa menunjukkan ekspresi kesal pada Sinta.
"Leo berasal dari keluarga kaya ya?"
"Eh? Ah, iya."
"Rio hebat ya bisa sampai menjadi saudara Leo."
Dahiku semakin mengerut, tidak mengerti dengan nada iri yang Sinta gunakan. Tapi sebelum aku sempat menyuarakan keherananku, Sinta sudah berbalik dan pergi berjalan meninggalkanku.
Dia kenapa sih? Sikapnya hari ini aneh bangat.
♔
"Jadi kalian pacaran?"
"Siapa?" dengan bingung aku menatap Bagas yang duduk di depanku.
"Lo dan Sinta. Tadi kalian berangkat bareng kan? Jadi akhirnya kalian pacaran juga?"
Oh, aku mengerti sekarang. Evi tadi memaksaku mengantarnya ke sekolah untuk membuat teman-temannya salah paham dengan menganggapku sebagai pacarnya ya? Perempuan maunya aneh-aneh saja, "Sekarang aku tinggal di depan rumahnya, jadi sekalian berangkat bareng aja."
"Kalian tetanggaan? Kok bisa? Bukannya lo tinggal di panti asuhan?"
"Aku sekarang tinggal di rumah ayah kandungku yang berada tepat di depan rumah Sinta."
"Kalian jodoh."
Kesimpulan macam apa ini? Kenapa Bagas terlihat begitu ingin aku berpacaran dengan Sinta sih? "Dia seharusnya udah move on dan nggak suka padaku lagi."
"Udah move on? Masa? Apa ada cowok lain yang pernah lo lihat dateng ke rumah Sinta?" tanya Bagas sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku yang sedang duduk di hadapannya.
Secara refleks aku menggerakkan tubuhku mundur agar bisa mengambil jarak dari Bagas, "Aku tadi memberitahu sesuatu yang bisa buat Sinta nyerah, jadi mestinya dia milih move on aja."
Memang aku sengaja mengatakan telah bertunangan bukan untuk menolak Evi saja, tapi sekalian menolak Sinta juga. Apa sikap anehnya tadi karena ucapanku ya? Aku tidak pernah mengerti dengan jalan pikiran perempuan.
"Kok mencurigakan ya? Lain kali lo harus izinin gue main ke rumah lo."
Jika Bagas merasa puas dan berhenti meledekku dengan Sinta, aku mengangguk tanpa ragu, "Oke, lain kali bakal kuajak."