Aku pernah mengatakan tidak ingin berpura-pura menjadi Leo lagi karena tidak mau sampai terjadi salah paham seperti sebelum-sebelumnya. Tapi hari ini aku justru kembali datang ke SMA Tirta Bangsa.
Jelas aku mau melakukan ini bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk memastikan Leo agar tidak mendapat masalah dengan seorang kakak kelas.
Pasti akan kubuat kakak kelas yang memiliki nama Rian itu kapok sampai tidak mau mencari masalah dengan Leo lagi. Jika belum kapok, aku tinggal memakai identitas asliku lalu datang ke SMA Tirta Bangsa dan mengancamnya secara langsung.
Ck! Mana mungkin aku membiarkan saudaraku sampai merasa tidak tenang ketika berada di sekolah. Aku pasti akan melindungi Leo!
Mataku memandang ke arah buku dengan puas. Meski sejak tadi terus menggerutu dalam hati, ternyata aku masih bisa mengerjakan soal latihan dari guru akuntansi tanpa mengalami hambatan apapun.
Jadi walau dalam mood yang buruk, aku masih punya konsentrasi yang bagus ya untuk mengerjakan soal hitung-hitungan begini? Padahal sudah dua bulan aku tidak berhadapan dengan pelajaran semacam ini karena jurusan yang kuambil dengan Leo berbeda.
Tapi aku tidak boleh puas bisa mengerjakan lima soal ini dengan kemungkinan jawaban yang benar semua. Leo selalu mengalami kesulitan mengerjakan soal hitung-hitungan, jadi harus ada soal yang mesti kuberi jawaban salah.
Merasakan lengan kiriku disenggol dengan pelan, aku menengok ke arah Daniel, "Kau bukan Leo ya?"
Bola mataku membulat terkejut. Kok tahu? Tadi kan aku sudah sengaja memasuki kelas mepet sebelum bel masuk berbunyi, bahkan aku belum bicara apa-apa sejak tadi. Tapi kenapa Daniel tahu?
"Apa sih? Emang ada orang lain yang punya wajah sepertiku? Jangan bercanda pas lagi jam pelajaran deh," walau merasa penasaran bercampur takut, aku mencoba merespon ucapan Daniel dengan tenang.
"Leo udah cerita punya kembaran yang pintar, jadi aku yakin kau bukan Leo karena bisa mengerjakan soal ini tanpa mencoba bertanya padaku seperti biasanya."
Jadi Leo sering menyusahkan Daniel? Aku kan sudah mengajarinya, apa masih kurang pengajaran yang kulakukan? Dan kenapa Leo tidak mengatakan sudah menceritakan mengenaiku pada teman-temannya? Dia sengaja ya ingin membuatku berkenalan secara langsung dengan mereka? "Tolong jangan bahas ini di kelas, aku nggak mau guru sampai tahu."
Daniel mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum senang, "Kalau gitu nanti saat istirahat kita bahas lagi ya?"
Karena sudah telanjur ketahuan, aku cuma bisa mengangguk. Selama yang tahu adalah teman-teman Leo, ini tidak akan menjadi masalah yang merepotkan.
♔
"Berhubung Leo udah cerita, aku mengaku kalau aku emang bukan dia. Aku Rio Arizki, tapi sekarang kalian tetap harus memanggilku dengan nama Leo agar nggak ada yang mengetahui ini."
Daniel, Andre, dan Fahri masih menatap dengan intens walau aku sudah memperkenalkan diri. Wajar mereka terperangah, tapi bagiku ini reaksi yang sedikit berlebihan. Seharusnya mereka baru menunjukkan ekspresi begini ketika sedang melihatku dan Leo secara bersamaan.
"Apa buktinya kalau kamu bukan Leo?"
Jari telunjukku mengarah ke Daniel yang duduk di sampingku, "Daniel sadar karena melihatku bisa mengerjakan soal latihan akuntansi sendiri."
Lukman mengangguk seakan sudah paham, "Jadi yang dikatakan Leo benar ya kalau kamu pintar?"
Pintar? Pintar apanya? Aku cuma terlalu sering mengajari orang lain saja, ilmu yang dipelajari secara otomatis ikut kuserap sampai bisa mendapat nilai yang bagus, "Dia terlalu melebih-lebihkanku."
"Terus kenapa kalian bertukar? Kalian berdua ingin bersenang-senang?"
Tanpa menjawab pertanyaan Andre, aku memperhatikan suasana kantin. Di mana Rian sekarang? Kalau tidak bisa bertemu dengannya, percuma aku menggantikan Leo hari ini.
"Rio?"
"Jangan panggil nama asliku. Dan tunggu sebentar, aku lagi cari orang."
"Oh, jadi lagi ngincer cewek ya? Siapa orangnya?"
Ck, yang kucari itu cowok! Kenapa malah salah paham sih? Sambil mencoba untuk bersabar menghadapi rasa penasaran tiga orang ini, pandanganku terus menyusuri kantin dengan teliti.
Ah, itu dia! Rian dan gengnya baru saja memasuk kantin bersama-sama. Aku mengernyit saat Rian menunjukkan gestur ketakutan setelah tatapan kami bertemu.
Dia kenapa? Perasaan aku tidak memberi tatapan mengancam deh, kok dia kelihatan ketakutan begitu? Menurut cerita Leo, seharusnya dia masih ingin balas dendam kan?
Melihat Rian dan gengnya kembali keluar dari kantin, aku berpaling menatap tiga orang yang sedari tadi bersamaku, "Apa aku sedang menunjukkan ekspresi mengancam atau sejenisnya?"
"Hah? Kau sedari tadi menunjukkan ekspresi antusias. Emang ada apa sih?"
Jika sedang tidak menunjukkan ekspresi mengancam, lalu kenapa Rian bisa terlihat takut ya? "Kemarin Leo terlibat masalah sama kakak kelas, tapi orang itu justru menunjukkan gestur ketakutan sekarang. Aku nggak ngerti."
"Jadi kau menggantikan Leo karena ingin menolongnya? Emang siapa kakak kelas yang udah cari masalah?"
Kenapa Lukman masih mempertanyakannya? Kan hanya ada satu kakak kelas saja yang mencari masalah dengan Leo, "Rian."
"Kalau tentang Rian sih kemarin aku melihatnya menyeret Leo ke gang sempit, karena terlalu bingung bagaimana ingin membantu, aku memilih memanggil polisi. Yang kulihat sih dia yang disalahkan oleh polisi. Jadi mungkin dia udah kapok."
Oh... jadi Andre secara tak langsung sudah menolong Leo ya? Dan jika polisi sudah terlibat, bisa dipastikan Leo disangka sebagai aku dan ucapannya dipercaya dengan mudah.
Tapi apa yang seperti itu dapat membuat Rian kapok? Ibunya kan polisi. Rasanya aneh jika dia sampai ketakutan dengan melihat wajah Leo saja.
Aktivitas berpikirku terhenti saat menyadari kalau sedang diperhatikan oleh Franda yang duduk di meja kantin tidak jauh dariku. Apa dia sadar aku bukan Leo? Aku tersenyum sesaat pada Franda sebelum kembali fokus dengan masalah Rian, "Selama dia nggak gangguin Leo lagi, aku bisa tenang sih."
"Kalian udah kayak saudara kembar sungguhan ya? Karena merasa khawatir, sampai mau bertukar identitas begini."
Leo memang adik yang wajib dijaga, wajar aku perhatian padanya, "Apa kalian bisa menghubungiku jika Leo sampai mendapat masalah lagi? Dia terlalu santai, aku nggak tenang membiarkannya sendirian."
Daniel, Andre, dan Lukman mengangguk kompak, "Jika ingin kami mengawasi Leo, berarti kamu juga harus mau berteman dengan kami. Dan jangan lupa juga untuk memberikan nomor ponselmu agar kami bisa melapor."
Teman ya? Selain Bagas, belum ada lagi yang mau berteman denganku. Aku cukup sadar diri sih kalau aku memang tipe yang sulit berbaur dengan orang lain, sudah begitu aku juga tidak mudah menaruh kepercayaan pada orang lain setelah kasus salah tangkap. Sulit rasanya menambah orang lain dalam list teman walau aku sendiri sangat menginginkannya.
Mungkin kedepannya mereka bisa saja merasa bosan atau menyesal berteman dengan orang sepertiku yang begitu berbeda dengan Leo, tapi tidak salah untuk mencoba.
Setelah memberikan nomor hp-ku, perhatianku tertuju pada Franda. Leo memintaku untuk bicara dengannya, hanya saja situasi kantin yang ramai dan keberadaan temannya membuatku sulit mendekat.
Tidak bisa mendekat ketika sedang jam istirahat, aku pun mencoba mengikuti Franda setelah bel pulang berbunyi. Karena aku mengikuti secara terang-terangan, tentu saja Franda sadar dan langsung menghentikan langkah kakinya, "Um, kenapa ngikutin?"
Aku memastikan keadaan sejenak, bagian lorong menuju toilet lantai satu ini cukup sepi dan aman untuk dijadikan tempat mengobrol, "Leo yang menyuruhku menemuimu."
Franda menunduk sambil menunjukkan gestur gugup, "Ternyata emang Rio ya? Aku sadar sih, tapi aku nggak nyangka bakal bertemu denganmu lagi dengan cara seperti ini."
Melihat gestur gugupnya yang berlebihan, entah kenapa aku malah curiga ini akan berakhir dengan mengatakan suka atau mengajak pacaran. Terasa sangat sia-sia sih aku disuruh menemui Franda jika berujung dalam situasi seperti itu.
"Rio orang yang dipercaya oleh kapolers Jakarta Timur kan? Leo sudah menceritakannya, dan Surya Aditama adalah papaku."
"Apa?"
Melihat ekspresi terkejutku, Franda memberi anggukan, "Iya, aku anak Surya Aditama."
Jadi ini maksud dari urusan yang dikatakan oleh Leo? Aku mengerti sekarang. Tapi sulit dipercaya kalau perempuan yang dijodohkan denganku ternyata sudah dulu aku kenal, "Hidupku aneh bangat sih? Sulit dipercaya kalau anak Pak Surya ternyata adalah Franda."
"Aku juga kaget. Kupikir orang yang dipercaya oleh Papa adalah teman sekantornya."
Tanganku mengacak rambut dengan kesal. Kan aku mendapatkan kepercayaan karena sebuah insiden yang sungguh aneh, apa Pak Surya sudah menceritakannya pada Franda? "Dia pasti menceritakan segala macam sifat baikku aja ya?"
Franda kembali mengangguk, "Setelah tahu orang yang dimaksud adalah Rio, aku mengerti Papa nggak berlebihan."
Pasti sangat berlebihan. Aku menghela napas, ini memusingkan, "Terserahlah, yang penting sekarang aku udah tahu siapa yang dijodohkan denganku. Ada bagusnya juga sih karena kita udah saling mengenal."
"Jadi Rio mau jadi pacarku?"
Pacar? Aku mengerutkan dahi dengan bingung melihat wajah antusias Franda yang sedang menatapku, "Aku nggak mau pacaran dengan siapa pun sekarang. Apa Pak Surya nggak mengatakan kita dijodohkan untuk menikah?"
Melihat wajah Franda yang semakin merona malu, aku kembali menghela napas, "Nggak sekarang, tapi nanti. Jika Franda menyukaiku, maka tunggulah aku sampai menjadi laki-laki yang pantas datang ke rumahmu untuk melamarmu."
Kedua netra Franda berpaling ke arah lain, menghindar dari tatapanku yang sedang tertuju padanya, "Ta- tapi apa nggak lebih baik kalau kita coba untuk pacaran dulu? Kan aneh jika langsung menikah."
Memang aneh, tapi sepertinya kamu tidak mencoba untuk menolak setelah tahu laki-laki yang akan dijodohkan denganmu adalah aku kan? "Jika sekedar berteman, aku mau. Tapi untuk pacaran, harus kutolak dengan sangat tegas. Aku nggak pantas jadi pacarmu. Bahkan aku sekarang bisa berada di sini karena sedang menggantikan Leo."
Pak Surya mungkin menyuruh untuk bertunangan, tapi aku sadar diri jika tidak cocok menjalin hubungan lebih dari teman dengan Franda. Kami terlalu berbeda. Aku tidak ingin mempermalukannya. Lebih baik kami tetap seperti ini sekarang.
Tidak tega melihat ekspresi kecewa yang sedang ditunjukkan Franda, aku mengelus puncak kepalanya dengan hati-hati, "Maaf. Tapi jika kamu masih bisa terus menyukaiku, aku janji di masa depan nanti akan menemuimu lalu mengajakmu menikah."