Tadi Andre sudah memberi peringatan padaku agar tidak boleh sendirian, aku juga sudah meningkatkan kewaspadaan agar tidak kena labrak Rian lagi, tapi mana kutahu kalau kakak kelas ini begitu nekat.
Tak kusangka Rian dengan teman-temannya berani menyeretku yang sedang berjalan di koridor sekolah yang masih agak ramai menuju gang sempit seperti ini.
Ck! Walau empat temannya sudah pergi sambil menunjukkan senyum meremehkan, masih ada Rian yang berdiri menghalangiku agar tidak bisa keluar dari gang ini, "Kenapa lo main nyeret-nyeret gue ke gang sempit gini sih?"
Senyum licik tergambar jelas di wajah Rian, "Gue bakal kasih pelajaran karena lo udah berani sama gue."
Aku balik menatapnya dengan nyalang untuk menutupi rasa tidak nyamanku berada di situasi yang berbahaya, "Lo mau dikeluarkan dari sekolah gara-gara bully gue? Atau justru lo mau berurusan dengan polisi karena melakukan aksi kekerasan?"
"Heh, lo belum tahu yang punya sekolah tuh bokap gue? Dan tenang aja, gue juga nggak mau ngotorin tangan gue kok. Gue udah bayar orang untuk buat lo babak belur setelah tadi bersikap sok sama gue."
Skakmat. Aku sudah kalah telak dan sangat menyesal tidak memiliki keinginan untuk bertukar identitas dengan Rio hari ini.
"Kemari kalian, ini orang yang harus kalian habisi."
Pasrah, satu-satunya yang dapat kulakukan cuma menghela napas. Jika aku keluar dari situasi ini dalam keadaan babak belur, akan kuminta Rio menggantikanku pulang ke rumah agar Mama tidak khawatir.
Setelah merasa yakin dengan keputusan yang dibuat, aku menatap orang-orang bayaran Rian. Tangan kananku bergerak untuk membenarkan letak kacamata, merasa pernah melihat orang-orang ini sebelumnya.
"Io?"
Wajahku seketika pucat pasi. Gawat, ini terlalu gawat. Lima orang ini adalah geng preman yang pernah dikalahkan Rio, sudah tahu tentangku, ditambah lagi pernah memberi ancaman untuk membalas perbuatan Rio padaku.
Ughh... mustahil aku mencoba berpura-pura menjadi Rio. Mereka yang paling tahu Rio bisa menghajar belasan orang dengan sangat mudah, tidak mungkin orang sekuat Rio sekarang terjebak dalam situasi semacam ini.
"Kalian kenal Leo?"
"Oh, jadi ini kembaran Io? Kami nggak kenal dia, cuma pernah ketemu aja sekali."
Iya, sekali. Pertemuan yang membuatku sampai sekarang merasa penasaran kenapa mereka memanggil Rio dengan nama Io. Kok bisa orang yang ditakuti punya panggilan yang terdengar imut begitu? Aku kan jadi ingin melakukan panggilan yang sama.
"Kalau gitu kalian bisa habisi dia sekarang. Buat dia babak belur dan nyesel udah cari gara-gara sama gue."
Aku memberikan tatapan malas pada Rian yang sedang menunjukku. Dia kan lebih tua dua tahun dariku, kenapa bersikap pengecut begini sih? Jika merasa kesal, seharusnya jangan ajak orang untuk melabrakku atau menyuruh orang lain menghajarku. Gentle dikit dong dengan menghadapiku sendirian.
Menyebalkan. Bagaimana caraku kabur dari sini coba? Mencoba menghubungi Rio? Secepat apapun dia bertindak, aku pasti sudah dibuat babak belur duluan.
Sepertinya tidak ada pilihan lain dengan mencari kesempatan untuk kabur jika mereka sudah tidak menghalangi satu-satunya jalan keluar dari gang in–
"Kami nggak mau melakukannya."
Eh? Aku menatap lima orang suruhan Rian dengan bingung. Bukannya mereka punya semacam dendam padaku karena mirip dengan Rio? Kok malah menolak kesempatan emas ini?
"Apa!? Kenapa nggak mau? Bayaran dari gue kurang?"
Salah satu dari mereka menggeleng sambil menatapku dengan intens, "Dia punya backup orang yang sangat mengerikan kalau udah marah, kami nggak mau cari gara-gara sama dia."
Maksudnya Rio? Apa Rio semenakutkan itu? Atau ancaman yang pernah Rio berikan adalah hal yang ditakuti oleh mereka?
"Ck! Gue bisa bayar dua atau tiga kali lipat. Sekarang cepat buat dia babak belur!!"
"Berapa pun yang lo bayar, kami tetap nggak mau nyentuh orang ini sedikit pun," orang yang mungkin adalah pemimpin mengembalikan beberapa lembar uang seratus ribuan ke tangan Rian.
"Kenapa kalian masih nggak mau? Gue bahkan sampai bawa kalian ke sini, kenapa kalian sekarang justru nggak mau melakukan apa yang gue katakan?!"
"Asal lo tahu, nggak selamanya semua bisa dibayar pakai uang. Jadi jangan pakai uang ortu lo itu untuk bayar orang suruhan kayak kami lagi."
Dengan gugup aku membalas tatapan si leader saat sudah berdiri di hadapanku. Dia memang tahu aku bukanlah Rio, tapi aku tetap menuruti saran Rio dengan diam saja ketika berhadapan dengan orang yang punya penampilan seperti berandalan begini.
"Ck, muka lo mirip bangat kayak Io. Rubah sana!"
"Mana bisa."
"Lo kan anak orang kaya, lakukan aja operasi plastik."
"Nggak mau."
Melihat orang berambut merah ini menggeram kesal, helaan napas kembali kulakukan. Dia pasti dendam bangat sama Rio sampai terlihat begitu menahan emosi hanya dengan mendengar dua jawabanku ya?
"Minggir lo!! Jika kalian nggak mau menuruti perintah gue, biar gue sendiri yang menghajarnya."
Tangan kiri si leader menghalangi Rian yang ingin mendekatiku, "Meski bukan kami yang melakukannya, tapi orang ini nggak boleh terluka sedikit pun."
"Ck, apa sih? Kenapa lo sekarang malah berpihak sama dia? Oh, jangan-jangan kalian termakan omongan Leo yang mengatakan kenal kapolres Jaktim ya? Ha ha ha... ternyata kalian sepengecut ini ya?"
Ap–
Bugh!!
Bola mataku membulat terkejut melihat wajah Rian ditinju sampai tubuhnya jatuh terjerembap ke tanah. Aku berpaling menatap ke arah leader dengan syok, kenapa malah dipukul?
"Lo sendiri yang pengecut karena nyuruh orang untuk menghadapi orang ini!! Punya kaca tuh dipake, jangan dijadikan pajangan doang."
"Tu- tunggu dulu," melihat kaki kanan leader ingin menendang tubuh Rian, aku dengan cepat menarik pergelangan tangan kanannya agar berhenti.
Tatapan tidak suka langsung diberikan oleh orang yang belum kuketahui namanya ini, "Ngapain tahan-tahan segala sih? Orang ini tadi nyuruh kita buat hajar lo tahu! Gue bakal kasih pelajaran biar dia nggak pernah macem-macem sama lo lagi."
Kenapa mendadak malah melindungiku? Kita bahkan belum saling mengenal! "Jangan lakukan. Kalian bisa dapat masalah kalau ketahuan melukai anak sekolah lain."
"Jangan sok baik kayak Io deh! Lo nggak tahu kami anak SMA Raseda?"
Aku sangat tahu nama sekolah itu. Tapi tidak berarti kalian bisa dengan mudahnya melukai murid sekolah lain karena anak sekolah Raseda sering terlibat tawuran kan? "Kalian tetap nggak boleh bertindak lebih dari ini. Jika masih melakukannya, bakal gue laporin ke Rio."
Si leader menendang tembok sambil mengumpat dengan jengkel, "Jangan adukan apapun ke Io."
Mana mungkin aku bertindak kekanakan begitu. Lagian jika ingin mengadu, yang diadukan juga tindakan mereka yang berpihak padaku, bukan kebalikannya. Jadi tidak perlu sampai tambah marah kan?
"Apa yang sedang kalian semua lakukan di gang sempit begini? Sekarang keluar, dan jangan coba-coba untuk kabur dari sini."
Pandanganku beralih menatap satu-satunya jalan keluar dari gang sempit ini, di sana berdiri seorang pria paruh baya berpakaian polisi.
Kenapa mendadak muncul aparat keamanan? Meski bingung, aku ikut berjalan keluar dari gang dan berdiri berjejer sesuai yang diperintahkan.
Pak polisi berkacak pinggang setelah kami sudah berbaris rapi di hadapannya, "Kalian lagi! Kenapa kalian hobi sekali bertengkar di jalanan sih?"
Jadi geng suruhan Rian sudah sering berbuat masalah ya? Pantas sang leader tidak ragu melakukan tindak kekerasan.
Pandangan Pak polisi mengarah padaku, "Dan kali ini kau ikut terlibat, Rio?"
Ri...o? Tunggu, aku sedang salah dikenali? "Tapi aku buk–"
"Pak Surya memang menyuruh kami untuk membiarkanmu yang ingin memberi pelajaran pada anak-anak sekolah yang bermasalah seperti mereka, tapi seharusnya jangan lakukan secara mencolok seperti ini."
Omonganku tidak mau didengarkan ya? Apa tidak apa-apa terus dianggap sebagai Rio di situasi seperti ini?
Pandangan Pak polisi berpindah ke Rian, "Jadi kamu korbannya? Apa mereka melakukan aksi pengancaman sampai kamu menjadi satu-satunya korban?"
"Dia yang melukai saya, Pak. Karena tidak suka dengan saya, dia menyuruh teman-temannya menghajar saya."
Aku menatap Rian yang sedang menunjukku. Pengecut sekali sampai melempar kesalahan pada orang lain, "Bukannya terbalik? Kamu yang membayar mereka untuk menghajarku."
Rian menatapku dengan penuh emosi, "Tutup mulut lo! Gue pasti lebih dipercaya karena gue anak dari Bu Anjani."
Merasa kalah karena tidak benar-benar mengenal kapolres Jakarta Timur, aku memilih menatap Pak polisi yang berdiri di depanku saja.
Pria berumur sekitar empat puluhan ini mengangguk mengerti, "Jadi kamu anak Bu Anjani? Aku mengerti. Pantas kamu bisa berbuat nekat dengan menyuruh orang bayaran."
"Apa!? Aku tidak melakukannya, Pak. Masa tidak percaya dengan apa yang kukatakan sih?"
"Bu Anjani sering cerita mengenai anaknya yang suka membuat masalah, jadi sekarang aku lebih percaya pada anak ini," jawab Pak polisi sambil menunjuk ke arahku.
"Tapi aku yang terluka saat ini. Lihat aja nih Pak pukulannya," Rian yang masih tidak mau disalahkan menunjuk pipi kanannya yang lebam habis dipukul.
"Dia yang memprovokasi kita, jadi aku memukulnya, Pak."
Pandanganku berpaling menatap leader yang dengan percaya diri mengakui kesalahannya, dan saat tatapan kami bertemu, dia menyeringai senang. Kenapa seperti ada sesuatu yang salah?
"Baiklah, kalau begitu akan kulaporkan hal ini pada Bu Anjani. Kalian semua bisa pulang, dan jangan terlibat perkelahian lagi."
"Tu- tunggu dulu, Pak. Saya tidak salah," Rian langsung mengikuti Pak polisi yang berjalan pergi.
Aku melipat kedua lenganku sambil menghela napas. Akhirnya sampai akhir aku masih disangka sebagai Rio. Apa ini penyelesaian yang tepat?
"Ternyata wajah lo berguna juga."
Tubuhku tersontak kaget saat seseorang memukul punggungku dengan cukup kencang, secara insting aku mengambil jarak dari lima orang yang sedang bersamaku. Kenapa mereka sekarang menunjukkan ekspresi puas? "A- apa sih?"
"Karena punya wajah yang mirip kayak Io dan ikut menyalahkan anak sok berkuasa tadi, kita semua jadi dibebasin."
Pantas terasa ada yang salah, ternyata aku sudah membantu orang-orang ini dan justru melimpahkan semua kesalahan pada Rian ya?
Aku mengusap punggungku yang sedikit terasa sakit habis dipukul oleh si leader, "Tapi apa nggak masalah gue disalahpahami sebagai Rio?"
"Sama sekali nggak masalah."
"Io sering terlibat sesuatu kayak begini kok, tenang aja."
"Iya, bener. Dia nggak bakal marah atau protes kok."
Baiklah, aku tinggal pulang ke rumah Ayah dan menceritakan semuanya pada Rio. Terlalu sulit mempercayai ucapan orang-orang ini, "Kalian tuh temen Rio atau justru musuhnya sih?"
"Kami bakal jadi temannya jika dia mau mengajari kami belajar."
Rio itu terlalu baik atau justru aneh sih? Aku masih dibuat heran, mau-maunya dia dimintai tolong mengajari kumpulan orang yang sering membuat batas kesabarannya habis.