"Tadi aku ketemu geng preman yang pernah kau kalahkan waktu itu."
Dengan cepat aku langsung menatap Leo yang baru saja masuk rumah kemudian duduk di sampingku, "Geng yang mana?"
"Yang leader-nya berambut merah."
"Gengnya Leon? Apa yang dia lakukan ke lo? Lo nggak terluka sedikit pun kan?" tanyaku sambil memegang kedua bahu Leo dan menatapnya dengan seksama.
"Kok namanya mirip dengan namaku?"
"Nama kita juga mirip, nggak usah protes. Tapi dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh kan?"
Dari yang dapat terlihat, memang tidak ada luka apapun yang berada di tubuh Leo, tapi mungkin saja Leon sudah melukai Leo di bagian tubuh yang tidak dapat kulihat.
Apa aku harus memastikan dengan membuka baju seragam Leo? Sebelum sempat melakukan niatan ini, Leo sudah dulu menyingkirkan tanganku darinya, "Aku baik-baik aja kok. Dia nggak melakukan apapun. Justru dia menolongku."
Hah? Ditolong Leon? Kok bisa? Anak itu kan baru menunjukkan kebaikannya ketika ingin diajarkan belajar saja, dan aku sangat ingat dalam waktu lebih dari seminggu ini kami belum bertemu untuk melakukan kegiatan belajar, "Bagaimana dia bisa menolongmu?"
Leo menghela napas kemudian menceritakan apa yang sudah terjadi hari ini. Penjelasan yang sungguh terlalu detail sampai membuatku ingin mengumpat kesal pada si kakak kelas yang baru kuketahui bernama Rian.
"...jadi aku aman dan bisa pulang ke rumah tanpa perlu membuat Mama khawatir."
Ck! Tapi tetap saja yang dilakukan Rian sudah sangat keterlaluan. Untung Leo baik-baik saja. Jika Leo sampai terluka, aku tidak akan segan memberikan balasan padanya, "Apa kamu yakin setelah ini aman dari Rian?"
"Entahlah. Dia masih kelihatan mau melampiaskan rasa kesalnya padaku, aku akan lebih berhati-hati padanya."
"Kalau gitu besok biarkan aku menjadi kamu selama di sekolah."
"Jika yang mau Rio lakukan adalah membalas perbuatan Rian, aku nggak setuju. Kamu nggak boleh cari masalah di sekolahku walau memakai identitasmu sendiri."
Mana mungkin aku membuat Leo mendapat masalah, "Yang mau kulakukan cuma membuat Rian takut padamu tanpa melukainya sedikit pun."
Leo memicikkan matanya, sama sekali tidak mempercayai ucapanku, "Gimana caranya?"
"Pokoknya bakal kucari cara yang aman, tenang aja. Sebagai gantinya bantu aku ngurus Evi. Buat dia nggak mendatangiku pagi-pagi dan menyuruhku untuk berangkat ke sekolah bersamanya."
"Oh, jadi Rio ada masalah dengan Evi? Baiklah, aku akan membuatnya sampai nggak mau mendekatimu lagi."
Untuk masalah perempuan, Leo memang dapat diandalkan, tidak sepertiku yang sering merasa serba salah menghadapi lawan jenis yang sudah kubenci.
Lebih baik percayakan masalah ini pada Leo. Lagian aku yakin Evi belum mau menyerah meski aku mengatakan sudah dijodohkan, "Buat dia agar nggak mengganggu Sinta juga."
Leo menaikkan salah satu alisnya dengan heran, "Kenapa Sinta dibawa-bawa?"
"Evi menganggap Sinta sebagai pacarku."
"Kenapa kamu nggak beneran pacaran sama Sinta aja sih untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat?"
Bola mataku melirik ke arah lain untuk menghindari tatapan kesal Leo, "Aku nggak berniat pacaran dengan siapa pun. Pokoknya tolong aku tanpa harus membuatku pacaran dengan Sinta."
"Ck! Baik, baik. Tapi saat menjadi aku temuilah Franda, kalian berdua perlu bicara empat mata."
Dengan bingung aku kembali menatap Leo yang sedang menyeringai, "Kenapa harus menemui Franda?"
"Pokoknya Rio wajib bicara dengannya. Ada hal penting yang mesti kalian berdua selesaikan."
Hal penting yang harus diselesaikan? Aku kan sudah tidak pernah menemui Franda lagi setelah dulu mengantarnya pulang dari panti asuhan Kasih Mulia, lalu untuk apa kembali menemuinya? Dan kenapa juga Leo bisa tahu padahal ini adalah sesuatu yang mestinya kuketahui?
Tapi ya sudahlah, Franda kemungkinan sadar kalau aku menggantikan Leo, tidak salah untuk sekedar bicara dengannya.
"Mas Rio dan Kak Leo sedang membicarakan apa?"
Dengan cepat aku melihat ke arah Ines yang entah sejak kapan sudah berada di ruang tamu. Kenapa aku bisa lupa sedang berada di rumah Ayah? Apa obrolanku dengan Leo tadi terdengar oleh Bunda yang sedang menjaga warung? Jika memang sampai terdengar, itu akan jadi urusan Leo sih karena dia yang nanti menginap di sini.
Aku menghela napas untuk merilekskan otakku yang dibuat sedikit pusing, "Ini obrolan orang dewasa, Ines tidak perlu tahu ya?"
Ines menunjukkan ekspresi kebingungan sambil menatapku dan Leo secara bergantian. Ugh... kenapa bola matanya yang besar berkedip dengan menggemaskan begitu? Aku kan jadi ingin mencubit pipi chubbynya!
"Ines imut bangat sih... Lain kali mau menginap di rumah Kak Leo?"
Melihat Leo dalam sekejap mata sudah berada di dekat Ines dan mencubit pipinya, aku menyesal telah kalah cepat darinya. Dia kan adikku, kenapa kamu yang justru bersikap berlebihan?
Ck, aku iri dan tidak rela jika Leo sampai membawanya pulang, "Aku nggak mengizinkannya."
"Kenapa? Mama pasti senang bisa merasakan memiliki anak perempuan. Kok nggak boleh? Ines pasti mau kan? Rumah Kak Leo besar loh, ada kolam renangnya juga."
Kenapa mendadak pamer pada anak kecil sih? Aku mendekati dua orang ini karena masih tidak terima, "Ines kan perempuan, aku tetap nggak setuju."
"Aku nggak tidur di kamar yang sama dengannya, Rio. Dan aku juga bukan lolicon. Nggak perlu memberikan tatapan mengancam seperti itu deh."
Aku menghela napas melihat Leo yang sedang berjongkok menatapku dengan ekspresi aneh. Bukannya aku menuduh Leo sebagai orang yang punya obsesi berlebihan pada anak kecil, aku cuma tidak ingin Ines menginap di rumah Leo sendirian.
"Kalau Mas Rio tidak memperbolehkannya, aku tidak mau."
Mendengar ucapan Ines, aku langsung tersenyum bangga. Ternyata aku lebih dibela olehnya!
"Kalau begitu besok aku nggak setuju dengan rencana bertukar identitas denganmu," desis Leo sambil menatapku dengan ekspresi jengkel.
"Kok menghubungkan masalah tadi dengan ini sih?"
Leo menjulurkan lidahnya padaku dan menatap Ines lagi dengan ekspresi yang jelas-jelas dibuat sok sedih, "Ines, masa Mas Rio jahat bangat sama Kakak."
Aku langsung berjongkok dan menutup kedua telinga Ines, "Jangan mengatakan hal aneh padanya."
"Ha ha ha ha... aduh. Rio, hentikan," Leo mendadak tertawa terbahak-bahak sampai terduduk di lantai sambil memegangi perutnya.
Dia kenapa? Memang ada hal lucu yang terjadi sampai mendadak tertawa secara berlebihan begini?
Setelah terus tertawa tanpa henti selama kurang dari satu menit, Leo akhirnya kembali menatapku lagi, tapi masih ada senyum geli di wajahnya, "Tahu nggak? Kita aneh bangat tahu. Saudara kembar lain tuh biasanya berebut perempuan yang sama-sama mereka sukai, tapi kita sekarang malah memperebutkan anak kecil begini."
Ah, Leo menganggap lucu perselisihan yang sempat kami lakukan ya? Aku melepaskan kedua tanganku yang sedang menutupi telinga Ines, "Dia menggemaskan bangat sih. Aku nggak sangka ternyata memiliki adik yang begitu imut."
Tangan kanan Leo mencubit pipi Ines, "Tapi aku serius loh ingin mengajaknya menginap di rumah."
"Ucapanmu terdengar ambigu tahu! Dia boleh menginap di rumahmu jika aku juga menginap di sana."
"Tentu kau juga ikut untuk menjaganya, dasar kakak protektif!"
Aku tertawa mendengar ucapan Leo, "Aku juga akan protektif padamu."
Leo menunjukkan wajah ilfil sambil kembali menjauhkan tangannya dari Ines, "Jangan mengatakan hal menggelikan begitu deh!"