✧L✧
Tadi malam Rio mengatakan pelaku yang menabrakku dan Ayah sudah tertangkap, tapi aku tidak menyangka kalau si pelaku bisa sampai masuk ke semua berita online begini.
Yang dilakukannya memang kejahatan yang cukup besar sih. Mencuri dengan melakukan aksi kekerasan lalu juga penipuan karena menjual mobil curiannya.
Apa Rio benar-benar melaporkannya setelah aku mengalami kecelakaan? Kerja polisi sangat cepat ya? Luar biasa.
Ah, tapi Rio berperan juga ya karena sudah melapor? Aku semakin yakin dia memang intel polisi.
"Leo, kamu tidak perlu mengantar Ayah seperti ini."
Pandanganku berpaling melihat ke arah kaca spion tengah mobil untuk menatap Ayah yang duduk di bangku depan, "Kan aku juga mau tahu rumah Ayah, tidak apa-apa kan perginya bareng?"
"Tapi kan merepotkan. Kalau tahu kamu mau mengantar, lebih baik tadi Ayah pulang pagi hari saja."
Aku menghela napas, Ayah dan Rio sangat mirip ya? Bahkan ekspresi sungkan yang mereka tunjukkan juga persis sama, "Papa dan Mama menyuruhku mengantar Ayah sampai rumah. Pak Rahmat juga tidak keberatan kan?"
"Saya senang bisa membantu orang tua Den Rio."
Mendengar jawaban Pak Rahmat membuatku tersenyum puas, "Tuh kan. Jadi anggap saja aku anak yang terlalu khawatir pada orang tua jika harus pulang sendirian dari rumah sakit."
"Ayah menghargai rasa khawatirmu, tapi apa perlu Ayah yang justru duduk di bangku depan?"
Bukannya tadi Ayah sudah protes ya sebelum naik mobil? Lagian apa salahnya dengan duduk di bangku depan? "Jika Ayah duduk di depan bisa mengarahkan jalan pada Pak Rahmat lebih mudah kan?"
"Memang sih, tapi kan Ayah juga masih bisa duduk di bangku belakang bersama denganmu."
Rasa sungkan yang dimiliki Ayah ternyata lebih besar dibandingkan Rio. Kenapa sejak awal aku tidak merasa curiga kalau mereka berdua adalah ayah-anak padahal memiliki banyak kesamaan? "Oh ya, kenapa Bunda tidak menjemput Ayah?"
"Bunda semalam sudah menginap di rumah sakit, dan Ayah menyuruhnya pulang duluan agar bisa mengantar Ines ke sekolah."
Yang kutahu anak yang masih berusia sekitar lima tahunan tidak diperbolehkan masuk ke ruang rawat. Kemarin keberadaan Ines di kamar Ayah saja masih kuanggap sebagai sebuah keanehan. Wajar Bunda lebih memilih menjaga Ines yang masih kecil dibanding mengantar kepulangan Ayah.
Pandanganku berpaling ke arah kaca jendela mobil yang berada di sisi kanan, ini jalan yang sama seperti saat mau ke panti asuhan Kasih Mulia, "Ayah memang tinggal di dekat panti yang membesarkan Rio ya? Sudah berapa lama Ayah tinggal di sana?"
"Sudah lebih dari dua bulan."
Bisa dikategorikan cukup lama juga ya? Padahal Rio juga sering mendatangi panti ataupun food courd yang berada dekat sekolahnya, tapi kenapa dia tidak pernah bertemu dengan Ayah? Kenapa malah aku yang justru mengenal Ayah terlebih dahulu?
"Tolong hentikan mobilnya di warung yang berada di sana."
"Baik."
Setelah mobil terhenti, aku menatap rumah yang berada di sisi kiriku. Rumah Ayah di sini? Serius?
"Ada apa, Leo? Rumah Ayah tidak bagus ya? Maaf membuatmu merasa tidak nyaman."
Dibandingkan dengan rumahku yang tingkat dan memiliki luas tanah 650 meter, memang luas rumah ayah mungkin tidak sampai setengahnya, tapi bukan perbedaan itu yang membuatku terperangah.
Aku beralih menatap sisi kananku, melihat dengan teliti rumah yang berada persis di hadapan rumah Ayah. Ini kan rumah Sinta, "Aku pernah ke sini sebelumnya."
"Benarkah?"
Aku mengangguk, "Pak Rahmat tolong bukakan pintunya dong."
Karena pintu mobil di buka secara otomatis dari kursi pengemudi, aku baru dapat keluar dari mobil setelah pintu sudah dibukakan oleh Pak Rahmat.
Aku menatap rumah bercat cream yang berada di hadapanku. Ini benar-benar rumah Sinta. Jadi Ayah dan Sinta ternyata tetanggaan? Kok bisa kebetulan seperti ini terjadi?
"Leo kenal orang yang tinggal di rumah itu?"
Tunggu dulu, kenapa aku justru tercengang begini? Kan aku di sini untuk mengantar Ayah pulang, bukan untuk memperhatikan rumah Sinta.
Dengan cepat aku berjalan menuju ke arah Ayah yang sudah keluar juga dari mobil, "Iya, itu rumah teman Rio dan aku pernah mengantarnya pulang."
"Temannya Rio? Wah, kebetulan sekali ya?"
Terlalu ada banyak kebetulan di hidup Rio. Lama-lama ini menjadi tidak masuk akal, "Aku juga kaget. Sini kubantu masuk, Yah."
Ayah menerima uluran tanganku kemudian kami masuk ke rumah. Dan di dalam sudah ada Bunda yang baru saja keluar dari salah satu ruangan, "Leo yang mengantar Rizal pulang ya? Makasih ya, dan maaf sudah merepotkanmu."
"Tidak apa-apa kok, aku juga senang bisa membantu Ayah."
Bunda berjalan mendekat kemudian menatap Ayah dengan ekspresi serius, "Kamu sekarang harus istirahat total."
"Aku tahu. Makasih ya Leo sudah membantu Ayah."
Aku mengangguk dan memperhatikan Ayah memasuki ruangan yang kemungkinan besar adalah kamar dengan Bunda yang mengikuti sampai depan pintu, "Karena Senin sudah kembali masuk kerja, kamu harus istirahat sekarang."
Tunggu dulu, Ayah sudah mulai kerja di hari Senin dengan kondisi seperti itu? Memang bisa? Pekerjaan Ayah kurir kan? Tangan Ayah yang masih diperban seharusnya belum cukup siap mengendarai motor.
Coba kantor Papa punya semacam pekerjaan yang berhubungan dengan jasa kurir, pasti aku bisa minta tolong untuk memberi semacam bantuan pada Ayah.
"Aku tahu, Diana. Tidak perlu mengulang ucapan yang sama berkali-kali."
"Kamu itu keras kepala. Aku bisa mengulang ucapan yang sama sampai lima kali baru kamu mau menurut."
"Aku menurut kok. Jika tidak percaya bagaimana kalau kamu menemaniku istirahat saja?"
Aku sweatdrop saat Bunda menutup pintu kamar dengan cukup kencang. Hubungan Ayah dan Bunda ternyata unik begini ya? Papa dan Mama tidak pernah bersikap seperti ini di depanku, rasanya lucu karena baru tahu hubungan suami-istri bisa seperti ini juga.
"Maaf tentang yang tadi ya, Leo. Apa kamu mau menunggu Rio pulang?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaan Bunda, "Boleh kan?"
Bunda tersenyum, "Tentu. Walau sedikit berantakan, anggap saja sebagai rumah sendiri ya?"
✧R✧
Aku memang setuju ikut lomba cerdas cermat, tapi sejujurnya sejak awal aku tidak memiliki niat yang besar untuk berpartisipasi.
Jadi saat tadi aku dan Sinta kalah, kami justru merasa senang lalu merayakannya. Dengan begini kan kami tidak harus pusing-pusing lagi mempelajari pelajaran kelas dua dan tiga.
Ini pertama kalinya aku justru merasa begitu senang setelah kalah saat ikut lomba. Habis kami baru sekitar dua bulanan memulai jenjang SMA, masa malah terpilih menjadi perwakilan sekolah mengikuti lomba cerdas cermat se-Jakarta? Kan tidak masuk akal.
Tapi ya sudahlah, yang penting sekarang sudah kalah. Jika tahun depan sampai ditunjuk jadi perwakilan sekolah lagi, baru aku mau berusaha lebih keras agar bisa menang.
"Makasih udah mengantar ya, Rio."
Sudah membuat Sinta pulang sore karena tadi kami makan-makan untuk merayakan kekalahan dulu, aku pun mengantarnya pulang sampai rumah. Tapi kenapa sekarang aku justru melihat mobil yang sangat familiar terparkir di seberang rumah Sinta?
Ini mobil yang selalu dikendarai Pak Rahmat untuk mengantar jemput Leo kan? Kok bisa berada di sini? Bukannya kemarin Leo mengatakan ingin mengantar Ayah yang sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit? "Sinta, apa kamu tahu mengenai orang yang tinggal di depan rumahmu?"
Saat aku berpaling menatap Sinta, dia mengangguk, "Mereka baru pindah sekitar dua bulan yang lalu. Sepasang suami-istri yang mempunyai anak berumur lima tahun. Ah, dan mereka yang kutemui saat kita ke rumah sakit untuk melihat kondisi Leo."
Jadi tetangga yang saat itu Sinta maksud adalah Ayah? Kebetulan yang terlalu aneh. Semakin terasa aneh lagi karena ini pertama kali aku mengantar Sinta pulang sampai rumah.
"Emang kenapa?"
"Aku tinggal di sini mulai hari ini, kita akan jadi tetangga," jawabku sambil menunjuk rumah yang sedang terparkir sebuah mobil berwarna hitam.
"Apa?"
Wajar Sinta terkejut, ini terlalu tiba-tiba sampai membuatku juga tak mengerti, "Ini rumah ayah kandungku dan aku mulai tinggal dengannya. Ya udah, sampai besok."
Mengabaikan Sinta yang pastinya masih merasa bingung, aku mengarahkan motor ke rumah yang ada di seberang. Di warung yang menempel di sisi kiri rumah ada Bunda yang tersenyum padaku.
"Assalamualaikum, Bunda," setelah turun dari atas motor, aku berjalan mendekati Bunda kemudian menyalim punggung tangan kanannya.
Ekspresi Bunda terlihat terharu saat aku kembali menatap wajahnya, "Walaikumsalam."
Kenapa reaksi Bunda terlihat berlebihan? Apa ada yang salah dengan sikapku? Atau Bunda belum terbiasa padaku seperti dulu saat aku menghadapi Mama? Aku kan jadi tidak tahu harus bicara apa kalau situasinya canggung begini.
"Loh, Rio? Kok bisa sampai sini? Aku kan belum mengirim alamat," sosok Leo muncul dari teras rumah, terlihat begitu bingung karena aku belum sempat menanyakan alamat rumah Ayah padanya.
Jari telunjukku mengarah ke rumah depan, sudah tidak ada Sinta yang berdiri di sana, "Aku tadi nganter Sinta pulang lalu lihat mobilmu, jadi bisa langsung tahu ini adalah rumah Ayah."
"Aku juga kaget waktu pertama kali sampai sini."
Leo memang pernah mengantar Sinta pulang, bisa kutebak dia pasti jauh lebih merasa kebingungan dibandingkan aku, "Ini kebetulan yang terlalu aneh."
Leo mendengus, "Hidupmu kayaknya penuh dengan hal yang nggak masuk akal."
Aku menghela napas dengan pasrah, setuju dengan ucapan Leo, "Bunda, aku masuk dulu ya?"
"Ah, iya. Rio pasti capek kan karena pulang sore? Istirahat saja di kamar."
Bukannya orang tua akan marah jika anaknya terlambat pulang ke rumah sampai jam empat sore? Kenapa Bunda justru menyuruhku istirahat?
Ya sudahlah, anggap saja Bunda masih sungkan karena aku bukan anak kandungnya jadi masih memanjakanku. Mencoba untuk tidak memusingkan keadaan, aku berjalan memasuki rumah mengikuti Leo.
Di ruang tamu ada Ayah yang sedang duduk di sofa, "Rio tadi habis mengikuti lomba cerdas cermat ya? Leo sudah cerita. Bagaimana? Apa berjalan lancar?"
Aku ikut duduk di sofa setelah menyalim tangan Ayah, "Karena gagal makanya aku pulang lama, Yah."
Melihat wajah Ayah yang keheranan membuatku berpaling pada Leo yang sedang menghela napas, "Sejak awal aku tidak begitu niat ikut lomba cerdas cermat. Jadi karena gagal, aku tadi melakukan semacam perayaan dengan pasangan cerdas cermatku baru pulang."
"Oh, kencan dengan Sinta dulu ya?"
"Aku nggak kencan dengannya."
"Kalau cowok dan cewek jalan berdua namanya kencan kan? Nggak usah nyangkal karena nganggap Sinta sainganmu deh."
Tapi tidak selamanya perempuan dan laki-laki jalan berdua dinamakan kencan kan? Ada kok yang sekedar berstatus berteman tetap bisa jalan bersama. Kenapa Leo terkesan sensi bangat? "Oh ya, aku lupa mengatakan sesuatu yang penting pada Ayah."
Ekspresi wajah Ayah berubah menjadi penasaran, "Apa yang mau kamu katakan?"
"Pak kapolres Jaktim ingin aku menikah dengan anaknya."
"Apa?!"
Sepertinya aku sudah salah memilih kalimat sampai Ayah dan Leo sama-sama menunjukkan wajah syok, "Karena percaya padaku, Pak Surya ingin menjodohkan aku dengan anaknya."
"Dijodohkan? Dan Rio mau?" tanya Leo dengan nada tidak percaya.
Aku tidak mau memusingkan masalah cinta, kalau disuruh tentu menurut saja. Tapi kali ini aku tahu tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena harus meminta izin pada Ayah juga, "Aku sudah dipaksa menjadi polisi sampai pernah menolak diadopsi olehnya. Jadi jika Ayah mengizinkan, aku mau saja."
"Jika Rio mau, Ayah pasti memberikan izin. Tapi kapolres Jakarta Timur? Apa dia benar-benar yakin ingin menjodohkan anaknya dengan keluarga yang biasa-biasa seperti kita?"
Aku juga merasa tidak yakin. Dengan jabatan yang cukup tinggi, pasti Pak Surya tergolong keluarga kaya kan? Aku yang sekarang sangat tidak cocok bersanding dengan anaknya, "Kalau anaknya menolak, aku batal dijodohkan dengan dia kok."
"Kamu menerimanya karena tahu akan ditolak ya? Jangan mengatakan sesuatu yang mengagetkan deh."
Benar. Memang anak perempuan zaman sekarang masih ada yang mau dijodoh-jodohkan? Apalagi dengan laki-laki yang tidak dikenalnya. Salah satu alasanku setuju juga karena tahu kemungkinan anak Pak Surya menerima perjodohan ini sangatlah kecil.
Tapi berhubung masih memiliki kemungkinan menerima, aku tetap membicarakan ini pada Ayah, "Jika sampai mau, apa aku dibolehkan bertunangan dengan dia, Yah?"
"Dia pasti berasal dari keluarga baik-baik, tentu saja Ayah setuju. Tapi apa Rio tidak masalah menikah dengan perempuan yang belum tentu bisa kau cintai?"
Alasan yang mendasari sebuah pernikahan memang adalah cinta, aku tahu itu. Hanya saja aku terlalu sibuk untuk terus belajar sampai selalu mengabaikan perempuan, "Sampai sekarang aku tidak pernah jatuh cinta kok. Jika di masa depan sudah ada perempuan yang dapat kunikahi, aku justru senang karena tidak perlu repot-repot mencarinya lagi."
"Pikiranmu aneh bangat sih."
Aku tidak perlu komentar darimu, Leo. Yang kubutuhkah sekarang persetujuan dari Ayah, "Apa Ayah benar-benar memperbolehkannya? Jika tidak boleh, aku bisa menolak permintaan Pak Surya kok."
"Jika Rio mau dan senang, Ayah tidak mungkin menolak. Yang penting kamu tidak pernah menyesali keputusan yang sudah kamu buat."
Aku mengangguk patuh, "Pasti. Jika dia mau, aku akan belajar untuk mencintainya agar hubungan kami berjalan lancar ke depannya."