Leo sudah pernah dirawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan, dan saat ini dia juga mengalami hal serupa. Bedanya kali ini Leo tidak mengalami koma selama tiga minggu, dia sudah sadarkan diri setelah satu jam sejak dimasukkan ke rumah sakit.
Tapi yang sudah dialami Leo tetap saja masih membuat cemas Albert dan Laila. Bahkan Leo harus kena ceramah dulu sebelum akhirnya Rio yang mengunjungi kamar rawat.
Walau yang mendatangi kamar rawat sudah berganti orang, yang didapatkan Leo ternyata masihlah sama. Sebuah aksi protes.
"Kamu kenapa suka sekali mengalami kecelakaan sih?" tanya Rio dengan nada jengkel.
Leo tersenyum sambil memamerkan deretan giginya yang rapi, "Mau gimana lagi, namanya juga musibah."
Rio menghela napas kemudian duduk di kursi yang ada di samping ranjang rawat Leo, "Tapi nggak mesti terlibat tabrakan lagi, Leo. Jika terjadi hal yang sama kayak dulu, masa aku harus menyamar jadi kamu lagi sih?"
"Puji Tuhan aku nggak luka parah kok. Lihat aja sekarang, aku masih sadar kan? Nggak kayak dulu sampai mengalami koma selama tiga minggu."
Rio berdecak kesal, kenapa Leo malah terlihat bangga? Padahal dia sangat khawatir sejak tadi, "Untung ada orang yang menyelamatkanmu, kalau nggak kamu pasti mengalami luka yang lebih parah dibanding yang dulu."
Setelah diingatkan kronologis kejadian yang sudah terjadi, Leo panik, "Apa yang terjadi dengan paman yang menolongku? Apa dia baik-baik saja?"
Rio terdiam sesaat, "Dia sempat kekurangan darah, tapi untung golongan darahnya AB sama sepertiku, jadi aku bisa mendonorkan darah untuknya."
Wajah Leo sedikit memucat mendengar 'kekurangan darah', pastinya ada banyak darah yang keluar kan jika sampai kurang? "Apa lukanya separah itu?"
Rio menggeleng tidak tahu, "Aku bahkan belum lihat bagaimana keadaannya. Kamu beruntung bangat sih ada orang yang sangat baik sampai mau berkorban untukmu."
Dengan wajah khawatir, Leo memberi senyum kecil karena ingat dengan seseorang yang sudah menyelamatkannya, "Dia emang baik bangat. Nanti aku kenalin deh, Rio pasti juga merasa nyaman saat ngobrol dengan paman itu."
Rio mengernyit bingung, tidak menyangka Leo bisa akrab dengan seseorang yang usianya sepantaran dengan papa mereka, "Oh ya, tadi Sinta ikut ke sini, tapi dia baru chat kalau nggak bisa jenguk karena harus jaga anak tetangganya yang juga dirawat di sini."
"Kalau gitu sampaikan rasa terima kasihku karena telah repot-repot berniat menjenguk."
"Entah kenapa mendadak aku punya keinginan jadi dokter deh."
Salah satu alis Leo terangkat, bingung dengan topik obrolan yang mendadak berubah, "Emang kenapa? Kupikir Rio mau jadi guru."
Rio ikut memberi ekspresi bingung yang sama, "Kata siapa aku ingin jadi guru? Walau terdengar menyenangkan, aku nggak punya niat jadi guru."
"Lalu pekerjaan masa depan apa yang Rio inginkan?"
"CIA (Central Intelligence Agency) atau FBI (Federal Bureau of Investigation)," jawaban santai Rio membuat Leo ternganga, "tapi sekarang aku lebih ingin jadi dokter agar bisa langsung merawatmu."
"Kenapa cita-cita setinggi itu mendadak berubah cuma karena aku sih? Kejar aja sana keinginanmu, aku bakal berusaha bekerja keras untuk cari uang yang banyak agar bisa dirawat di rumah sakit mana pun saat sedang sakit."
"Nggak semua orang punya uang untuk berobat, Leo, ini yang mendasariku ingin jadi dokter. Tapi kamu yang hobi mengalami kecelakaan jadi alasan utamanya sih."
Leo memutar bola matanya. Rio tuh memang punya jiwa sosial yang kelewat tinggi ya? Tapi agak menjengkelkan juga karena sempat-sempatnya melakukan sindiran.
Saat pintu ruangan dibuka oleh Albert, Leo langsung menghentikan pembicaraan tentang masa depan yang mendadak dilakukan, "Papa, bagaimana keadaan paman yang menolongku?"
Albert sedikit terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba yang diajukan anaknya, "Leo sendiri bagaimana? Apa ada bagian tubuh yang terasa sakit?"
"Cuma terasa sedikit perih aja kok. Aku bahkan bisa berlari-lari di lorong jika Rio nggak menahanku."
Rio langsung memelototi Leo dengan jengkel. Jadi kembarannya ini sejak tadi punya niat iseng seperti itu? Kenapa sikap kekanakannya kumat bahkan dalam keadaan diinfus?
Albert berjalan mendekat, "Yang menolongmu sempat kekurangan darah karena mengalami luka yang cukup parah, tapi secara keseluruhan tidak ada kerusakan organ dalam ataupun tulang yang patah. Dan karena sempat tertabrak dengan keras, tubuhnya masih mengalami syok."
Leo terpaku. Dia tahu bagaimana rasa syok yang dialami akibat kecelakaan. Dia pernah mengalaminya, dan bahkan sampai koma selama tiga minggu karenanya, "Apa aku boleh mengunjunginya?"
"Dia masih belum sadarkan diri, lebih baik Leo istirahat dulu ya?"
Leo menatap ke arah Rio, tapi langsung dapat gelengan. Rio menolak menjadi Leo yang sedang diinfus, atau berpura-pura menjadi Leo untuk melihat keadaan paman yang sedang dikhawatirkan.
Mendapati permintaan tanpa suaranya ditolak dengan tegas, Leo menghela napas, "Tapi kalau dia udah sadar, tolong beri tahu aku ya, Pa? Aku ingin mengucapkan terima kasih secara langsung padanya."
Albert tersenyum, mengerti dengan yang anaknya rasakan saat ini, "Pasti. Papa juga ingin berterima kasih padanya."
Karena Leo sudah kembali tertidur lagi, Albert menyuruh Rio pulang bersama dengan Laila. Sedangkan dia memilih menginap di rumah sakit untuk menjaga Leo.
Meski Laila ingin menginap untuk menjaga Leo juga, tapi Rio sukses meyakinkan Laila agar beristirahat di rumah. Albert benar-benar senang sekarang memiliki anak lain yang bisa membuat istrinya merasa sedikit tenang.
Dulu sebelum ada Rio, Albert harus merasakan cemas dua kali lipat karena Laila hampir ikut sakit akibat ingin terus menjaga Leo.
Jadi dengan ada Rio yang membuat Laila tidak gelisah secara berlebihan, Albert bisa fokus mengurus Leo di rumah sakit. Dia bahkan sampai tidak masuk kantor demi menjaga sang anak.
"Pa, bagaimana keadaan paman yang menolongku? Apa sekarang dia udah sadar?"
Albert mengangguk, "Dokter mengatakan dia sudah sadar. Setelah Leo selesai sarapan, bagaimana kalau kita mendatangi kamar rawatnya?"
Karena dijanjikan sesuatu yang diinginkan, Leo bisa menghabiskan sarapannya dengan cepat. Bahkan terlalu cepat seolah langsung menelan makanan yang masuk ke mulutnya tanpa proses dikunyah dahulu.
Albert menggeleng melihat tingkah sang anak, "Sepertinya kamu sangat mengkhawatirkannya ya? Apa Leo sudah mengenalnya?"
Setelah menghabiskan sarapannya, Leo bangkit untuk berdiri dari tempat tidur sambil memegang tiang infus, "Nggak begitu kenal dekat sih, tapi dia baik kok, Pa. Dia bahkan menganggapku seperti anaknya sendiri."
Albert menuntun Leo keluar dari ruangan dengan bingung. Dia sama sekali tidak tahu anaknya ini mudah dekat dengan orang asing. Walau merasa heran, Albert tetap menemani Leo masuk ruang rawat yang berada tepat di samping kiri kamar yang ditempati oleh Leo.
"Paman Rizal baik-baik saja?" masih dengan tiang infus di tangannya, Leo berjalan mendekat dengan khawatir.
Dan setelah berada di samping ranjang rawat Rizal, Leo langsung tertegun saat tubuhnya dipeluk dengan sangat erat. Ada perasaan lega yang Leo tangkap dari Rizal yang sedang memeluknya, "Untunglah kamu selamat dan baik-baik saja."
Tangan Leo secara spontan mengelus punggung Rizal, "Terima kasih sudah menolongku."
"Tidak, justru aku yang harus berterima kasih karena kamu sudah selamat. Aku tidak ingin kehilangan anakku lagi."
Rizal melepaskan pelukannya kemudian memperhatikan wajah Leo dengan seksama. Tatapan penuh kasih sayang yang justru membuat Leo kecewa karena tahu tatapan ini bukanlah diberikan padanya. Rizal hanya menatap Leo sebagai pengganti anaknya saja.
"Terima kasih sudah menolong anak saya. Jika tidak ada Anda, anak saya pasti sudah mengalami luka yang sangat serius," ucap Albert sambil berjalan mendekat.
Rizal langsung menjauhkan tangannya dari Leo seolah baru menyadari keberadaan Albert, "Tidak apa-apa. Kebetulan saya mengenal dan sedang bersama dengan anak Anda, jadi saya tergerak untuk menolongnya."
Albert mengelus kepala Leo, "Tidak banyak orang yang mau melakukan apa yang sudah Anda lakukan, saya merasa senang dan beruntung anak saya bisa mengenal Anda."
Sorot mata Rizal terlihat sayu melihat kedekatan ayah-anak ini, "Oh ya, istri saya tadi bilang Anda yang membayar biaya rawat saya, terima kasih sudah membantu."
"Ini sebagai balasan dari apa yang telah Anda lakukan. Jika ada hal lain yang Anda inginkan, tolong jangan sungkan memintanya. Saya ingin sekali membalas perbuatan baik Anda."
Rizal menggeleng, "Tidak perlu. Memberikan fasilitas kamar rawat kelas satu untuk saya sudah sangat cukup membantu kok."
Gantian Albert yang menggeleng, "Tidak, ini belum seberapa. Anda berhak mendapat lebih karena sudah menyelamatkan nyawa anak saya."
"Saya senang dengan kebaikan hati yang Anda tawarkan, tapi saya tidak mau terlalu membebani."
Saat Albert menghela napas karena gagal memaksa Rizal menerima tawarannya, Leo mengernyit bingung. Kok tiba-tiba dia jadi ingat seseorang ya melihat penolakan yang terus Rizal berikan? Rasanya Leo sangat tidak asing dengan sikap yang suka menolak seperti ini.
"Oh ya, lalu bagaimana keadaanmu?" Rizal kembali menatap Leo dengan cemas.
Secara refleks Leo langsung memberikan senyum terbaiknya, "Aku besok udah dibolehkan pulang, jadi aku baik-baik aja."
Tubuh Leo memang cuma mengalami luka lecet dan memar di beberapa bagian kaki dan punggung saja, karena tidak ada yang serius, dokter bisa langsung memberinya izin pulang.
Sedangkan Rizal, tangan kiri dan keningnya sampai diperban karena mendapat beberapa jahitan. Luka yang seharusnya dialami oleh Leo justru menjadi milik Rizal.
"Walau diizinkan pulang, aku masih boleh menjenguk Paman kan?"
Rizal mengangguk, "Tentu saja, Paman justru sangat senang jika kamu mau datang menjenguk."
Melihat interaksi yang dilakukan oleh Leo dan Rizal membuat Albert semakin merasa penasaran. Dia nanti harus menanyakan sendiri pada Rizal kenapa bisa sangat perhatian begini pada Leo.
Memang tadi Leo mengatakan Rizal sudah menganggap Leo seperti anak sendiri. Tapi terasa unik saja melihat semua ini, apalagi Rizal juga tidak memanfaatkan situasi dengan meminta bayaran atau apapun karena telah menyelamatkan Leo.
Jarang sekali ada yang mau menolong orang yang tidak begitu dikenal dengan tulus tanpa meminta imbalan seperti yang sudah dilakukan Rizal.