Chereads / L/R / Chapter 31 - 30

Chapter 31 - 30

Walau sempat ditolak, Albert tetap mengantar Rio sampai pintu keluar rumah sakit. Dia setidaknya ingin lebih menunjukkan sosok seorang ayah yang perhatian sampai akhir.

Selama ini Albert sadar jika dirinya memang kurang memberi kasih sayang pada anaknya dengan alasan sibuk bekerja. Bahkan karena jarang menghabiskan waktu bersama sang anak, Leo sampai menganggap Rizal seperti orang tuanya sendiri.

Melihat Leo masih bergeming di depan kamar rawat Rizal, secara refleks Albert menghela napas.

Merasa bersalah sudah membiarkan Rizal salah mengenalinya, ikut senang mengetahui Rio bisa bertemu orang tua kandungnya, sedih takut kehilangan saudara yang selama ini sangat diinginkannya. Bukan hanya Rio saja, Leo pun mengalami pergulatan batin yang hebat dengan bermacam-macam perasaan yang sedang dialaminya.

Memang sejak mendengar ayah kandung Rio masih hidup dan berniat ingin tinggal bersama, Leo sudah tahu sosok saudara yang diinginkannya suatu saat akan pergi. Tapi ini terlalu cepat, Leo belum banyak menghabiskan waktu bersama dengan Rio. Masih ada banyak hal yang ingin dia lakukan.

Albert mengelus punggung Leo untuk memberi semangat, "Apapun keputusan yang Rio ambil, Leo harus bisa menerimanya ya?"

Dengan berat hati Leo mencoba mengangguk. Dia harus mendukung keputusan Rio, dia tidak boleh egois. Meski Rio memilih tinggal bersama Rizal, tidak berarti Leo berpisah selamanya dengan Rio. Mereka masih bisa bertemu, mereka juga masih berteman, tapi, "Apa aku masih bisa menjadi saudara Rio?"

"Tentu saja. Ikatan saudara bisa terjalin bukan hanya karena kalian lahir dari orang tua yang sama, bukan juga karena nama kalian berada di satu kartu keluarga yang sama. Walau Rio tidak bisa diadopsi secara legal, Leo selama ini masih menganggapnya sebagai saudara kan?"

Leo mengusap wajahnya, ucapan Albert sangatlah benar. Apapun pilihan yang diambil oleh Rio, mereka masih bisa menjadi saudara. Tidak ada yang berubah, "Tapi apa Rio juga menginginkan hal yang sama?"

Meski sejak awal Leo sangat ngotot mengatakan Rio adalah kembarannya, Rio tidak melakukan hal yang sama. Sampai detik ini Rio masih memperlakukan Leo sebagai sosok teman saja.

Mengerti dengan yang sedang Leo pikirkan, untuk ke dua kalinya Albert menghela napas, "Rio juga menganggap Leo sebagai saudara kok. Bahkan setelah Leo kembali tinggal di rumah, Rio terlihat jauh lebih bahagia."

Leo menatap Albert dengan seksama, dia ingin percaya dengan ucapan sang papa. Selama ini Rio selalu merasa sungkan saat sedang bersama dengannya, Rio juga terlihat masih menahan diri seolah merasa takut membuat Leo marah ataupun sedih. Dan karena sikap itu jugalah Leo mencoba berjalan mendekat duluan agar Rio bisa bersikap santai tanpa perlu menahan diri lagi.

Melihat anaknya sudah mulai lebih tenang dibanding sebelumnya, Albert menunjuk pintu kamar rawat Rizal, "Bagaimana kalau sekarang kita minta maaf pada Pak Rizal karena sudah membuatnya salah paham?"

Leo menatap pintu kamar rawat dengan ragu, dia juga belum siap untuk ini, tapi tidak sopan jika belum mengucapkan maaf sudah membuat Rizal salah paham.

Albert mengelus kepala Leo dengan lembut, "Leo tidak melakukan kesalahan apapun, dia tidak akan marah kok."

Setelah meyakinkan diri, akhirnya Leo mau mengikuti Albert untuk masuk kamar 402A. Tapi karena masih sedikit takut, Leo memilih bersembunyi di belakang Albert. Dengan berbagai macam alasan, masih sangat sulit bagi Leo untuk kembali menemui Rizal.

Kelakuan yang cukup kekanakan ini membuat Albert menegur Leo, "Leo, bersikaplah lebih sopan."

Rizal tersenyum melihat Leo yang memilih berdiri di belakang Albert, "Bagaimana keadaan Leo sekarang? Apa sudah sehat?"

"Iya. Maaf membuat Paman kecewa karena yang sudah ditolong bukanlah anak Paman sendiri."

"Paman tetap merasa senang kok sudah menolongmu. Rio sangat menyayangi Leo, Paman senang sudah menolong seseorang yang sangat penting untuk Rio."

Leo berjalan mendekati Rizal, tapi dengan posisi kepala yang masih tertunduk, "Meski Paman salah mengenaliku, aku senang sudah Paman anggap sebagai anak sendiri."

Rizal mengelus kepala Leo dengan perlahan, "Paman juga senang saat bersama Leo. Kamu mungkin bukanlah Rio, tapi Leo juga sudah membuat Paman merasa seperti sedang bersama anak sendiri saat bersamamu."

Mata Leo menatap Rizal dengan sendu, rasanya dia seperti sedang menghadapi Rio versi dewasa, "Apa aku boleh memanggil Paman dengan sebutan Ayah seperti yang Rio lakukan?"

Rizal menatap Albert untuk meminta persetujuan. Albert mengangguk, "Orang tua Rio merupakan orang tua Leo juga."

"Aku senang jika Leo mau menjadi anakku."

Leo memeluk Rizal, "Terima kasih sudah mau menjadikanku sebagai anak juga, Ayah."

Melihat kedekatan ini, Albert tidak bisa menahan rasa irinya. Dalam waktu singkat, Rizal sukses mengambil hati kedua anaknya. Sedangkan dia, untuk membuat Leo mau terbuka berbagi cerita saja tidak bisa. Mungkin setelah ini dia harus lebih mengutamakan keluarga dibanding pekerjaan.

"Oh ya, rumah Pak Rizal berada di mana?" tidak ingin terus-terusan merasa iri, Albert memutuskan menanyakan hal yang sudah membuatnya penasaran sejak awal.

"Saya mengontrak di dekat panti asuhan Kasih Mulia."

Mendengar jawaban itu, Leo menengok ke arah Albert dengan raut bersemangat, "Bukannya Papa baru membeli rumah? Kenapa tidak membiarkan Ayah tinggal di sana saja?"

"Eh?" Rizal bingung dengan keputusan mendadak yang diucapkan Leo.

Sedangkan Albert langsung mengangguk setuju, "Papa sengaja membeli rumah itu untuk ditempati Rio di masa depan, walau dia pasti menolak. Jika ayahnya mau menempati, Papa tidak keberatan. Justru malah bagus karena tidak membiarkan rumah itu kosong."

Dengan panik Rizal menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak perlu repot-repot, Pak Albert. Pemberian dari Anda terlalu besar, saya harus menolaknya."

Sudah terbiasa dengan penolakan yang sering Rio lakukan memuat Albert tahu bagaimana cara menghadapi sikap terlalu sungkan, "Jika Anda menolak, bagaimana kalau Anda tinggal di rumah yang sama dengan saya? Ini lebih memudahkan Rio untuk tidak pusing memikirkan ingin tinggal dengan siapa kan?"

Karena dalam sekali lihat sudah tahu Albert adalah orang kaya, Rizal tentu semakin memberi penolakan, "Tidak ada alasan bagi saya untuk bisa tinggal di rumah Anda."

"Kenapa tidak? Anak kita sudah menjadi saudara, kita juga pasti bisa melakukan hal yang sama."

Mana mungkin Rizal bisa mengakui laki-laki hebat ini sebagai saudaranya! Mereka terlalu berbeda, sangat berbeda. Jika bukan karena Rio, mereka pasti tidak mungkin bisa saling mengenal.

Melihat perdebatan yang masih dilakukan oleh Albert dan Rizal, Leo terbengong. Ini sudah seperti gambaran masa depannya dengan Rio.

Akhirnya perdebatan sengit ini tetap dimenangkan oleh Rizal, Albert hanya bisa memijit pelipisnya setelah lagi-lagi menerima kekalahan.

Leo tak bisa menahan tawanya melihat semua ini. Padahal tadi dia merasa tertekan, tapi melihat yang dilakukan Albert dan Rizal membuat beban Leo langsung terangkat.

Seharusnya Rio saja yang sekarang berada di posisi Leo. Kalau melihat ini, Rio pasti juga tidak perlu sampai memasang wajah sedih untuk mengambil keputusan tempat tinggalnya setelah bertemu Rizal.

Saat Albert mengajak pulang bersama, Leo menolak dengan mengatakan mau menginap di panti asuhan Kasih Mulia. Dia ingin menemui Rio dan bicara dengannya.

Tahu kedua anaknya butuh bicara empat mata, Albert memberikan izin. Lagipula Albert mesti menjelaskan masalah ini kepada Laila.

Setelah berada di panti asuhan, Leo langsung mencari keberadaan Rio. Setelah bertanya pada salah satu orang yang berada di sana, Leo berjalan menuju beranda yang berada di belakang panti.

Memang ada Rio di sini, dia sedang dalam posisi memunggungi Leo jadi tidak tahu tentang keberadaannya. Dan saat menyadari jaket yang sedang Rio pakai, Leo tersenyum, "Jadi kau memilih untuk tinggal bersama Ayah?"

Rio langsung membalikkan tubuh dan melihat Leo dengan ekspresi terkejut, "Kenapa Leo ada di sini?"

"Aku udah diizinkan nginep di sini kok, jangan khawatir."

Meski Leo bisa menunjukkan senyum cerahnya, Rio masih menunjukkan ekspresi wajah gelisah. Apa yang sedang masing-masing mereka rasakan saat ini begitu berbeda.

"Maaf ya aku nggak menyadari tentang Ayah. Habis kami cuma pernah bertemu dua kali dan Ayah juga bersikap seolah baru mengenalku, aku nggak sangka ternyata dia adalah sosok ayah yang begitu ingin Rio temui."

Rio sama sekali tidak menyalahkan Leo. Lagian Leo juga tidak tahu seperti apa wajah ataupun nama ayahnya, "Eh, tunggu dulu, kenapa kau memanggil dengan sebutan ayah?"

Senyum cerah semakin tergambar jelas di wajah Leo, "Karena orang tua Rio adalah orang tua untukku juga."

Padahal awalnya Leo yang bersedia berbagi orang tua dengan Rio, tidak disangka posisi mereka sekarang terbalik. Rio tersenyum, ini benar-benar aneh, "Apa Leo marah jika aku memilih ingin tinggal bersama Ayah?"

"Nggak marah lah, kita kan masih bisa ketemu seperti ini. Justru Mama dan Papa yang merasa kecewa karena nggak bisa sering-sering bertemu denganmu lagi."

Rio menghela napas, dia tahu akan hal itu. Walau sudah membuat keputusan, tetap saja terasa berat harus berpamitan pergi kepada Laila dan Albert.

Rio merasa dirinya sudah sangat jahat dengan membalas semua kebaikan yang diterimanya selama ini dengan cara seperti ini, "Aku janji sesekali akan menginap di rumah Mama dan Papa."

"Aku juga janji sesekali akan menginap di rumah Ayah."

Mendengar ucapan Leo langsung membuat Rio memberi sebuah lirikan aneh, "Untuk apa?"

Pandangan Leo mengarah ke langit malam, memandang beberapa cahaya redup dari bintang yang menghiasi langit, "Jika Mama dan Papa terlalu sibuk, aku ingin merasakan memiliki ayah yang bisa makan satu meja denganku."