"Ternyata kamu ayah kandung Rio ya? Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi dalam situasi seperti ini."
Rizal tersenyum mendengar ucapan wanita yang menjenguknya, "Sudah lama ya? Aku juga tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi."
"Sekarang aku mengerti dari mana asal sifat misterius yang dimiliki Rio, sangat kamu sekali."
"Apa kamu marah karena aku kembali mengambil seseorang yang kau sayangi, Laila?"
♔
"Kenapa sedari tadi kau menatapku terus, Leo?" tanya Rio yang sama sekali tidak mengerti dengan maksud tatapan tak suka yang terus Leo tunjukan padanya.
"Aku nggak tahu harus senang atau kesal saat ini."
Rio mengerutkan dahi, semakin dibuat bingung oleh jawaban yang Leo berikan, "Apa aku udah melakukan sesuatu yang salah?"
Leo menghela napas kemudian berpaling untuk melihat lorong rumah sakit yang sedang ia lewati, "Lupakan. Lalu bagaimana dengan lomba cerdas cermat yang kau ikuti? Udah selesai?"
"Besok aku dan Sinta bertanding lagi," walau masih dibuat bingung, Rio tetap menjawab pertanyaan agar tidak memperburuk suasana hati orang yang berjalan di samping kirinya.
"Jangan terlalu keras pada Sinta."
"Bagas udah sering mengatakan itu padaku. Dan karena ingin menjenguk Ayah, aku sekarang nggak sempat mengajarinya lagi kok."
Leo mengangguk dengan puas, "Dia udah nggak dapat pengajaran bagai neraka darimu lagi ya? Baguslah."
Rio berdecak kesal, kenapa semua orang berpihak pada Sinta sih? "Dia sainganku, mana mungkin aku mau berbaik hati memperbagus nilai-nilainya."
"Egoisnya..."
"Kau juga punya sifat egois yang sama."
Tidak dapat menyangkal ucapan Rio membuat Leo lebih memilih diam kemudian membuka pintu kamar rawat 402A tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
Dan dua orang yang memiliki wajah yang mirip itu langsung menunjukkan ekspresi kebingungan yang sama melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar rawat. Ada Rizal yang sedang memperhatikan wajah Laila yang tertunduk.
Saat Rio mengucek matanya untuk mengecek tidak salah lihat, Leo yang juga tidak mempercayai penglihatannya membenarkan kacamata yang sedang dipakai.
Kenapa Laila bisa berada di sini dan menunjukkan ekspresi sedih?
Rizal yang menyadari kehadiran Leo dan Rio memberi isyarat untuk mendekat, "Bisa membantuku menenangkan Laila?"
Leo berjalan masuk terlebih dahulu disusul oleh Rio setelah kembali menutup pintu kamar rawat, "Mama kenapa?"
Tidak ada jawaban, fokus mata Laila yang terlihat sendu masih tertuju pada Rizal, "Apa kau serius?"
Rizal memberi anggukan sambil menatap Rio, "Olivia juga tahu memiliki risiko tinggi akan meninggal setelah melahirkan, tapi dia tetap ingin mempertahankan janin di rahimnya. Melihat kesungguhannya itu membuatku tidak bisa melakukan apa-apa."
Mendadak nama ibu kandungnya menjadi topik pembicaraan membuat Rio keheranan. Dia memang sudah pernah diceritakan oleh salah satu ibu pengurus panti mengenai penyebab meninggalnya sang ibu setelah melahirkan, yang dia heran justru Rizal yang menjelaskan semua itu pada Laila, padahal dia sendiri belum mendapat penjelasan apa-apa dari sang ayah.
Pandangan Laila beralih menatap Rio, "Jadi Rio anak Via ya? Kalian sungguh kejam tidak mencoba mengundangku saat menikah, aku bahkan baru tahu Via sudah meninggal sekarang. Tapi bisa bertemu dengan anak kalian seperti ini membuatku merasa senang."
"Mama kenal ibuku?" tanya Rio sambil membiarkan tangan kanan Laila mengelus kepalanya dengan lembut.
"Kami bersahabat. Pantas Rio terasa tidak asing lagi. Rio begitu mirip dengan Via, sangat baik dan juga pintar."
Mendengar pujian itu membuat Rio tersenyum, ini pertama kali ada yang mengatakan dia memiliki kemiripan dengan ibu kandungnya.
Sedangkan Leo justru terpaku, terlalu terkejut dengan kebetulan yang sangat tidak disengaja ini, "Apa benar, Yah? Apa Mama sangat dekat dengan ibu kandung Rio?"
Rizal mengangguk Leo untuk membenarkan, "Mereka satu SMA dan sangatlah dekat, bahkan mamamu selalu protes jika Via lebih banyak menghabiskan waktu denganku."
Ternyata sikap protektif Laila belaku pada siapa saja dan sudah ada sejak dulu. Leo baru mengetahui tentang ini, "Apa Ayah juga bersahabat dengan Mama?"
"Kenapa Leo memanggil Rizal dengan sebutan ayah?" sebelum Rizal sempat menjawab pertanyaan Leo, Laila sudah dulu bertanya dengan bingung.
"Ah, benar juga, Ila tidak tahu ya? Karena kamu sudah menganggap Rio sebagai anak sendiri, aku juga melakukan hal yang sama pada Leo," jawab Rizal sambil menunjuk Leo.
Laila menaikkan salah satu alisnya, merasa aneh, "Kenapa seolah-olah kita berdua menikah lalu memiliki anak bersama?"
Mata Rizal melirik ke arah lain, sejak awal dia sudah menyadari keanehan ini, "Suamimu sudah setuju saat Leo ingin memanggilku dengan sebutan ayah."
"Al setuju?"
"Iya. Tapi kamu tidak boleh lupa menjelaskan bagaimana hubungan kita agar dia tidak salah paham dan mengira dulu kita adalah mantan pacar atau sejenisnya."
Melihat Laila mengangguk mengerti, Leo semakin tidak bisa menahan rasa penasarannya, "Memang bagaimana hubungan Mama dan Ayah?"
"Aku selalu protes ketika Rizal ingin menjemput Via di sekolah, tapi melihat kami yang sering bertengkar di depan gerbang sekolah malah membuat banyak orang salah paham dan mengira yang dijemput Rizal adalah aku."
"Ayah tidak satu sekolah dengan Mama?" tanya Rio yang juga merasa penasaran karena Rizal tadi memanggil nama Laila dengan cara menyingkatnya, padahal dengan Albert masih kaku dan menambah awalan 'pak' untuk memberi kesan menghormati.
Rizal menggeleng, "Ayah tidak sepintar ibumu yang bisa mendapat beasiswa di sekolah swasta mahal. Tapi karena Ila sangat dekat dengan Via, secara otomatis kami juga sering bertemu."
Rio dan Leo mengangguk kompak, hubungan orang tua mereka dulu sangat unik ya? Tapi lebih unik mereka berdua yang sampai bisa memiliki wajah sangat mirip begini sih.
"Baiklah, kalau begitu kamu tidak boleh melarangku saat ingin bertemu dengan Rio."
"Aku tidak pernah sekalipun melarangmu, Ila."
Laila menghela napas melihat Rizal yang sedang menatapnya dengan pandangan lelah, "Jangan pernah melarangku jika mau membantu Rio. Biarkan aku melakukan apa yang tidak bisa kulakukan pada Via, kamu tidak boleh merasa sungkan padaku."
Rizal langsung menggaruk pipinya dengan canggung, kalau yang ini sih permintaan yang cukup sulit dituruti, "Meski kamu sudah menganggap Rio sebagai anak sendiri, aku tidak mau terkesan memanfaatkanmu."
"Iya, aku juga tidak mau merepotkan Mama atau Ayah. Aku akan berusaha agar pihak sekolah menerima permintaan beasiswa yang kuajukan untuk semester dua."
"Kau akan apa?" seolah sudah salah dengar, Leo mempertanyakan apa yang baru saja diucapkan Rio.
"Jika aku bisa membawa nama sekolah cukup jauh di lomba cerdas cermat, dan aku juga mendapat nilai yang bagus di ujian tengah semester. Sekolah mau memberiku beasiswa."
Leo mengangguk mengerti, ini menjelaskan kenapa Rio begitu berusaha keras memenangkan pertandingan cerdas cermat meski harus dipasangkan dengan orang yang dianggap sebagai saingan.
Sedangkan Laila yang mendengar penjelasan ini justru menggeleng dengan pasrah, "Jadi sejak awal kamu sudah merencanakan ini ya?"
Rio mengangguk mantap, "Aku lebih termotivasi belajar jika untuk mendapatkan beasiswa atau saat harus mempertahankannya."
Rizal menghela napas, "Aku senang Rio tumbuh menjadi anak yang pintar, tapi aku sedih karena kamu melakukan sesuatu yang membuatku seolah tidak mampu membiayai sekolahmu."
"Aku juga merasakan sedih yang sama, Rizal."
"Sikap baikmu terkadang mengesalkan ya?" gumam Leo yang juga tidak mengerti dengan Rio yang terlalu terobsesi mendapat beasiswa walau sudah memiliki orang tua yang bisa membayar biaya sekolah.
Rio tersenyum canggung mendengar tiga respon itu. Karena kebiasaan, dia jadi tidak ingin merepotkan siapa pun dengan masalah biaya sekolah.