Chereads / L/R / Chapter 32 - 31.L

Chapter 32 - 31.L

Karena sejak dulu Mama dan Papa sering sibuk bekerja, kesepian adalah hal yang selalu kurasakan saat berada di rumah sendirian. Bahkan aku pernah memiliki harapan Mama dan Papa berhenti bekerja agar lebih memperhatikanku.

Tapi tak kusangka sekarang aku bisa mendapatkan sosok orang tua baru. Aku memiliki seorang ayah lagi. Ah, bukan karena orang tuaku bercerai lalu Mama menikah lagi, tapi aku memiliki ayah baru berkat Rio.

Setelah Rio juga sepakat berbagi orang tua denganku, sekarang aku memiliki keluarga baru. Tidak kusangka situasi bisa menjadi seperti ini setelah Rio bertemu lagi dengan ayah kandungnya.

Meski terasa menyenangkan mendadak memiliki Ayah yang sangat baik padaku. Aku sekarang gugup.

Ini menjadi kali pertamaku bertemu dengan ibunya Rio. Tunggu, apa Rio memanggil dengan sebutan Ibu? Atau Bunda? Terasa janggal jika dipanggil Umi ya?

Aku tidak keberatan sih dengan pemilihan panggilan, tapi mudah-mudahan tidak dipanggil Mama saja. Terlalu membingungkan jika memiliki dua orang mama.

Oke, abaikan pemilihan panggilan yang belum jelas ini. Sekarang aku harus menenangkan diri dulu sebelum memasuki kamar rawat Ayah.

Setelah mengatur napas beberapa kali, aku mengetuk pintu dua kali kemudian langsung membukanya. Di dalam ruangan ada Rio, Ayah, seorang wanita yang belum kutahu nama atau cara Rio memanggilnya, dan seorang gadis kecil.

"Leo hari ini menjenguk lagi ya?"

Dengan gugup aku berjalan mendekat. Meski Ayah sudah setuju menganggapku sebagai anaknya, tetap saja terasa canggung berada di tengah-tengah keluarga orang lain.

Aku merasa seperti orang asing yang mengganggu. Apa Rio sempat merasakan hal seperti ini juga ketika bersama Mama dan Papa?

"Mereka bukan saudara kembar kok."

Bingung, aku menatap Ayah yang sepertinya baru saja bicara dengan wanita yang berdiri di sampingnya. Ah benar, ini bukan ibu kandung Rio ya? Beliau pasti heran melihat kemiripan wajahku dengan Rio.

Tapi meski bukan orang tua kandung, Beliau tetap menjadi bagian dari keluarga Rio, aku harus bersikap baik padanya. Aku menjulurkan tangan untuk mengajak berkenalan, "Namaku Leo Alvarez."

"Diana."

Dahiku mengerut bingung, kenapa malah menyebutkan nama? Padahal aku juga ingin memanggil dengan cara yang sama seperti Rio memanggilnya, "Um... aku sudah menganggap Ayah seperti orang tuaku sendiri, apa aku juga boleh menjadi anak Anda? Lalu bagaimana cara Rio memanggil?"

Saat aku berpaling menatap Rio untuk bertanya, Rio justru terlihat kebingungan. Tunggu dulu, masa Rio juga belum menentukan panggilan sih?

"Bunda."

Bunda ya? Untunglah Rio tidak memilih panggilan mama. Tapi begitu aku kembali memalingkan pandangan, wanita yang berada di hadapanku ini terlihat terharu. Loh, kenapa? Apa yang salah?

"Dia hanya terharu karena ini pertama kali Rio memanggilnya Bunda."

Oh... jadi Rio memang belum menentukan panggilan ya? Aku mengangguk mengerti mendengar penjelasan Ayah.

"Kenapa Mas Rio ada dua?"

Kedua netraku mengarah ke anak kecil yang berdiri di dekat Rio. Imutnya.... kenapa dia bisa menunjukkan ekspresi menggemaskan begini saat terlihat bingung? Aku kan jadi ingin minta memiliki adik perempuan setelah pulang nanti.

Mustahil, usia Mama sudah empat puluh tahun, melahirkan dalam usia seperti itu terlalu berbahaya kata buku yang pernah Rio baca.

Dibanding menuntut sesuatu yang tidak pernah terkabul selama ini, lebih mudah dengan menjadikan gadis kecil ini sebagai adikku juga kan? Aku langsung berjongkok untuk bisa melihat wajahnya dari dekat, "Aku bukan Mas Rio, aku Leo. Dan kami memang terlihat sama."

Rio ikut berjongkok untuk memelototiku dengan kesal, aku hanya bisa nyengir. Walau lawan bicaranya anak kecil, aku tetap suka membanggakan kemiripan ini sih.

Mencoba mengabaikan aura intimidasi yang mulai dikeluarkan Rio, aku kembali menatap anak ini, "Kamu namanya siapa?"

"Inestasya Azahra. Um, bagaimana cara membedakan Kakak dengan Mas Rio?"

Saat melihat tangan kanan Rio bergerak mendekati leherku, aku menahan pergelangan tangannya dan menarik sendiri kalung yang selalu kupakai, "Aku memakai kalung ini, sedangkan Rio tidak."

Rio menyingkirkan tangannya dariku, "Kenapa sih? Kamu nggak suka aku main menarik kalungmu?"

"Aku cuma ingin melakukannya sendiri kok. Dibanding terus membanggakan kemiripan yang kita miliki, menunjukkan perbedaan juga menyenangkan kan?"

"Terserah. Oh ya, Ines harus ingat baik-baik ya tentang ini?"

Aku ikut melihat ke arah gadis kecil yang dipanggil Ines, dia sedang memegang bandul kalungku seperti sedang menelitinya.

"Mas Rio tidak memakai benda yang sama?"

Karena tatapannya terasa begitu intens, aku menarik bandul kalungku agar terlepas dari tangan Ines, "Rio tidak akan memakai ini. Kalau begini Ines bisa membedakan kami kan?"

Setelah melihat anggukan dari Ines, aku kembali berdiri. Menghadapi anak kecil yang berbeda agama denganku terasa lebih rumit dibanding dengan menghadapi Sinta yang salah menebak agama Rio.

"Ayah selama ini tidak menyadari keberadaan itu."

Aku menyentuh salib yang menjadi bandul di kalungku yang ditunjuk Ayah, "Sepertinya sering masuk ke baju karena rantainya cukup panjang. Maaf, padahal ini yang paling menjadi pembeda antara aku dan Rio."

"Tidak, Ayah justru bersyukur belum pernah melihatnya. Dibanding menyangka kau bukan anakku, Ayah malah berpikir Rio telah pindah agama jika pernah melihat kalung itu."

Ternyata kesalahpahaman yang terjadi bisa lebih ekstrem lagi ya? Aku benar-benar bersyukur selama bertemu Ayah bandul kalungku terus tersembunyi di balik baju.

"Rio hari ini pulang ke rumah?" tanyaku sambil menatap Rio yang berjalan di sampingku dengan penasaran.

Rio mengangguk, "Selama Ayah masih dirawat, aku masih pulang ke rumah."

Aku terdiam karena kembali ingat dengan ekspresi sedih yang Mama tunjukkan tadi pagi.

Setelah menginap di panti lalu pulang ke rumah untuk mengambil baju seragam dan juga buku pelajaran, aku melihat Mama yang menunjukkan ekspresi sedih saat sedang menatapku.

Bahkan ketika pamit untuk berangkat sekolah, Mama sampai memelukku. Pasti Mama cukup terpukul setelah tahu Rio memilih tinggal bersama Ayah.

"Mama pasti merasa sedih ya? Aku nggak tahu bagaimana cara menghadapinya."

Aku juga tidak tahu. Situasi rumit ini memang hanya dihadapi oleh Rio, tapi aku juga bisa merasakan kebingungan yang sama, "Selama Rio nggak menghindar, Mama pasti mengerti kok."

Rio menghela napas, "Aku akan menghadapinya."

Setelah sampai rumah, aku membiarkan Rio bicara berdua dengan Mama. Pasti ada banyak hal yang ingin mereka bahas bersama, jadi aku memutuskan langsung masuk kamar agar tidak mengganggu.

Tapi wajah Mama yang tadi menunjukkan ekspresi bahagia saat melihat Rio terus membayangiku. Terus-terus terbayang sampai aku merasa... iri.

Tunggu, kenapa aku malah iri? Kenapa terasa menjengkelkan melihat Mama yang terlalu berlebihan melihat Rio pulang ke rumah?

Meski tinggal bersama Ayah, Rio kan masih bisa bertemu dengan Mama. Lagian walau sudah tinggal serumah pun, Rio tetap sering menginap di panti asuhan. Ini tidak berbeda dari sebelumnya kan?

Ck! Apa sih? Kenapa terasa menjengkelkan? Mama kan sudah menganggap Rio sebagai anak sendiri, aku tahu dan bisa menerima ini. Lalu kenapa sekarang aku justru merasa tidak suka?

Kenapa tiba-tiba aku begitu ingin menjadi satu-satunya yang mendapat perhatian dari Mama? Aku tidak ingin Mama mengkhawatirkan Rio secara berlebihan seperti ini.

Egois bangat. Apa ini wajar? Aku memang anak tunggal, tapi seharusnya aku mengerti perhatian Mama untuk Rio juga besar.

Kenapa baru sekarang aku merasakannya? Padahal Rio sudah tinggal di rumah ini selama sekitar dua bulan, kenapa rasa iri ini baru muncul sekarang?

"Kenapa ngeselin gini sih? Padahal nanti aku juga merebut perhatian Ayah dari Rio," dengan jengkel aku mengacak-ngacak rambut untuk melampiaskan pemikiran aneh ini.

Aku sangat membenci sikapku yang bisa begitu kekanakan.

"Kenapa kau sejak tadi lesu bangat sih?"

Aku menghela napas dengan lelah. Sejak tadi malam aku terus merasa kesal, dan setelah pagi harinya di sekolah aku juga masih dipusingkan dengan hal yang sama.

Pasti aku tampak aneh sampai Andre merasa penasaran ya? Bahkan ketika di kelas guru juga sampai menegur karena sadar aku terus melamun, "Aku sekarang punya saudara."

Lukman dan Daniel yang awalnya tidak begitu peduli langsung menatap ke arahku dengan heran.

Melihat tiga orang ini sudah fokus memperhatikan, aku memutuskan untuk bertanya, "Apa wajar merasa iri pada saudara?"

"Hah? Tentu aja. Aku kesal adikku selalu dituruti permintaannya oleh ortu."

"Benar, punya saudara cewek sangatlah merugikan."

"Punya saudara cowok juga nggak enak tahu. Kami selalu dibanding-bandingkan."

Yang kurasakan ternyata tidak salah ya? Jadi wajar bisa memiliki rasa iri pada saudara? Aku mengangguk paham, "Kupikir mendadak aku jadi sangat egois."

"Orang tuamu mengadopsi anak?" tanya Andre dengan nada ragu.

Aku terdiam sesaat, terlalu bingung memberi penjelasan, "Karena suatu alasan dia sekarang tinggal di rumahku, dan aku udah menganggapnya sebagai saudara walau dia nggak diadopsi."

Daniel, Andre, dan Lukman yang saling menatap untuk bisa mengerti membuatku tersenyum melihat reaksi kebingungan mereka, "Oh ya, kalian juga pernah bertemu dengannya loh."

"Kapan?"

"Kami kan nggak pernah main ke rumahmu, lalu kapan kami pernah bertemu dengannya?"

Aku mengeluarkan hp dari saku celana kemudian mengoperasikannya untuk menunjukkan sebuah foto. Fotoku yang sedang bersama dengan Rio, "Wajah kami sama, dan dia pernah menggantikanku di sekolah."

Dengan cepat hp-ku menjadi bahan rebutan agar mereka bisa melihat foto yang kutunjukkan. Ekspresi terperangah yang mereka bertiga tunjukkan sungguh menghibur.

Setelah rasa terkejut mereka hilang, aku pun dihujani banyak pertanyaan. Karena tidak ingin ada yang salah mengenali kami lagi, aku memberi penjelasan beberapa hal penting tentang Rio.

"...tapi sekarang kami bisa dibedakan dengan sedikit lebih mudah kok," aku mengakhiri penjelasan sambil memegang frame kacamata berwarna hitam yang sedang kupakai saat ini.

Sekarang aku sedang mencoba terbiasa memakai kacamata, dan berniat untuk selalu memakainya agar semakin mudah dibedakan dengan Rio. Memang sih tidak ada perbedaan signifikan, tapi ini cukup membuat orang-orang di sekitar kami tidak salah memanggil dalam sekali lihat.

"Aku nggak nyangka ada kebetulan seperti ini."

Ini terlalu aneh jika dianggap sebuah kebetulan, aku saja sempat berpikir Rio sebagai saudara kembarku yang terpisah sejak lahir, "Aku juga terkejut waktu pertama kali bertemu dengannya."

"Kok Leo nggak pernah kenalin dia sih? Kami kan ingin berteman dengannya juga."

Aku menggaruk tengkuk dengan canggung, bagaimana cara menjelaskannya agar Rio tidak dianggap sombong ya? "Rio berasal dari keluarga kurang mampu, dia merasa nggak nyaman dengan lingkungan hidupku dan menolak dikenalkan dengan kalian."

Alasan yang kuberikan langsung mendapat protes keras dari Andre, Lukman, dan Daniel. Mereka justru memaksa ingin bertemu dengan Rio, aku pun terpaksa mengiyakan meski tidak bisa berjanji mempertemukan Rio dengan mereka bertiga dalam waktu dekat.