"Kenapa aku disuruh datang ke rumah sakit, Pa? Bukannya Leo udah pulang ya?" tanya Rio yang kebingungan setelah diminta mendatangi rumah sakit setelah dari sekolah.
Albert tersenyum sambil mengelus kepala Rio dengan penuh sayang, "Orang yang sudah menyelamatkan Leo ingin menemuimu."
Rio menaikkan salah satu alisnya, semakin tidak mengerti, "Menemuiku? Aku nggak mengharapkan rasa terima kasihnya kok karena dia juga sudah menolong Leo."
"Sudah, kamu temui dia saja ya? Oh ya, Papa tidak pernah menanyakan hal ini, apa Rio tahu nama orang tua kandungmu?"
"Ayah bernama Rizal Kurniawan dan Ibu bernama Olivia Putri."
Sudah Albert duga Rio belum mendengar siapa nama orang yang sudah menolong Leo sekaligus orang yang menerima donor darahnya, jika tahu, pasti tidak ada reaksi kebingungan seperti ini.
Rio memperhatikan wajah Albert yang menunjukkan ekspresi sedih, "Kenapa menanyakannya, Pa? Papa marah aku tidak pernah membahasnya?"
Albert hanya kecewa karena tidak pernah punya waktu untuk bisa berbagi cerita dengan anak-anaknya. Entah dengan Rio, ataupun Leo, "Tidak. Lebih baik sekarang kamu langsung masuk saja ya?"
"Papa tidak ikut?" tanya Rio sambil menatap pintu kamar rawat nomor 402A.
Albert menggeleng, dia tidak ingin mengganggu reuni yang dilakukan ayah-anak yang sudah lama tidak bertemu, "Papa menunggu di luar saja. Kamu boleh berada di dalam selama apapun yang diinginkan."
Rio bisa menangkap dengan jelas raut wajah Albert yang terlihat seperti sedang menanggung beban berat. Padahal dia kan hanya masuk kamar rawat saja, tapi kenapa Albert sampai menunjukkan ekspresi seperti itu? "Aku akan kembali kok, Pa."
Melihat Rio yang berjalan memasuki kamar 402A, Albert duduk di kursi yang ada di lorong dengan lemas. Anak yang sudah sangat disayanginya ini mungkin tidak pernah kembali lagi padanya.
Rio yang sudah berada di dalam kamar berjalan dengan gugup mendekati laki-laki yang sedang duduk di atas ranjang rawat. Pria paruh baya ini terlihat begitu terperangah menatapnya.
"Kamu Rio?"
Rio mengangguk. Walau tidak mengenal pria ini, dia berhutang untuk mengucapkan terima kasih, "Terima kasih karena Paman sudah menyelamatkan Leo."
"Jadi ini benar-benar Rio ya? Kamu sekarang sudah tumbuh besar, aku senang kamu sehat dan juga baik-baik saja."
Rio mengerjap dengan tidak mengerti saat tubuhnya tiba-tiba dipeluk, lalu setelah selesai memeluk, pipi kirinya diusap dengan lembut. Ini terasa dejavu seperti pertama kali Laila bertemu dengannya, "A- aku bukan Leo, Paman. Wajah kami memang sangat mirip, tapi bukan aku yang sudah Paman kenal."
"Pak Albert sudah menceritakannya kok. Tapi yang ingin kutemui adalah Rio. Rio Arizki, anakku."
Bola mata Rio membulat terkejut, "Anak?"
"Maaf harus membuatmu tinggal di panti asuhan Kasih Mulia saat berusia tiga tahun. Aku sebenarnya tidak ingin melakukannya dan memilih mengajakmu ikut pindah ke luar kota, tapi karena tidak ada yang bisa menjagamu saat aku sedang kerja, terpaksa aku memilih meninggalkanmu di tempat yang kupercayai. Meski sudah mencoba mengirim uang bulanan agar bisa membantu biaya sekolahmu, tapi ini tidak bisa membuatku menjadi ayah yang baik kan?"
Mata Rio berkaca-kaca mendengar semua yang dikatakan Rizal. Dengan senang dia kembali memeluk sosok ayahnya ini, "Jadi ini adalah Ayah? Aku sangat ingin bisa bertemu lagi dengan Ayah, aku ingin memeluk Ayah seperti ini."
Rizal balas memeluk Rio, "Maaf tidak bisa membesarkanmu. Sejak ibumu meninggal, ada banyak sekali masalah yang kualami dan membuatku dengan berat hati tidak bisa menemuimu di panti. Tapi sebisa mungkin aku ingin tetap bertanggung jawab meski Rio membenciku."
"Aku tidak membenci Ayah kok. Aku sangat senang mengetahui mempunyai ayah yang mau mengurusku. Aku justru takut Ayah mencampakkanku karena sudah memiliki keluarga baru."
Rizal melepas pelukannya untuk bisa menatap wajah sendu Rio, "Darimana Rio tahu?"
"Ayah pernah sekali datang ke panti dengan menggendong seorang bayi, ibu panti yang menemui Ayah menceritakannya padaku."
"Ah, saat Ayah mengantar kartu keluarga yang baru ya? Maaf Ayah seakan-akan mengabaikanmu setelah memiliki keluarga baru. Tapi tidak mungkin seorang ayah mencampakkan anak kandungnya meski sudah lama tidak pernah bertemu dengannya. Ayah justru sangat ingin menemui Rio seperti ini."
Rio tersenyum, "Aku juga sangat ingin bertemu dengan Ayah."
"Maaf sudah salah mengenalimu. Ayah tidak tahu ada orang lain yang memiliki wajah yang begitu mirip denganmu. Dan lagi Leo bisa memberikan kesan nyaman saat bersama dengannya, tidak kusangka dia ternyata bukanlah anakku."
Rio juga merasakan kesan nyaman saat bersama dengan Albert, tidak ia duga Leo bisa melakukan hal yang sama pada ayahnya, "Leo memang baik."
Rizal menatap wajah anaknya ini dengan seksama, "Rio bahagia dengan keluarga baru yang kamu miliki sekarang?"
Diam, tidak ada jawaban yang mampu diberikan. Tentu saja Rio bahagia memiliki keluarga baru, tapi dia juga bahagia bisa kembali bertemu dengan ayah kandungnya.
Rizal tersenyum melihat kediaman ini, "Setelah kembali ke Jakarta, sebenarnya Ayah sangat ingin bisa tinggal bersama dengan Rio. Tapi jika kamu sudah bahagia tinggal bersama Pak Albert, Ayah tidak akan memaksa."
"Aku... sebenarnya begitu takut tinggal bersama Papa. Agama kami berbeda, bahkan aku tidak bisa diadopsi secara legal oleh mereka. Tapi aku sudah sangat sayang pada Mama, Papa, dan juga Leo. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Rizal mengelus kepala Rio dengan lembut, "Rio harus memikirkannya dengan baik. Apapun keputusanmu, Ayah pasti menerimanya."
Rio mengangguk. Ini adalah pilihan paling sulit yang harus benar-benar dipikirkan olehnya. Dia tidak ingin salah mengambil keputusan yang bisa menyakiti orang lain.
Ah, tapi apapun yang Rio pilih pasti membuat salah satu pihak merasa sedih. Entah dari sang ayah, ataupun dari anggota keluarga barunya. Jika bisa, Rio ingin memilih tinggal dengan mereka semua. Tapi jelas ini mustahil.
"Apa jika memilih tinggal bersama Ayah, aku tidak merepotkan? Apa keluarga baru Ayah bisa menerimaku?"
Rizal terdiam sebentar untuk mengamati wajah gelisah Rio, "Sebenarnya Ayah tidak ingin menikah lagi, tapi karena terlalu terpuruk dengan kepergian Olivia dan terus-menerus bekerja sampai melupakan kesehatan, akhirnya Ayah setuju menikah dengannya."
Ekspresi heran langsung ditunjukkan oleh Rio. Kenapa Rizal bicara seakan berhasil dipaksa menikah oleh seseorang?
"Dia baik kok karena terus memintaku untuk selalu mengutamakanmu. Dia justru takut Rio tidak bisa menerimanya sebagai pengganti ibumu."
Rio menunduk, mana mungkin dia tidak menerima pilihan ayahnya. Hanya saja masih terasa menyulitkan baginya untuk mengambil keputusan dengan siapa dia akan tinggal setelah ini.
"Ayah tidak marah jika Rio lebih memilih tinggal bersama Pak Albert, tapi sesekali kamu juga harus menginap di rumah Ayah ya? Ayah ingin memberimu kasih sayang yang tidak kamu dapatkan saat masih kecil."
Rio menggeleng dengan lemah, "Aku tidak bisa terus tinggal dengan Papa dan Mama. Perbedaan agama yang kami miliki bisa membuatku menyakiti mereka."
Rizal hanya mampu mengelus pundak Rio, anaknya ini pasti sedang mengalami pergulatan batin yang berat. Rizal tidak ingin memaksa, yang dia inginkan hanyalah bisa melihat Rio bahagia.
♔
Melepaskan Rio pada orang tua kandungnya sudah memberikan beban yang sangat berat untuk Albert, tapi ada hal berat lainnya yang masih harus dilakukan. Mengatakan apa yang terjadi saat ini pada Laila dan Leo.
Tadi pagi Leo baru pulang ke rumah, tapi siang ini Albert menyuruhnya untuk datang lagi ke rumah sakit.
Pertama Albert akan mengatakan identitas asli sang penolong dulu pada Leo, kemudian baru menjelaskan semuanya pada Laila saat sudah berada di rumah.
Walau sempat diprotes Laila, Albert bisa membuat Leo datang ke rumah sakit sendirian dengan diantar oleh Rahmat.
"Kenapa Papa memintaku datang ke sini? Apa terjadi sesuatu yang buruk pada Paman Rizal?"
Albert memegang kedua pundak Leo. Dia tahu anaknya ini kemungkinan besar akan sedih dan juga kecewa, tapi kesalahpahaman yang sudah terjadi tetap harus diluruskan, "Leo, apa kamu pernah mengatakan siapa namamu pada Pak Rizal?"
Leo terlihat berpikir sejenak, "Kalau diingat lagi, aku sempat gagal berkenalan saat mau mengatakan namaku. Tapi Paman Rizal baik kok, Pa."
Tentu saja Albert tahu kebaikan yang Rizal miliki, sangat Rio sekali, "Leo, dengarkan Papa baik-baik. Sebenarnya Pak Rizal adalah ayah kandung Rio."
"Apa?" sama seperti Albert tadi, Leo juga terkejut mendengar fakta ini.
"Dia mendekatimu karena mengira kamu adalah Rio. Karena dianggap sebagai anak kandungnya, Pak Rizal pun bersikap sangat baik dan juga mau menolongmu."
Leo menunduk, ada raut kecewa yang sulit disembunyikan mendengar penjelasan ini, "Jadi Rio punya ayah sebaik itu ya?"
Tidak tega melihat ekspresi sedih Leo, Albert memeluknya, "Maaf jika Papa kurang perhatian padamu. Maaf karena Papa sudah gagal menjadi orang tua yang baik untukmu."
Leo rasanya ingin menangis. Dia bukan sedih mendengar ucapan Albert, sejak kecil dia sudah sangat tahu mengenai kesibukan sang papa. Tapi Leo sangat sedih karena mungkin akan kehilangan sosok saudara yang begitu didambanya, "Apa Rio akan meninggalkan kita?"
Albert semakin mempererat pelukannya, dia juga tidak ingin melepaskan Rio. Walau baru sekitar dua bulanan, dia sudah begitu menyayangi Rio, "Biar Rio yang mengambil keputusan sendiri. Papa tidak bisa melarang jika Rio mau tinggal bersama dengan ayah kandungnya."
Hati Leo terasa semakin sakit mendengar ucapan Albert. Dia sangat senang dan juga bahagia bisa menjadi saudara Rio, dia tidak ingin kehilangannya. Tapi Rio berhak menentukan kebahagiaannya sendiri.
Setelah merasa sama-sama tenang, Leo dan Albert duduk di kursi yang berada di lorong rumah sakit.
Saat Rio keluar dari kamar rawat, ekspresinya terlihat begitu sedih melihat dua orang yang sedang menunggunya. Albert pasti sudah mengetahui ini karena tadi sangat berat melepasnya masuk kamar rawat. Sedangkan Leo pasti sudah diceritakan karena juga sedang menunjukkan ekspresi sedih.
Tidak tahu mau mengatakan apa, Rio memilih untuk duduk di hadapan mereka dalam diam.
Albert tidak mencoba menanyakan apa-apa, ekspresi Rio sudah menjelaskan kegelisahan yang sedang dialaminya.
"Papa."
Mendengar suara Rio membuat Albert gugup, dia takut mendengar keputusan anaknya ini, "Ya?"
"Ayah mengajakku tinggal bersamanya."
Tadi Rizal memang tidak mengatakan apapun, tapi Albert sudah menebak hal ini bisa saja terjadi, "Apa Rio menerimanya?"
Rio menunduk, "Aku tidak tahu."
Leo gelisah melihat keadaan Rio saat ini. Ada perasaan sangat takut yang dirasakannya, "Rio, maaf. Aku tidak tahu Paman Rizal adalah ayahmu. Aku sama sekali tidak tahu dia salah mengenaliku sebagai kamu."
"Ayah hanya mengenaliku dengan sebuah foto, wajar dia sampai salah mengenalimu."
Secara fisik, Albert juga masih sulit membedakan dua anaknya ini. Mereka sangat cocok menjadi saudara kembar identik, wajar Rizal juga tidak bisa membedakan mereka.
Albert menghela napas. Tadi mungkin dia sempat memiliki pemikiran mau memberikan Rizal apa saja karena sudah menyelamatkan Leo. Tapi jika yang diinginkan Rizal adalah Rio, Albert sulit memenuhi keinginan itu.
Rasanya Albert seperti menghadapi situasi perceraian yang sedang memperebutkan hak asuh anak. Ingin bersikap egois, tapi tahu yang menyayangi Rio bukan dia saja.
"Rio berhak memutuskan sendiri ingin tinggal bersama dengan siapa, Papa tidak ingin memaksamu," akhirnya Albert memilih mengatakan hal ini untuk melawan keegoisannya sendiri.
Rio mengangguk, "Apa aku boleh pulang, Pa? Aku ingin menenangkan diri."
Meski mengatakan ingin pulang, Albert tahu Rio tidak akan pulang ke rumah. Ada tempat lain yang lebih tepat dijadikan tempat pulang untuk Rio saat ini. Panti asuhan Kasih Mulia.