Chereads / L/R / Chapter 19 - 18.L

Chapter 19 - 18.L

Aku sangatlah tahu kehidupanku dan kehidupan Rio begitu berbeda. Karena tahu berbeda, aku jadi ingin mencoba mendatangi tempat yang biasa didatangi oleh Rio, tapi tidak pernah kudatangi satu kali pun.

"Aku nggak ngerti kenapa Leo ingin ditemani datang ke pasar malam. Kan nggak ada yang menarik di sini."

Bagi Rio mungkin mendatangi pasar malam adalah hal yang membosankan, tapi tidak bagiku. Aku selalu dilarang datang ke pasar malam, jadi sekarang aku sangat bersemangat meski baru sampai tempat parkirnya doang, "Aku nggak peduli, pokoknya Rio harus mengantarku berkeliling."

Rio yang sedang memarkirkan motor menghela napas, "Baiklah, tapi jangan minta naik wahana apapun yang ada di sini dan juga jangan jauh-jauh dariku."

"Apa sih? Aku kan bukan anak kecil yang kalau nyasar nggak bisa pulang sendiri. Jangan berlebihan deh," kesal diperlakukan seperti bocah SD, aku protes.

"Leo kan nggak pernah mendatangi tempat kayak gini, aku cuma nggak mau kamu sampai kecopetan."

Oh, ini ternyata yang dikhawatirkan oleh Rio ya? Aku tidak pernah mencemaskan hal seperti ini sebelumnya karena tempatku pergi tidak jauh-jauh dari mall, "Oke deh. Rio kan preman, aku pasti sangat aman bersama denganmu."

Rio langsung menatapku dengan pandangan tidak suka, "Aku bukan preman."

Aku juga tidak akan langsung percaya jika ada yang mengatakan Rio adalah preman. Tapi dari pengalaman yang kualami, aku tahu Rio punya semacam pengaruh besar sampai bisa membuat preman dan anak-anak berandalan daerah panti asuhan Kasih Mulia takut padanya.

Buktinya tadi saat aku ingin ke panti, ada beberapa orang dengan penampilan seperti preman yang terlihat terang-terangan ingin menjauh dariku, bahkan ada juga yang menatap dengan pandangan takut.

Karena penasaran dan iseng menanyakannya pada anak-anak panti, mereka justru memberi jawaban yang membuatku terbengong, "Rio adalah penguasa daerah sini, adik-adikmu mengatakan hal semacam itu padaku. Nggak salah aku mengambil kesimpulan Rio preman kan?"

"Tolong jangan bahas julukan yang seenaknya diberikan orang lain padaku. Lebih baik kita muter-muter aja di sini sampai kau bosan."

Dengan ekspresi jengkel Rio mulai berjalan meninggalkanku, tapi aku dengan cepat menyamai langkahnya sambil menahan tawa. Kembaranku ini benar-benar unik ya? Dia bisa bersikap terlalu baik, tapi di sisi lain bisa ditakuti juga.

Akhirnya selama berjalan mengelilingi tukang jualan yang berada di pasar malam, aku terus membahas mengenai dua sifat bertolak belakang yang dimiliki Rio.

Walau menunjukkan ekspresi tidak nyaman, Rio mau menjawab segala macam pertanyaan yang kuajukan. Menjelaskan sifat buruknya terpengaruh dari lingkungan yang membesarkannya, dia yang tetap harus menunjukkan sikap baik untuk menjadi contoh anak-anak panti, sampai mengatakan Rio sengaja masuk ekskul karate saat SMP hanya untuk bisa melakukan perlawanan ketika sudah diganggu preman.

Bahkan dengan penuh percaya diri Rio juga menegaskan tidak pernah mengotori tangannya dengan darah setetes pun. Aku sempat bergidik ngeri mendengar hal itu, tapi Rio dengan cepat menambah penjelasan kalau dia tidak pernah memukul seseorang sampai berdarah, dia lebih memilih melawan dengan jurus-jurus karate. Tanpa ada bukti luka yang berarti, tapi menyakitkan.

Aku langsung tahu ternyata kini sudah mendapatkan saudara yang memiliki sifat sangat mengerikan. Kupikir hidup Rio sangatlah simpel karena cukup menunjukkan segala macam sifat baik saja, tapi ternyata sungguh sangat runyam. Aku beruntung tidak mendapat masalah waktu sedang berpura-pura menjadi Rio ya?

"...jadi jika ada yang salah mengenalimu, abaikan aja. Selama Leo nggak melakukan hal yang mencolok, kamu aman."

Jika ada yang salah mengenali, abaikan saja ya? Aku mengangguk mengerti, "Baiklah, aku akan mengikuti saranmu untuk kebaikan diriku."

Rio tersenyum puas mendengar respon yang kuberikan, "Karena kita sejak tadi udah memutari pasar malam ini, apa sekarang kita harus pulang?"

Rencana mendatangi pasar malam memang kulakukan agar Rio bisa lebih terbuka mengenai dirinya, dan tadi dia sudah mau berbagi cerita. Karena sudah sukses menjalankan rencana, aku merasa cukup puas, "Bagaimana kalau kita sekalian makan malam dulu sebelum pulang? Aku lapar."

"Aku juga lapar. Jadi mau makan apa?"

Mataku mencari tukang jualan makanan yang terlihat mengundang selera, "Mie ayam?"

Rio menggeleng saat aku kembali menatapnya, "Makan mie nggak bagus buat kesehatan."

Aku tahu, tapi mie adalah makanan yang sangat jarang kumakan, "Aku udah lama nggak makan mie. Daripada harus makan mie instan, lebih baik aku pilih makan mie ayam kan?"

"Ya udah, oke, kau bisa makan mie ayam. Sana ke tukang mienya duluan, aku mau ke toilet."

"Rio mau meninggalkanku sendirian?" aku menatap Rio dengan bingung. Dan langsung dibalas dengan tatapan jengkel olehnya, "Tadi kau yang mengatakan bukan anak kecil yang nggak bisa pulang kalau ditinggal sendirian kan? Ah, jika Leo cemas takut kecopetan, berikan dompetmu padaku."

Tadi kau yang takut aku dicopet, dan sekarang kamu justru memalakku? Tapi aku tetap memberikan dompet pada Rio tanpa mau memusingkan aksi ini.

Setelah menerima dompet, Rio memberikan uang 100.000 padaku, "Ini untuk pegangan jika sampai terjadi sesuatu padamu."

Apa yang bisa terjadi padaku saat Rio pergi sebentar ke toilet? Tapi sebelum menyuarakan kebingunganku, Rio sudah balik badan dan pergi begitu saja.

Dia bisa bersikap menjengkelkan ya? Ya sudahlah, tak masalah, aku juga selalu bertindak seenaknya pada Rio. Justru bagus jika dia punya niat membalas dengan bersikap mengesalkan seperti ini. Tidak menyenangkan jika kami selalu rukun-rukun saja, yang namanya saudara pasti bisa bertengkar karena kesal dengan sifat satu sama lain.

"Mie ayamnya satu," saat memesan, aku menengok ke kanan karena tidak sengaja mengatakan kalimat yang sama dengan orang yang berdiri di sampingku, "Sinta?"

"Ah, Rio. Kebetulan bangat kita bertemu di sini."

Wajahku langsung berpaling ke arah lain, kenapa aku menegurnya sih? Walau Rio tadi mengatakan abaikan saja jika ada orang yang salah mengenali, tapi sekarang aku malah membuat kesalahan duluan.

Rio pasti marah.

Andaikan dia benar-benar marah, aku menantikannya. Setelah yakin Sinta sedang fokus menatap Abang mie ayam yang sedang membuat pesanan kami, aku mengeluarkan hp untuk melaporkan hal ini pada Rio.

'Aku lagi sama Sinta. Aku gak sengaja panggil namanya, jadi dia salah mengenaliku'

Aku tersenyum puas melihat hasil ketikan yang sudah dilakukan. Sekarang tinggal tunggu balasan Rio yang berupa aksi protes.

'Yaudah kamu temani dia aja, tapi jgn terlalu banyak ngobrol agar gak dicurigai'

Membaca balasan dari Rio langsung membuatku cemberut, kenapa dia justru menyuruhku menemani temannya sih? Jika aku terus bersama dengan Sinta, bagaimana jadinya saat nanti Rio datang ke sini?

"Rio, mie ayamnya udah jadi tuh."

"Eh, iya," aku kembali mengantungi hp dan mengambil mie ayam yang sudah dibuatkan. Setelah duduk dan menaruh mangkuk mie ayam di atas meja, aku kembali mengeluarkan hp dari saku celana.

'Jika kau sampai sini, aku harus mengenalimu sebagai Leo?'

'Aku akan makan di tempat lain'

Aku menghela napas dengan pasrah, pilihan yang diambil Rio terasa lebih mudah dilakukan. Terlalu membingungkan sudah terjadi salah paham dan Rio masih datang ke sini.

Tapi jika terus bersama dengan Sinta, aku harus berpura-pura menjadi Rio lagi ya? "Oh ya, Sinta sendirian aja?"

Sinta yang duduk di hadapanku mengangguk, "Rio juga sendirian?"

"Aku tadi bareng teman, tapi dia sekarang lagi makan di tempat lain," aku memilih memberi jawaban jujur agar bisa kabur dari Sinta setelah kegiatan makan ini selesai.

Dalam situasi seperti ini aku sangat tahu seharusnya nanti aku mengantar Sinta pulang sampai rumah. Tapi masalahnya aku datang ke sini bersama Rio dengan satu motor yang sama, jadi sekarang aku tidak dapat bersikap gentleman.

Ck, apa aku harus minta dibelikan motor juga ya?

"Ah ya, besok kita mau belajar pelajaran apa?"

Dahiku mengernyit. Bingung dengan pertanyaan yang Sinta ajukan. Belajar pelajaran apa? Maksudnya Rio mengajari Sinta seperti aku yang meminta diajarkan oleh Rio? Karena tidak mengerti, aku memilih merespon pertanyaan Sinta dengan mengajukan pertanyaan baru, "Bagaimana kalau belajar pelajaran yang sulit kau mengerti?"

"Aku lemah di pelajaran matematika. Besok mohon bantuannya lagi ya?"

Iya, silahkan lakukan apapun yang kau mau pada Rio, tapi berhentilah membicarakan tentang hal yang sama sekali tidak kumengerti. Aku tuh merasa gugup sekarang!

"Apa aku juga boleh minta nomor hpmu?"

Aku mencari nama Rio di kontak ponselku kemudian menunjukkannya pada Sinta, "Silahkan simpan sendiri."

Ekspresi wajah Sinta langsung terlihat begitu senang, dia mengeluarkan hp miliknya dengan terburu-buru, "Makasih."

Hmmm, jadi Sinta tertarik pada Rio ya? Karena wajah kami sama, aku harus memuji Rio memiliki wajah yang tergolong tampan. Tidak aneh ada perempuan yang langsung jatuh cinta padanya.

Dari pengalamanku pribadi, ada cukup banyak perempuan yang mulai tertarik karena tampang. Aku yakin Rio pasti pernah mengalami yang seperti ini juga.

Tapi aku belum tahu bagaimana sikap Rio saat menghadapi perempuan. Mungkin nanti aku harus mulai dari menanyakan hubungannya dengan Sinta.

Setelah Sinta mengembalikan hp ke tanganku, ada chat masuk dari Rio.

'Jika udah selesai, temui aku di parkiran'

"Baiklah, kalau gitu aku duluan ya? Aku harus menemui temanku lagi," karena memang sudah selesai makan, aku menggeser ke belakang bangku yang kududuki untuk bisa berdiri.

"Ah!"

"Ada apa?" aku menatap Sinta dengan bingung karena dia menyuarakan seruan yang seakan sedang terkejut.

Sinta menggeleng sambil tersenyum, "Nggak apa-apa kok."

Walau masih tidak mengerti, aku tetap tersenyum padanya, "Sampai ketemu di sekolah ya!"

Setelah membayar mie ayam, aku pun pergi menuju parkiran. Dan sudah ada Rio yang menungguku, tapi dia sama sekali tidak terlihat kesal, "Jadi kenapa malah disuruh menemani Sinta? Kau menyukainya, tapi terlalu malu bicara padanya?"

Rio berdecak kesal, "Aku nggak suka dengan cewek yang bisa menyaingi nilai-nilai pelajaranku."

Rio justru membenci Sinta? Dan kenapa alasannya aneh begini? "Kenapa malah nggak suka? Jika kalian sama-sama pintar, justru serasi kan?"

"Sejak dulu aku selalu nggak suka dengan orang-orang yang bisa merebut beasiswa dariku."

"Ah, tunggu dulu, aku baru sadar sesuatu. Sekolah negeri di Jakarta kan gratis. Jika udah gratis, kok masih ada sistem beasiswa?" karena baru mengingatnya, aku bertanya dengan bingung.

"Kan nggak seratus persen gratis. Biaya seragam, buku, sampai uang jajan merupakan hal-hal yang dibayarkan pakai beasiswa."

Jadi uang jajan pun sampai diberikan juga? Aku baru tahu, "Oh ya, tadi Sinta minta nomormu dan dia mengatakan besok minta diajarkan pelajaran matematika."

Rio menunjukkan wajah berpikir, "Matematika ya?"

"Kalau nggak suka Sinta, kenapa malah mengajarinya belajar?" tanyaku yang sama sekali tidak mengerti dengan hubungan aneh ini.

"Aku ikut lomba cerdas cermat berpasangan dengan Sinta. Walau menjengkelkan, aku dituntut mengajari pelajaran yang nggak dia mengerti."

Aku menepuk bahu Rio karena bersimpati padanya, "Meski harus bekerja sama dengan Sinta, Rio lebih pintar darinya kok. Kamu nggak kekurangan sesuatu setelah mengajarinya. Tenang aja."