Leo memang menyuruh Rio datang ke panti asuhan Kasih Mulia, tapi mereka sama-sama tidak tahu siapa yang sudah dibawa oleh satu sama lain.
"Kenapa Franda ada di sini?" / "Kok Rio membawa Sinta?"
Rio dan Leo menyuarakan kebingungan secara bersamaan, membuat mereka terdiam beberapa detik karena ketidaksengajaan yang dilakukan.
Leo menghela napas, "Aku udah mengatakan ingin mempertemukanmu dengan seseorang kan?"
Rio ikut menghela napas, "Dan seharusnya kau tahu aku baru-baru ini selalu sibuk belajar untuk ikut cerdas cermat bersama dengan Sinta."
Dan mereka berdua akhirnya menghela napas lagi, kali ini secara bersamaan. Mereka sudah membuat kesalahan pada dua perempuan ini, rasanya rumit langsung dipertemukan berempat begini.
"Baiklah, abaikan aja Leo. Lebih baik kita melakukan apa yang udah diniatkan sejak awal," ujar Rio sambil berjalan ke arah ruang depan panti asuhan yang biasa dipakai menerima tamu.
Meski merasa sangat bingung dengan yang sedang terjadi, Sinta tetap mengikuti kemudian duduk di sofa yang ada di depan sofa yang diduduki Rio.
Setelah mereka kembali berada di posisi duduk saling berhadapan yang dipisahkan oleh sebuah meja, Rio memperhatikan Sinta yang mulai mengerjakan lagi lembar soal latihan yang diberikan khusus oleh guru, "Kau salah lagi, ulangi."
"Kejamnya."
Rio melirik Leo yang sudah ikut duduk di sampingnya, "Kenapa malah ngikutin? Sana temani Franda."
Leo menengok ke belakang, di mana ada Franda yang masih disibukkan dengan anak-anak panti yang ingin bermain bersamanya, "Dia sangat populer di antara adik-adikmu, aku bahkan nggak bisa mendekatinya."
Rio sangat tahu alasan Franda tidak dapat melepaskan diri dari anak-anak panti disebabkan oleh kamera SLR yang dibawanya, tapi melihat gadis itu menikmatinya, Rio kembali menatap Leo, "Apa Leo membawanya ke sini untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi?"
"Dia memajang fotomu di dinding sekolah. Kamu tahu kan ada tembok khusus yang dijadikan pameran klub fotografi?"
"Oh, sebelum tangga ke lantai dua kan? Aku baru tahu foto yang dipajang di sana ternyata bisa diganti. Ya udah, silakan kau dulu yang menyelesaikan masalah. Salah paham yang dialami Sinta terasa sangat mengerikan."
Leo langsung menatap Sinta dengan bingung, "Emang apa yang kulakukan? Aku kan cuma makan mie ayam bersama Sinta di pasar malam."
Tangan kanan Rio menarik pelan rantai kalung yang dipakai Leo sampai bandul salib berwarna putih yang awalnya tersembunyi di balik kemeja seragam terlihat dengan jelas, "Dia lihat ini."
"Aku juga pernah bertemu denganmu di gereja," tambah Sinta.
Leo menyingkirkan tangan Rio dari kalungnya, tapi fokus matanya terus tertuju pada Sinta karena semakin penasaran, "Gereja?"
"Gereja Santa Anna."
"Ah! Pantas rasanya aku pernah melihatmu, ternyata kita pernah bertemu di gereja ya?" Leo mengangguk mengerti karena akhirnya mengetahui alasan kenapa Sinta tidak terlihat asing baginya.
Rio menatap Leo dengan bingung, "Kau baru sadar?"
"Aku ke gereja Santa Anna kalau lagi nginep di rumah sepupu doang. Dan sejak Rio jadi saudaraku, aku jarang main ke sana lagi."
Sinta memperhatikan Leo dengan seksama, meneliti dari atas ke bawah untuk disamakan langsung dengan Rio, "Jadi yang kutemui bukan Rio ya?"
Leo menunjukkan ekspresi bersalah, "Maaf membuatmu bingung karena agama kami berdua berbeda."
"Nggak kok, aku yang salah karena langsung mengambil kesimpulan tanpa tahu kalian berdua punya wajah yang mirip."
Leo menggeleng, "Aku yang salah karena sempat mengaku menjadi Rio. Jika aku langsung mengatakan kamu salah mengenaliku, pasti nggak terjadi salah paham seperti ini."
Rio menghela napas, "Nggak kusangka perbedaan yang dibuat agar Mama, Papa, dan orang-orang di panti bisa langsung mengenali kita malah berujung membuat salah paham."
Untuk orang-orang yang mengetahui agama Rio dan Leo berbeda, kalung salib yang dipakai Leo menjadi pembeda yang paling mudah terlihat. Tapi bagi yang tidak tahu kemiripan wajah yang mereka punya, ini justru bisa menjadi bumerang yang menyebabkan masalah seperti saat ini.
"Aku akan membiasakan diri pakai kacamata, nggak usah berkomentar."
"Ya udah, sekarang Sinta berhenti memperhatikan kami dan kembali kerjaan soal ini. Lalu Leo, sana tolong Franda. Dia bisa lelah jika terus menghadapi anak-anak."
Leo mendorong bahu Rio dengan jengkel sebelum berdiri untuk membawa Franda pergi dari anak-anak panti yang masih mengelilinginya.
"Ngomong-ngomong, abaikan nomor sepuluh. Aku udah hitung berkali-kali, tapi jawabanku nggak pernah sesuai dengan pilihan ganda yang disediakan," ujar Rio saat melihat Sinta mau mengerjakan soal nomor sepuluh.
Sinta membaca soal itu dengan seksama, "Hm, aku lemah dengan yang memasukkan banyak rumus begini. Kalau jawabannya nggak sesuai pilihan yang disediakan, aku setuju untuk mengabaikannya."
"Aku juga sadar kau lemah dengan yang beginian, dibanding memakan waktu dengan coba ngerjain, lebih baik lanjut aja ke soal berikutnya."
Berhubung Rio yang lebih pintar tidak yakin dengan soal nomor sepuluh, Sinta menurut dengan mengerjakan soal ke sebelas.
"Aku udah bawa pacarmu nih sesuai permintaan."
Pandangan Rio berpaling dari kertas yang dipegangnya ke arah Leo yang duduk di samping Sinta, dan matanya kembali berpaling ke Franda yang terlihat ragu saat mau duduk di sampingnya, "Aku cuma sekali aja bertemu dengan Franda di panti. Aku nggak melakukan kesalahan ekstrim sepertimu, Leo."
Leo memicikkan matanya dengan tidak terima, "Dua kali tahu! Kamu nggak bilang-bilang tentang insiden kabur dari sekolah."
"Oh, itu? Sejujurnya aku juga nggak sengaja membenturkan pintu ke wajah kakak kelas yang menyukai Dewi, merasa panik takut dia sampai melihat wajahku, aku jadi berlarian sampai capek sendiri."
"Walau nggak bisa membayangkan bagaimana hal seperti itu sampai terjadi, dia emang pantas mendapatkannya."
Rio ikutan memberikan senyum puas, "Nanti malam aku jadi mau memasakkan sesuatu untukmu, tanganku gatal ingin memegang pisau setiap ingat orang itu."
Senyum puas yang terukir di wajah Leo dengan cepat menghilang, "Aku sangat senang Rio mau memasak untukku, tapi hentikan kebiasaan menyeramkan dengan melampiaskan rasa kesalmu pakai pisau deh!"
Sampai detik ini Rio belum bisa menghilangkan kebiasaan saat mau melampiaskan rasa kesalnya. Hanya saja kali ini dia tidak pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan sampingkan, Rio mencari alternatif lain dengan memotong sesuatu di dapur.
Meski Leo suka dengan hasil masakan yang Rio buat, tetap saja mengerikan melihat sosok kembarannya sedang memotong bahan masakan. Pisau yang dipegang Rio seolah-olah bisa terlempar kapan saja ke arah Leo.
"Ah, stop. Rumus yang kau pakai salah."
Teguran yang mendadak dilakukan oleh Rio membuat tiga orang yang sedang bersamanya terlonjak kaget. Terutama yang mendapat teguran, wajah Sinta pucat pasi, "Ma- maaf."
Leo sweatdrop. Padahal Rio sangat sabar dan memberi tahu kesalahan yang sudah dilakukan dengan cara menegur secara halus saat sedang mengajarinya. Tapi Sinta sekarang mendapatkan perlakukan yang seratus persen berbeda.
Rio pernah mengatakan tidak menyukai Sinta yang bisa menyaingi nilai-nilainya, tapi kalau begini Leo jadi merasa kasihan pada gadis ini. Mana tadi pakai acara menegur dengan intonasi suara mengancam lagi. Leo saja merasa takut, apalagi Sinta.
"Oh ya, maaf udah membuatmu salah paham karena sempat mengaku sebagai Leo."
Franda yang sedang memperhatikan apa yang sedang dikerjakan oleh Sinta langsung berpaling menatap wajah Rio, "Nggak apa-apa kok, Leo udah menjelaskannya padaku."
Walau sudah meminta maaf, ekspresi tidak suka yang justru tergambar di wajah Rio, "Tapi aku udah melarang menyebarkan fotoku kan? Lalu kenapa kamu justru memajangnya?"
Mata Franda melirik ke arah lain dengan gugup, "Kata ketua klubku hasilnya bagus, lalu secara paksa dia mencetak dan memajang fotomu."
Rio mengambil alih kamera dari tangan Franda untuk melihat hasil bidikan yang sudah dilakukan, "Jika mau melakukannya, jadikan aja Leo modelnya."
"Aku juga menolak dijadikan pajangan dinding sekolah," tolak Leo dengan tegas.
"Jika mengabaikan tentang fotoku, hasil fotomu emang bagus-bagus sih. Aku nggak pernah memfoto anak-anak panti yang menunjukkan ekspresi sesenang ini."
Mendapat pujian dari Rio langsung membuat Franda tersenyum senang, "Jika Rio mau, aku bisa memberikan hasil fotonya."
"Kalau gitu tolong kirim hasilnya ke Leo aja."
"Kenapa dikirim ke Leo? Aku bahkan nggak tahu nomornya."
Leo menghela napas saat Rio menatapnya dengan pandangan bingung, "Aku nggak dekat dengan Franda. Bahkan kami baru bisa pergi bersama karena dia udah salah mengenalimu."
Yang Rio tahu, Leo cukup mendapat perhatian lebih dari semua teman-teman sekelasnya. Dia pikir minimal Leo tahu nomor telepon semua penghuni kelas, tapi ternyata dugaan ini terbukti salah, "Aku akan langsung kasih nomorku."
Franda dengan cepat mengeluarkan ponsel miliknya untuk menyimpan deretan angka yang Rio sebutkan.
Leo melirik Sinta yang duduk di sampingnya. Kenapa Rio terang-terangan mendekati perempuan lain di hadapan perempuan yang menyukainya sih? Sinta pasti diam-diam sedang sakit hati melihat Rio mengobrol akrab dengan Franda.
Leo sedikit menggeser posisi duduknya agar semakin mendekat ke Sinta, "Maaf ya, Rio orangnya nggak peka."
Sinta menatap Leo dengan pandangan terkejut. Tapi Leo justru tersenyum, "Jika Sinta diam aja, Rio nggak mungkin tahu perasaanmu loh."
"Urghhh," Sinta menunduk dengan wajah bersemu merah. Dia tidak menyangka Leo sadar kalau saat ini dia sedang merasa cemburu melihat kedekatan Rio dengan Franda.
Walau Rio sempat mengobrol dengan Franda, dia tidak melupakan tugasnya untuk mengajari Sinta. Saat melihat Sinta lagi-lagi melakukan kesalahan, Rio tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari soal yang sedang dikerjakan.
Leo menggeleng heran melihat Rio yang masih tidak sadar telah menciptakan suasana yang begitu canggung untuk dua orang perempuan yang berada di sini.