Chereads / L/R / Chapter 24 - 23.L

Chapter 24 - 23.L

Mengakui Rio sebagai saudara kembar tidak membuatku mengetahui segala macam hal tentangnya. Bagaimana pun kami baru saling mengenal kurang dari dua bulan yang lalu, mustahil kan dalam waktu sesingkat itu membuatku mengetahui seluk-beluk mengenai Rio?

Dan saat ini aku menemukan image yang cocok disandang oleh seorang Rio Arizki. Fake nerd. Memang Rio lebih mengutamakan belajar dibanding perempuan sampai cocok dikatakan sebagai kutu buku, tapi dia juga ditakuti para berandalan.

Melihatnya yang bisa mengabaikan Sinta dan Franda secara bersamaan membuatku ingin protes, tapi tidak benar-benar kulakukan setelah mengingat korban yang telah kena hajar Rio.

Rio sepertinya sangat menahan diri padaku sih, tapi lebih baik tidak membuatnya marah untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.

"Baiklah, kalau begitu hari ini sampai di sini aja. Lalu besok apa yang kita lakukan? Mencoba debat bahasa Inggris?"

"Akan kupersiapkan."

Aku melirik Sinta yang duduk di sampingku. Sedari tadi dia tidak memilih jawaban 'iya' atau 'tidak' saat diajak bicara oleh Rio. Perempuan yang menarik. Dan Rio bukan sekedar menunjukkan penolakan padanya, tapi sampai dianggap sebagai saingan segala.

Karena aku sudah dulu memutuskan memberi dukungan kepada Franda, yang bisa kulakukan pada Sinta sekarang hanyalah satu. Menghiburnya.

Tanganku mengambil kunci motor milik Rio yang berada di atas meja, "Aku yang bawa ini."

Rio yang kalah cepat saat mau mengambil kunci motor menatapku dengan bingung, "Kamu mau nganter Franda pulang pakai motor? Emang dia mau?"

"Aku nggak ap–"

"Aku yang nganter Sinta," sebelum Franda sempat menyuarakan persetujuannya, aku duluan bicara.

"Apa?"

Tanpa memedulikan raut heran Rio, aku berdiri dari posisi dudukku, "Aku ingin mengajaknya kencan. Ayo, Sin!" dan tanpa menunggu persetujuan, aku menarik tangan Sinta untuk keluar dari panti asuhan.

"Tu- tunggu dulu, Leo."

Melihat wajah Sinta yang begitu kebingungan setelah kami berada di luar panti, aku menghela napas sejenak, "Rio udah sangat kejam padamu dari tadi, jadi aku yang akan menggantikannya untuk menghiburmu."

Karena Sinta masih tidak mengerti dengan penjelasan yang diberikan, aku mencoba mengatakannya dengan kalimat yang jauh lebih mudah, "Biarkan aku menjadi Rio untukmu hari ini."

"Ke- kenapa kamu harus menjadi Rio?"

Aku mencondongkan tubuh ke depan untuk mendekatkan wajahku, membuat Sinta secara refleks bergerak menjauhkan wajahnya, "Kami sangat mirip kan? Sebagai permintaan maaf udah bawa Franda ke panti, biarkan aku menjadi Rio."

Ah, benar juga, Rio tidak mungkin bersikap seperti ini pada perempuan ya? Sebelum Rio keluar dari panti buat mengajukan protes, lebih baik aku langsung menjadi dia saja agar Sinta setuju, "Karena Sinta udah berusaha keras untuk belajar, bagaimana kalau kita refreshing dan jalan-jalan?"

Tidak ada ekspresi bingung lagi di wajah Sinta, dia sekarang terlihat tertegun.

Mencoba melupakan segala macam sifat gentleman yang biasa kulakukan pada perempuan, aku mulai naik ke atas motor Rio, "Kenapa malah diam aja? Mau kutinggal?"

"Eh, jangan tinggalkan aku," dengan panik Sinta naik ke atas boncengan motor.

Padahal ini sangat bukan aku sekali, tapi aku mesti menghadapi Sinta dengan cara yang kemungkinan besar Rio lakukan. Bersikap secuek mungkin dan juga menunjukkan rasa tidak peduli yang tinggi.

Setelah memijat kedua bahuku secara bergantian untuk melemaskan otot-otot yang kaku, aku pun menjalankan motor menjauhi panti asuhan Kasih Mulia.

Setelah ini mungkin Rio protes padaku, tapi biarkan saja, selama aku memulangkan Sinta dengan selamat, Rio tidak mungkin sampai memarahiku.

"Kita mau ke mana?"

"Cuma mau lihat sunset kok. Tenang aja, aku akan memulangkanmu sebelum malam," aku menjawab pertanyaan Sinta dengan kalem.

Memang tadi aku sudah menyuruhnya menganggapku sebagai Rio. Hanya saja ini tidak menghilangkan fakta kalau aku orang asing untuk Sinta. Dia pasti cukup merasa takut dibawa kabur oleh orang yang belum dikenal.

Pertemuan yang pernah kami lakukan terjadi di gereja dan saat makan mie ayam di pasar malam saja. Wajar aku belum mendapat kepercayaan Sinta.

Setelah sampai di AEON Mall Jakarta Garden City dan memarkirkan motor, aku berjalan memasuki mall terlebih dahulu dengan diikuti Sinta dari belakang.

Rio sangat cuek pada Sinta, bahkan sampai dianggap saingan. Dengan alasan itu aku tidak mencoba menyamakan langkahku untuk berjalan berdampingan dengan Sinta.

Serius deh, Rio, kamu terlalu kejam pada gadis ini.

Aku benar-benar tidak mengerti kenapa Sinta justru bisa sampai suka pada Rio. Apa tidak ada cowok baik lain di sekolah? Jika memang tidak ada, kan masih banyak cowok di luar lingkungan sekolah yang dapat dipilih.

Setelah berada di lantai teratas mall, aku menghela napas sejenak untuk menghentikan pemikiranku, "Kita bakal lihat sunset di atas bianglala, kamu mau kan?"

Saat menatap wajah Sinta, ekspresinya terlihat berbinar senang, "Mau, aku mau!"

Aku tersenyum melihat pancaran kebahagiaan darinya. Sudah kuduga perempuan menyukai sesuatu seperti ini. Tidak salah aku mengajaknya ke sini.

Setelah membayar dan mengantri beberapa saat, kami pun naik salah satu gondola bianglala.

Rumah-rumah yang terlihat semakin mengecil saat gondola naik secara perlahan dengan background langit berwarna kecoklatan menjadi pemandangan yang kulihat saat ini.

Sebelumnya aku sudah pernah diceritakan sih, tapi aku baru tahu pemandangannya ternyata bisa begitu indah. Ini masih di mall yang berada di Jakarta Timur kan? Kenapa rasanya aku seperti berada di taman bermain yang terletak di Jakarta Utara?

"Sunsetnya sangat bagus ya? Aku nggak tahu di Jakarta ada yang kayak gini. Makasih ya Rio udah mengajakku ke sini."

Saat tatapan kami bertemu, senyum di wajah Sinta langsung menghilang. Aku mengernyit bingung, kok dia terlihat sedih lagi?

"Ma- maaf, aku terlalu bersemangat. Aku lupa kalau yang sedang bersamaku bukanlah Rio."

Ah! Dia salah memanggilku ya? Aku sama sekali tidak sadar. Sinta pasti sedih menyadari fakta aku bukanlah Rio ya? "Aku menyuruhmu menganggapku sebagai Rio kan? Nggak apa-apa kok."

Sinta menggeleng dengan posisi wajah menunduk, "Walau wajah kalian mirip, kalian berdua sangatlah berbeda."

Franda tadi juga mengatakan ada perbedaan antara aku dengan Rio. Tidak disangka Sinta pun beranggapan sama. Apa sebesar itu perbedaanku dengan Rio di mata mereka?

"Setelah melihat kalian duduk berdampingan, aku sadar perbedaan cara kalian menatapku. Rio nggak pernah memberi tatapan selembut ini."

"Tu- tunggu dulu, jangan menangis," melihat air mata mulai membasahi pipi Sinta, aku panik.

Sinta menutupi wajah menggunakan kedua tangannya, menghalangiku untuk melihatnya yang sedang menangis, "Sejak awal aku tahu Rio nggak menyukaiku, tapi kenapa aku masih merasa sedih seperti ini?"

Dengan perlahan aku mengelus puncak kepala Sinta saat mendengar suara sesenggukan pelan yang dikeluarkannya. Padahal aku ingin membuat dia senang, tapi yang kulakukan justru kebalikannya.

Setelah berhenti berperan menjadi Leo, aku sudah tidak pernah lagi naik mobil dengan disopiri oleh Pak Rahmat. Bahkan jika aku tidak meralat Pak Rahmat yang salah memanggilku dengan nama Leo, pasti aku terus dianggap sebagai Leo sampai rumah nanti.

Aku menghela napas dengan pasrah, "Maafkan keegoisan Leo ya? Padahal udah membawamu ke panti, tapi dia malah pergi begitu aja."

"Ng- nggak apa-apa kok."

Aku menatap Franda yang duduk di samping kananku, apa benar tidak apa-apa? Leo mungkin sengaja membawa Franda bertemu denganku, tapi kan kami berdua tidak benar-benar saling mengenal. Kenapa Leo justru membuatku harus bersama dengan Franda begini sih? "Jika merasa canggung, anggap aja aku sebagai Leo. Lagian wajah kami sama kan?"

"Kalian beda kok!"

Aku mengerjap, bingung kenapa Franda meralat seolah sedang membentak. Apa ada yang salah dengan ucapanku? Aku dan Leo kan memang memiliki wajah yang terlalu mirip.

"Saat kalian sedang bersama, aku bisa lebih mudah membedakan kalian berdua. Leo lebih mudah menunjukkan ekspresi wajahnya, apalagi saat tersenyum."

Benar. Leo memang lebih mudah mengubar senyum dibandingkan aku karena dia lebih easy going. Terkadang ini bisa menjadi perbedaan yang sangat mudah terlihat.

"Dan lagi tadi aku juga melihat cara kalian duduk ada bedanya. Leo sering mengganti posisi kakinya, sedangkan Rio konsisten nggak merubah posisi sedikit pun."

Ada perbedaan semacam itu juga? Aku tidak pernah mengamati kebiasaan yang bisa menjadi pembeda di antara kami, "Jika sampai seteliti itu, mungkin kamu juga tahu kapan aja aku pernah memakai identitas Leo di sekolah ya?"

Franda menunjukkan ekspresi berpikir, sepertinya dia sedikit kesulitan untuk mencoba mengingat-ingat, "Um, aku sempat merasa aneh saat Leo pernah dapat nilai ulangan yang paling bagus waktu ulangan MTK, apa itu Rio? Tunggu, bukannya kejadian itu dua minggu sebelum kamu menabrakku di lorong?"

Dia sudah curiga sejak awal ya? Wajar sih, Daniel saja juga sempat menganggap aneh, "Ya, waktu itu aku juga menggantikan Leo di sekolah, dan tolong rahasiakan ini ya?"

Bola mata Franda mengarah ke Pak Rahmat yang berada di kursi depan mobil, aku langsung mengerti pertanyaan tanpa suara yang dia ajukan, "Keluargaku tahu kok. Maksudnya tolong rahasiakan dari orang-orang di sekolah."

Franda mengangguk patuh, "Akan kurahasiakan."

Setelah beberapa menit berlalu akhirnya Pak Rahmat sampai juga di rumah Franda. Setelah mengucapkan terima kasih karena sudah diantar, Franda keluar dari mobil.

Mataku menatap rumah bergaya modern yang baru dimasuki oleh Franda, "Rasanya aku jadi ingat kesan pertamaku saat melihat rumah Leo."

"Ada apa, Den?"

Aku menggeleng untuk merespon pertanyaan Pak Rahmat, "Nggak. Aku cuma merasa belum terbiasa aja menghadapi orang kaya seperti ini."

Selain dengan Leo, masih sulit bagiku untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang memiliki kekayaan berlebih. Bahkan aku juga menolak saat Leo ingin mengenalkanku secara langsung pada Andre, Daniel, dan Fahri.

Secara teknis aku sudah mengenal tiga orang itu, tapi sulit rasanya berteman dengan mereka. Kehidupan mereka sangat berbeda denganku, aku tidak bisa mencoba membiasakan diri lagi.