"Rio nggak ingin menanyakan sesuatu mengenai Sinta?"
"Leo udah mengatarnya sampai rumah dengan selamat kan? Emang apa yang harus kutanyakan lagi?"
Dia ini!! Padahal kupikir setidaknya Rio merasa penasaran dengan sikap egoisku tadi, ternyata masih saja bersikap cuek begini, "Terus gimana dengan Franda? Dia nggak protes kan?"
"Dia nggak masalah."
Jelas tidak masalah, yang mengantar kan orang yang disukai, Franda justru berhutang terima kasih padaku. Tapi kenapa keduanya punya sikap yang pasif begini sih? Sepertinya harus ada dorongan yang sangat besar agar hubungan mereka berjalan lancar ya?
"Ah ya, sejak hari pertama aku menggantikanmu, Franda udah curiga. Jadi kalau dia membahasnya, Leo jangan katakan aku menggantikanmu selama dua minggu penuh."
"Dia tahu sejak awal? Kok bisa?"
"Gara-gara aku dapat nilai 100 di ulangan MTK."
Sudah kuduga nilai sebagus itu memang membuat curiga. Aku cukup sadar sih semua orang yang sekelas denganku dan guru matematika juga diam-diam menaruh rasa curiga yang sama. Yah, mau bagaimana lagi? Mau aku berusaha belajar sekeras apapun, tetap saja sulit untuk langsung mengerti pelajaran yang paling kuanggap susah.
Aku menghela napas dengan pasrah, "Tolong ya lain kali tahan dirimu agar nggak menunjukkan kejeniusanmu. Lalu apa kau menyukainya?"
Rio yang sedari tadi membaca buku mengalihkan pandangannya ke arahku, "Menyukai apa?"
"Franda."
"Apa aku terlihat menyukainya? Kupikir Leo yang justru menyukai Franda."
Kenapa malah mengambil kesimpulan aku yang menyukai Franda? Kamu itu tipe yang tidak peka atau tidak peduli sih? "Aku nggak tertarik pada cewek yang beda agama denganku."
Rio kembali membaca buku yang sedang dipegangnya, terlihat tidak peduli dengan pembicaraan ini. Dasar nerd! "Jangan malah baca buku deh saat diajak bicara. Sebelumnya nggak ada apa yang pernah bilang sikapmu kayak nerd?"
"Karena dapat beasiswa saat SMP, aku emang sempat dikatai nerd, walau langsung dirubah jadi fake nerd dan juga badboy."
Kenapa dia malah mengiyakan dan membenarkan tebakanku mengenai sikapnya yang cocok mendapat julukan fake nerd? "Biar kutebak, kamu juga nggak pernah pacaran kan?"
"Mending juga belajar daripada pacaran."
"Terus jika lebih mementingkan belajar, kenapa Evi bisa menyukaimu?"
Rio mengangkat kedua bahunya, "Kupikir Leo yang lebih bisa menjawab pertanyaan itu karena lebih berpengalaman dibandingkan aku."
Berpengalaman apanya? Aku tuh baru dua kali punya pacar, sudah begitu sama-sama tidak bertahan lama lagi, kenapa aku malah dikatakan berpengalaman coba?
Lagian bagaimana aku mengetahui alasan Evi menyukai Rio jika belum pernah bertemu cewek itu sekalipun? Dan kenapa juga Rio malah menyuruhku menjawab pertanyaan sendiri? "Dasar nggak peka."
Rio langsung menutup buku yang dibacanya kemudian menatapku dengan heran, "Jika yang kau maksud adalah Sinta, aku tahu kok dia tertarik padaku. Tapi aku udah menunjukkan sikap penolakan padanya, jadi seharusnya dia menyerah aja."
Oh... ternyata sadar ya? Jadi bukannya tidak peka, tapi Rio memilih untuk tidak peduli? Sial bangat perempuan yang pernah jatuh cinta padanya, "Jangan terlalu keras padanya, aku merasa kasihan karena kamu nggak ada baik-baiknya sama dia."
"Kalau aku nggak keras pada Sinta, nanti yang ada dia terus berharap."
Aku langsung mengunci mulutku, membenarkan ucapan Rio dalam diam. Jika tidak suka, aku juga bisa bersikap sangat kejam pada perempuan. Tapi kan Sinta harus terus bersama dengan Rio sampai lomba cerdas cermat berakhir, mestinya Rio mencari cara yang lebih lembut karena mereka dituntut untuk melakukan kerja sama.
♔
"Leo~"
Langkahku yang ingin keluar dari sekolah langsung terhenti mendengar suara perempuan yang lagi hobi melakukan pendekatan padaku. Dewi.
Meski aku cukup mudah mengubar senyum pada orang lain, tapi tidak saat sudah berhadapan dengan Dewi. Mengingat adanya kakak kelas yang tidak suka melihatku dekat dengan Dewi, aku jadi malas untuk sekedar terlibat pembicaraan dengan cewek ini, "Apa?"
Sebuah senyum cerah terlukis di wajah Dewi yang sukses mengabaikan respon jutekku, "Aku punya sesuatu untukmu."
Dengan bingung aku menerima sebuah tiket dari tangan Dewi. Tiket masuk ke sebuah mini konser band ternama di sebuah cafe untuk malam Minggu nanti.
Aku kan tidak punya rasa ketertarikan yang besar pada musik, kenapa dia malah memberiku tiket konser? "Aku nggak begitu tertarik."
Dewi menolak tiket yang ingin kukembalikan, "Pokoknya Leo harus datang, aku akan menunggumu."
"Nggak bisa, aku punya aca–" sebelum aku selesai menolak lagi, Dewi sudah dulu berlari kabur seolah tidak menerima penolakan lagi.
Maksa bangat. Apa dia pikir aku mau datang jika dia mengajak dengan cara paksa begini? Aku justru semakin bete padanya.
Terserah deh jika Dewi mau datang dan menungguku, aku sudah menolaknya kan? Setelah memasukkan tiket ke dalam saku celana, aku kembali berjalan keluar dari sekolah karena punya janji makan siang bersama Rio.
♔
"Rio."
"Apa?"
"Kamu nggak pernah datang ke konser kan?"
"Jika tahu, kenapa nanya?"
Ternyata memang belum pernah ya? Sudah kuduga, "Penasaran sampai pengen datang nggak?"
Pertanyaan yang kuajukan menghentikan kegiatan makan yang Rio lakukan, "Leo mau mengajakku?"
Aku menggeleng, "Dewi memberiku tiket konser. Siapa tahu Rio mau menggantikanku pergi ke sana."
"Kenapa bukan Leo aja yang pergi sendiri?" tanya Rio yang terlihat keheranan.
"Aku nggak tertarik dan udah nolak, tapi Dewi tetap aja maksa."
"Aku juga nggak tertarik."
Aku kembali meneruskan kegiatan makan yang sempat kutunda, tidak mau memperpanjang obrolan ini lagi.
Baru-baru ini Rio jarang punya waktu luang untuk bisa makan bersamaku di foot courd begini karena dia terlalu sibuk dengan lomba cerdas cermat. Jadi setelah akhirnya kami bisa makan bareng begini, lebih baik jangan bahas hal tidak penting seperti Dewi.
"Rio?"
Secara refleks aku menengok ke arah orang yang memanggil. Ada seorang perempuan yang pernah dikenalkan oleh Rio dari sebuah foto, Evi.
Kedua netraku melirik sekilas Rio yang duduk di hadapanku, dia juga menengok saat Evi tadi memanggil. Tapi karena kami sama-sama merespon waktu nama 'Rio' dipanggil, mungkin sekarang Evi bingung siapa yang sebenarnya memiliki nama itu.
"Ternyata emang benar-benar ada yang mirip dengan Rio ya? Gue pikir saat itu gue dikerjain," gumam Evi yang terlihat memperhatikanku dan Rio secara bergantian.
Dari ekspresi wajahnya, sepertinya sangat menarik ya melihat orang yang disukai mendadak ada dua? Tapi kalau Evi benar-benar menyukai Rio, kemungkinan besar dia bisa membedakan kami berdua.
Tidak mau dibuat pusing lagi dengan sikap cuek Rio yang sedang menghadapi perempuan, aku memilih kembali meneruskan kegiatan makanku.
"Tapi tentu aja gue tahu mana yang Rio."
Saat merasakan seseorang duduk di sampingku, aku menengok dan mendapati Evi sedang tersenyum padaku. Dia salah mengenaliku sebagai Rio? Kok bisa? Franda saja bisa menemukan perbedaan fisik antara aku dan Rio.
"Rio selalu cuek, jadi gue nggak mungkin salah," ujar Evi dengan nada bangga.
Keningku berkerut, bertambah heran. Apa tindakanku yang baru saja mencuekinya justru membuat salah paham ini terjadi? Aku berpaling menatap Rio untuk meminta bantuan, tapi dia justru dengan santainya malah terus makan seolah tidak ada apapun yang terjadi.
Aku kan sedang tidak mood berpura-pura menjadi Rio, tapi aku lebih tidak ingin kegiatan makan siang kami terganggu, "Berhubung udah mengenaliku, aku punya hadiah untukmu."
Terlihat dengan jelas wajah antusias Evi menungguku yang sedang merogoh isi kantung celana. Saat aku menunjukkan tiket yang tadi Dewi berikan, Evi mengambil tiket dari tanganku secepat kilat, "Ini buat gue?"
"Kalau nggak ganggu kegiatan makanku, itu untukmu."
"Makasih, Rio. Gue pasti bakal dandan cantik dan datang ke sini."
Aku menopang daguku sambil melihat Evi yang bergegas pergi sambil terus menatap tiket pemberianku, "Aku tadi nggak bilang mau datang ke sana kan? Kok dia bisa sesenang itu?"
"Aku nggak pernah memberikan sesuatu padanya. Dan sebagai catatan, aku memakai gaya bicara 'gue-lo' pada Evi."
Aku berpaling menatap Rio yang juga sedang melihat sosok Evi yang berjalan menjauh, "Jika aku salah memakai gaya bicara, lalu kenapa dia masih menganggapku sebagai Rio?"
Rio menatapku sambil mengangkat kedua bahunya, "Kita mirip?"
Itu mah sudah pasti. Tapi kan aneh jika tetap salah mengenali meski aku tadi sudah melakukan kesalahan, "Jadi ini artinya alasan Evi menyukaimu karena tampang?"
"Entahlah."
Jawaban tidak pasti yang diberikan Rio membuatku mendengus sebal. Kalau memang menyukai cuma karena tampang, berarti tidak masalah dong harus denganku yang memiliki wajah mirip Rio? Apa tidak bisa konsisten sedikit saat sedang jatuh cinta pada orang lain?
Franda saja bisa langsung mengambil keputusan cowok yang disukainya adalah Rio, Sinta juga tidak berpaling padaku setelah melihat Rio yang dekat dengan perempuan lain. Tapi kenapa yang satu ini tidak memperhatikan secara teliti? Jika memang suka, seharusnya perbedaan sedikit pun pasti disadari kan?