Chereads / L/R / Chapter 20 - 19.L

Chapter 20 - 19.L

Karena stamina tubuhku belum benar-benar kembali normal setelah mengalami koma, setelah pulang sekolah terkadang aku mempunyai kegiatan baru. Berolahraga di aula sekolah yang kosong.

Aku tidak mau terus-terusan dikhawatirkan Mama, jadi aku mulai rajin melatih tubuhku agar tidak cepat merasa lelah. Biasanya olahraga yang kulakukan adalah lari memutari aula atau bermain basket selama setengah jam.

Padahal aku lebih ingin main skeatboard atau sepatu roda seperti biasa, tapi aku tidak mau mengambil risiko dengan melakukan olahraga yang tergolong berbahaya. Lebih baik melakukan olahraga yang aman daripada kakiku terkilir, keram, atau sejenisnya.

Meski ini bukan olahraga yang kusuka, ada kalanya aku bisa menghabiskan waktu sampai satu jam di aula saking asyiknya melakukan aktivitas yang menguras keringat. Kalau sudah lupa waktu, Pak Rahmat pasti protes karena takut aku kabur dari sekolah seperti yang pernah dilakukan oleh Rio.

Padahal mustahil aku melakukannya.

Memangnya jika ingin kabur, aku mau pergi ke mana coba? Panti asuhan Kasih Mulia? Aku lebih memilih diantar daripada pergi diam-diam ke sana. Lagian aku juga masih dilarang mengendarai kendaraan sendiri atau menggunakan kendaraan umum karena hal itu yang menyebabkanku mengalami kecelakaan sampai koma selama tiga minggu.

Jadi mau tidak mau aku sering merepotkan Pak Rahmat dengan mengantarku ke mana saja. Seperti sekarang ini, aku sudah diantar ke panti asuhan Kasih Mulia dan sedang berjalan kaki di gang masuknya. Karena letak bangunan panti sedikit masuk ke gang yang cukup sempit dimasuki mobil, aku harus sedikit berjalan kaki untuk sampai ke sana.

Dan jujur terkadang terasa menyebalkan ketika bertemu dengan anak-anak geng yang menghalangi jalan. Aku harus memelototi mereka dulu baru bisa lewat dengan damai.

Tapi saat baru mau berbelok di tikungan, langkahku seketika terhenti melihat pemandangan yang tidak pernah ada sebelumnya.

"Awas aja kalau kalian sampai berani mengganggunya, gue bakal kasih pelajaran lebih daripada ini!"

Seperti ada angin dingin dari kutub selatan yang sedang menusuk pori-pori kulitku saat melihat Rio sedang berdiri dengan belasan orang yang terkapar tak berdaya di dekat kakinya.

Ini adegan pembantaian? Ucapan yang mengatakan Rio penguasa daerah ini ternyata sangat benar ya? Kupikir itu cuma terlalu dilebih-lebihkan saja.

Tanpa sadar aku meringis mengikuti rintihan kesakitan yang sedang dilakukan oleh belasan orang berseragam SMA itu. Aku janji tidak akan pernah membuat Rio marah, dia terlalu mengerikan!

"Oh, apa ini orang yang sedang dibicarakan, Io?"

Tubuhku terlonjak kaget merasakan ada seseorang yang secara tiba-tiba merangkul bahuku. Aku melirik orang yang sudah seenaknya bersikap bersahabat ini. Dia juga memakai seragam SMA, dan ini pertama kali aku bertemu dengannya.

Walau dia adalah teman Rio, aku tetap tidak suka dengan sikap sok akrab yang dia lakukan. Dengan jengkel aku mencoba menjauhkan tangannya dari bahuku, "Men–"

"Jangan sentuh dia."

Aku menatap Rio yang mendahuluiku bicara. Tatapan mengancam yang tak sengaja kulihat langsung membuat bulu kudukku merinding karena merasa takut. Eh, tapi kenapa ucapannya terdengar seolah aku perempuan yang tidak ingin diganggu oleh laki-laki lain? Bulu kudukku semakin merinding dengan alasan yang berbeda.

Mencoba untuk tidak membalas tatapan Rio, aku menepis tangan yang bertengger di bahuku, "Menjauh dariku."

Orang ini justru tertawa, "Gue temen Io kok, santai aja kali."

"Gue nggak ingat pernah berteman dengan lo, Aji."

"Kita kan udah sekelas terus saat SMP, kok lo sombong bangat sih mentang-mentang udah diadopsi keluarga kaya?"

Jadi ini ya maksud Rio jangan sampai tersulut emosi atas provokator yang diberikan? Orang ini benar-benar tahu bagaimana cara menyulut emosi seseorang.

Dengan penasaran tatapanku mengikuti orang yang dipanggil Aji yang sedang berjalan mendekati Rio tanpa takut.

"Apanya yang teman jika dulu lo terus nyari masalah dengan gue selama di sekolah? Untung beasiswa gue nggak sampai dicabut. Dan nggak perlu tiba-tiba sok ngaku jadi temen cuma karena tahu gue sangat dipercaya oleh polisi deh."

Tunggu, apa kata Rio barusan? Dipercaya polisi? Dia intel? Atau diam-diam ternyata Rio melakukan internship di kepolisian?

"Lo kan mata-mata polisi, wajar siapa aja mau ngaku-ngaku jadi teman lo kalau udah dapat masalah. Bahkan orang-orang yang udah dikalahin ini juga pasti beranggapan sama kan?"

"Diem lo, Ji."

"Awas aja lo nanti!"

Ini apa sih? Kenapa rasanya hidup Rio sangat rumit begini? Kemarin aku dibuat bingung dengan pengakuan yang mengatakan dia bisa bersikap seperti preman selama situasi memungkinkan, dan sekarang aku semakin dibuat heran lagi setelah tahu Rio ternyata adalah mata-mata polisi.

Kenapa seolah-olah sekarang aku terjebak berada di film action? Apa tidak ada hal normal dalam hidup Rio?

Terserahlah, aku pusing. Lebih baik abaikan mereka semua dan kembali meneruskan perjalananku menuju panti yang sempat tertunda. Sambil mencoba bersikap tidak ada apapun yang terjadi, aku berjalan melewati Rio beserta kumpulan orang-orang yang sudah dikalahkannya.

Saat aku berjalan semakin mendekat, tatapan Rio terus mengawasi seolah ingin memastikan tidak ada seorang pun yang menghalangi dan menggangguku. Caranya menunjukkan sikap protektif benar-benar aneh ya?

"Heehh, emang kelihatan mirip bangat kayak Io ya?"

"Lain kali gue pasti balas perbuatan Io ke lo, tunggu aja nanti."

"Lo nggak bakal selamat jika lewat sini lagi."

Aku mengabaikan ancaman dari orang-orang yang sudah Rio kalahkan, tidak mau ambil pusing karena masih merasa aman-aman saja selama mereka tak tahu cara membedakanku dengan Rio. Jika memang sampai tidak aman, tinggal berpura-pura menjadi Rio untuk cari amannya.

Setelah tepat berada di samping Rio, aku berhenti melangkah karena pergelangan tanganku ditahan olehnya. Dengan bingung aku menatap wajah Rio.

"Jika kalian sampai berani melukainya, gue bakal kasih pelajaran yang lebih keras dari ini. Atau mau gue langsung seret kalian ke kantor polisi karena udah melakukan tindakan pengancaman? Hmm, kalau nggak salah pasal 368 ayat 1 KUHP, gimana?"

Aku mengerutkan dahi dengan heran, bukannya Rio juga sedang melakukan pengancaman sekarang? Bahkan ancaman yang dilakukannya benar-benar ekstrem karena mau memenjarakan orang lain.

Karena tidak ada satu pun orang yang menyahuti ucapannya, Rio menarik pergelangan tanganku untuk berjalan pergi menjauhi mereka semua, "Ya udah, ayo kita ke panti sekarang."

Aku menghela napas dengan lelah. Serius deh, ini benar-benar memusingkan.

"Maaf udah memperlihatkan sesuatu yang nggak ngenakin kayak tadi. Mereka sukses memancing emosiku karena udah mengetahui tentangmu."

"Apa kamu masih mau menyangkal bukan penguasa daerah ini sekarang?" tanyaku sambil melirik Rio.

Rio melepaskan pergelangan tanganku kemudian mengacak rambutnya dengan ekspresi jengkel, "Aku dijuluki penguasa daerah ini bukan karena melakukan hal kayak tadi tahu."

"Lalu?"

"Aku dipercaya oleh polisi yang punya jabatan cukup tinggi untuk melaporkan jika ada pesta narkoba lagi yang dilakukan di daerah ini. Banyak yang salah paham dengan mengira aku bisa melaporkan segala macam jenis kejahatan hanya karena kepercayaan kecil yang kudapatkan."

"Jadi kau benar-benar intel?" tanyaku yang masih merasa tidak mengerti tentang koneksi Rio dengan polisi.

"Leo... kita seumuran. Apa kau pikir aku bisa diterima di kepolisian di umur segini? Aku justru pernah ditangkap karena kasus narkoba tahu."

Syok, langkahku langsung terhenti, "Ap–"

"Karena hasil pemeriksaan mengatakan aku negatif dan para pecandu itu justru menuduhku melaporkan mereka ke polisi, sekarang aku mendapat sedikit kepercayaan dari polisi."

Aku masih menunjukkan ekspresi tidak percaya walau Rio sudah memberikan penjelasan yang terdengar meyakinkan. Siapa saja yang mendengar ini pasti merasakan hal yang sama sepertiku kan? Ini terlalu sulit dipercaya. Apalagi dari orang yang belum lama kukenal.

"Apa Leo merasa takut padaku?"

"Takut? Nggak kok. Emang kenapa harus takut?" tanyaku dengan nada tidak mengerti. Dibanding takut, aku lebih merasa bingung saja. Hidup Rio sudah seperti benang kusut yang terus berbelit tak karuan saat aku mengetahui lebih banyak informasi baru tentangnya.

"Yakin? Ekspresi wajahmu seolah mengatakan 'aku tidak mau berurusan lagi dengan orang ini'."

Salah satu alisku terangkat mendengar ucapan Rio, kesimpulan macam apa itu? "Aku cuma kaget aja karena Rio ternyata nggak sebaik yang kuduga. Tapi nggak masalah sih, setiap orang pasti memiliki sisi buruk kan? Yang sempurna hanyalah Tuhan aja. Yah walau Tuhan kita berbeda, kesimpulan ini kayaknya tetap sama deh."

Ekspresi wajah Rio melembut mendengar ucapanku, "Leo benar. Tapi tetap aja agak memalukan memperlihatkan hal tadi."

"Kok malu? Kan Rio menang melawan mereka, kalau kalah baru boleh malu."

"Benar juga sih. Ah, tapi kayaknya sedikit berbahaya ya jika Leo ingin lewat sini lagi. Wajah kita mungkin mirip, tapi ekspresi kesal yang Leo tunjukkan berbeda denganku."

Aku mengangguk setuju, ekspresi kesal Rio punya semacam aura intimidasi. Ini pertama kali aku melihat raut wajahku bisa seperti itu. Mungkin aku harus mencoba meniru apa bisa menunjukkan ekspresi yang sama setelah berada di depan cermin nanti, "Apa gue harus pakai gaya bicara kayak gini biar mereka nganggap gue itu Rio?"

Bola mata Rio membulat terkejut karena dengan sengaja aku mengubah gaya bicaraku, "Jangan lakukan! Jika sampai terbawa ke rumah, aku bisa dimarahi Mama dan Papa karena mengajarimu hal yang nggak benar."

Sikap baiknya muncul lagi ya? Padahal tanpa perlu mengenal Rio, ada kalanya aku memakai gaya bicara seperti tadi, "Iya, iya, aku nggak akan melakukannya. Dan berhentilah bersikap protektif padaku, menggelikan tahu!"

"Kan Leo adikku."

Dengan bingung aku mengikuti Rio yang kembali berjalan, "Aku nggak ingat pernah menjadi adikmu, kita kembar tahu!"

"Leo lahir tanggal 3 Agustus kan? Aku empat bulan lebih tua darimu loh."

Kenapa ekspresi wajahnya terlihat bangga sekali? Apa Rio segitu inginnya dianggap sebagai kakak olehku? "Semua anak di panti udah memanggilmu dengan sebutan 'Mas' dan juga 'Kakak', masih pengen aku juga melakukan panggilan yang sama?"

"Nggak."

Dengan jengkel aku mendorong bahu kiri Rio dengan cukup keras, apa-apaan sih sikapnya ini? "Kalau nggak mau, jangan bahas perbedaan usia kita deh. Lalu kau udah tahu tanggal lahirmu sejak awal? April tanggal berapa emangnya?

"Tahu kok, dan tanggal 23 April."

Aku mengangguk mendengar jawaban yang Rio berikan. Sudah lewat ya? Lain kali aku pasti meminta Mama untuk merayakannya.