Chereads / L/R / Chapter 22 - 21.R

Chapter 22 - 21.R

Mengikuti lomba cerdas cermat adalah hal yang terlalu sering kulakukan saat masih SMP. Mulai dari olimpiade matematika, dabat bahasa Inggris, dan juga cerdas cermat antar sekolah.

Setelah sudah SMA jelas aku semakin ingin mendaftarkan diri mengikuti perlombaan yang lebih banyak jenisnya. Tapi entah kenapa sekarang aku malah merasa kurang niat.

Padahal menyenangkan dapat lebih mempelajari banyak hal, hanya saja aku jadi banyak mengabaikan banyak hal karena terlalu fokus belajar.

Aku mengabaikan keluarga yang sudah kumiliki. Mama dan Papa tentu memberi dukungan saat aku mengatakan mau mengikuti cerdas cermat, tetapi perhatian mereka berkurang karena kesibukanku.

Aku jadi mengerti maksud ucapan Leo yang mengatakan masih merasa kesepian walau sudah memiliki keluarga yang lengkap.

"Kok lesu? Ada apa? Cerdas cermatnya nggak berjalan lancar?"

Aku menatap Bagas yang duduk di hadapanku, "Lancar kok, terlalu lancar malah, tapi aku nggak begitu niat melakukannya karena harus berpasangan dengan Sinta."

Iya, Sinta merupakan salah satu alasan yang membuatku malas mengikuti cerdas cermat. Rasanya sangat menjengkelkan karena nilai-nilai dia semakin bagus sejak aku mulai mengajari berbagai macam mata pelajaran.

"Kok malah nggak suka? Banyak cowok yang iri loh karena lo bisa dekat dengan Sinta."

Aku juga tahu mengenai beberapa siswa yang tertarik pada Sinta karena dianggap memiliki wajah imut, tapi berhubung Sinta cukup pendiam dan juga nerd, mereka segan melakukan pendekatan. Alhasil mereka pun merasa iri padaku yang bisa terus-menerus bersama Sinta.

Padahal aku kurang nyaman terlalu sering menghabiskan waktu bersama Sinta, kenapa mereka harus iri segala sih? "Sampai kapan pun aku nggak pernah suka sama cewek yang dapat menyamai nilai-nilai pelajaranku."

"Iya deh, orang pinter mah beda pemikirannya."

Aku menghela napas dengan malas, "Apa Bagas juga suka pada Sinta? Jika iya, aku dengan senang hati pasti membantumu."

Bagas tertawa sambil menggeleng, "Cewek pintar kayak Sinta terlalu berat untuk didapatkan karena cuma tahu belajar doang. Dia jauh lebih cocok dipasangkan sama lo tahu."

Cuma karena sama-sama suka belajar tidak berarti kami cocok kan? "Tapi akunya nggak mau sama dia."

Melihat Bagas mengangkat bahu dengan gerakan santai, aku menghela napas. Kenapa dia selalu begini sih? Padahal aku sudah sering menunjukkan reaksi penolakan pada Sinta, tapi Bagas selalu saja membahas tentang ini. Apa keuntungan yang dia dapat coba jika aku benar-benar berpacaran dengan Sinta?

Lagipula jika bukan karena cerdas cermat, kami tidak mungkin sering terlihat bersama, "Udahlah, lebih baik aku ke mushola sekolah aja. Pasti lama harus mengajari Sinta lagi."

Setalah bangkit dari posisi dudukku, Bagas melambaikan tangan dengan gerakan tidak niat, "Jangan terlalu keras padanya ya?"

Tanpa mau menanggapi ucapan Bagas, aku memutuskan langsung pergi ke mushola yang dimiliki sekolah untuk salat Zuhur.

Kalau tidak salat saat jam istirahat, aku tidak punya kesempatan melakukannya lagi. Setelah jam pulang sekolah terkadang guru memberi pelajaran tambahan untuk latihan cerdas cermat, atau aku terlalu sibuk mengajari Sinta tentang pelajaran yang tidak dimengerti olehnya.

Kapan cerdas cermat ini selesai sih? Aku ingin bersantai sedikit dengan tidak terus-terusan belajar.

Apa karena tidak sedang mempertahankan beasiswa aku jadi sedikit malas belajar ya? Atau ini faktor Sinta yang menjadi pasanganku? Atau justru karena sekarang sudah memiliki keluarga jadi aku ingin meluangkan waktu bersama dengan mereka?

Memang aku masih sering mengobrol dengan Mama atau menghabiskan waktu bersama dengan Leo, tapi tetap terasa masih ada yang kurang. Bahkan saking sibuk dengan lomba cerdas cermat, aku sampai melupakan tentang Ayah yang belum menemuiku sampai detik ini.

Dan kenapa aku yang sedang dipusingkan oleh lomba cerdas cermat malah berpapasan dengan Sinta saat keluar dari mushola setelah melaksanakan salat Zuhur? Tapi begitu melihat tatapan aneh yang diberikan olehnya, rasa jengkelku seketika terganti dengan bingung.

Kenapa dia menatapku dengan tatapan seperti itu? Apa ada sesuatu yang salah?

"Rio beragama Islam?"

Aku semakin mengernyit bingung mendengar pertanyaan aneh yang Sinta berikan, "Kok nanya? Kan barusan aku salat di mushola."

Sinta menatapku dan mushola yang berada di sisi kirinya secara bergantian, "Tapi aku pernah lihat Rio pakai kalung salib."

Hah? Aku tidak mungkin memakai benda seperti itu, yang memakainya adalah Leo. Aku tahu Sinta pernah salah mengenali Leo, tapi aku tidak menyangka salah pahamnya ternyata separah ini.

Oke, Leo mungkin bersalah, tapi kan ada pelajaran agama yang bisa dijadikan pemicu untuk menebak agama murid-murid di kelas, jadi seharusnya salah paham ini tidak terjadi kan?

"Kita juga pernah beribadah di gereja yang sama."

Bertemu di gereja? Leo tidak mengatakan pernah bertemu dengan Sinta selain saat di pasar malam. Kenapa salah paham ini terasa sangat menyeramkan karena melibatkan agama? "Yang kamu lihat bukan aku."

"Nggak mungkin salah lihat kok. Di gereja aku benar-benar yakin melihatmu, dan aku bahkan minta nomormu waktu di pasar malam."

"Aku punya saudara kembar yang beda agama denganku," jelasku sesimpel mungkin agar langsung dapat dimengerti.

Melihat Sinta yang malah bertambah bingung, aku menghela napas dengan pasrah. Ini sangat aneh untuk bisa dipahami dengan mudah, "Terlalu rumit menjelaskan kenapa agama kami beda. Pokoknya yang pakai kalung salib dan ke gereja bukanlah aku. Dia bernama Leo."

"Jika bukan Rio, kenapa dia tahu namaku dan merespon saat disapa?"

Aku terdiam sebentar untuk mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan, "Kami pernah bertukar identitas saat di sekolah. Aku menjadi Leo, dan Leo menjadi aku. Jadi kami kenal teman satu sama lain dan juga terbiasa merespon walau ada yang salah memanggil nama. Ini pernah terjadi, maaf kamu udah jadi korban dengan kebiasaan aneh kami."

Sinta mengangguk mengerti, "Aku baru tahu Rio punya saudara kembar."

Aku sengaja tidak menceritakannya pada siapa pun, bahkan kepada Bagas. Sudah cukup dengan Papa yang menarik perhatian karena kedatangannya ke sekolah, aku tidak mau semakin menarik perhatian lagi karena memiliki saudara seperti Leo.

Setelah jam pulang sekolah, sudah menjadi semacam kewajiban bagiku dan Sinta tetap berada di kelas untuk belajar.

Kali ini kami belajar sendiri tanpa dibimbing guru. Walau dikatakan belajar sendiri, yang sebenarnya dilakukan adalah aku mengajari Sinta.

Sinta lemah di pelajaran yang ada hitung-hitungannya, aku harus mau menjelaskan soal yang ditanyakan olehnya. Tapi aku tidak melakukan sebaik saat mengajari Leo.

"Kamu salah mengerjakan nomor dua, ulangi lagi."

"Apa aku udah pakai rumus yang benar?"

"Aku udah mengajari soal yang mirip seperti ini beberapa hari yang lalu, aku nggak mau mengajarkan hal yang sama berulang kali."

Walau diajari dengan cukup kejam, Sinta mau menurut dan berusaha sendiri. Jujur ini adalah hal yang paling tidak kusuka karena dia pasti bisa mengerjakannya dengan benar tanpa menanyakan apapun lagi.

Pandanganku beralih ke arah hp yang layarnya menyala, ada chat masuk dari Leo.

'Bisa pulang cepat hari ini? Aku mau mempertemukanmu dgn seseorang di panti'

Dipertemukan dengan seseorang?

'Apa ada ayahku disana?'

'Jika iya, pasti udah kutelpon'

Ternyata bukan orang penting ya? Sia-sia aku berharap. Dengan malas aku kembali meletakkan hp di atas meja dan menatap Sinta yang masih fokus mengerjakan soal.

Kali ini tidak ada kesalahan yang dilakukan, dia bisa menjawab dengan benar. Kenapa Sinta sering tidak teliti di percobaan pertama sih? Sebagai saingan, aku senang dengan kelemahan ini. Tapi sebagai rekan cerdas cermat, aku jengkel dia terus melakukan kesalahan yang sama.

Layar hpku kembali menyala. Bisa dipastikan Leo belum menyerah melakukan pemaksaan. Dasar egois!

'Ayolah~ Pasti bosan kan belajar terus disekolah? Refreshing dikit gak masalah kok, kan Rio pintar 😎'

Kenapa kata pujian yang Leo ketik terasa menjengkelkan? Tapi ada benarnya sih, aku sangat bosan terus berduaan dengan Sinta seperti ini, "Sinta, apa kamu mau kita belajarnya di tempat lain?"

Sinta berpaling untuk menatapku, "Mengerjakan di tempat lain?"

Aku mengangguk, "Di tempat tinggalku, mau?"

"Di rumah Rio?"

Bukan rumah, melainkan panti asuhan. Tapi gara-gara salah Papa, sulit memberi penjelasan mengenaiku yang sudah tinggal di panti asuhan selama dua belas tahun, "Mau? Kita nggak bakal berduaan begini kok, di sana cukup ramai."

Sinta mengangguk setuju, "Boleh."

Setelah sepakat, kami pun membereskan buku yang berada di atas meja kemudian keluar dari kelas, "Ah ya, jangan terkejut setelah sampai sana ya?"

Sinta menatapku dengan pandangan bingung, "Emang ada apa di rumah Rio?"

"Kita nggak ke rumahku, melainkan ke tempat aku dibesarkan selama dua belas tahun. Sinta mungkin terkejut setelah tahu aku ternyata nggak sesuai dengan image yang diberikan anak-anak satu sekolah."

Karena kedatangan Papa ke sekolah, aku diberi image sebagai anak orang kaya. Meski pernah mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi hanya Bagas yang percaya.

Kemungkinannya sangat besar Sinta bisa terkejut, jadi aku dengan sengaja tidak menjelaskan secara gamblang mengenai tempat yang dituju. Lebih baik mendapat satu ekspresi terkejut dibanding membuat Sinta terkejut dua kali.

"Aku tahu kamu terkejut, tapi bisa nggak sekarang turun dari atas motor?"

Setelah sampai panti asuhan Kasih Mulia, Sinta yang kubonceng pakai motor tidak menunjukkan tanda-tanda mau turun. Aku tahu dia sedang terperangah, tapi setidaknya bisa turun dulu kan dari boncengan motorku?

"Ah, maaf," dengan gerakan terburu-buru Sinta turun dari atas motor.

Aku menghela napas dengan malas, "Kaget diajak ke panti asuhan?"

Sinta mengangguk dengan gerakan gugup, "Tapi aku jadi mengerti kenapa di Instagrammu lebih banyak berisi foto-foto anak kecil."

Aku bukan tipe yang sama dengan Leo yang memposting foto diri sendiri. Aku lebih tertarik memasukkan foto anak-anak panti di Instagram. Seingatku nyaris tidak ada fotoku sendiri di Instagram karena dipenuhi dengan foto anak panti.

Setelah menurunkan standar motor, aku pun turun dari atas motor, "Aku udah tinggal di sini sejak kecil. Baru sekitar..," aku terdiam sesaat untuk mencoba mengingat, "mungkin sekitar dua bulan aku baru diadopsi secara ilegal."

"Ilegal?" Sinta langsung menatapku seolah terkejut dengan kata yang baru saja kukatakan.

"Karena beda agama, nggak bisa dilakukan secara legal. Kesimpulan mudahnya, aku dijadikan anak angkat sampai punya pekerjaan sendiri."

Sinta mengangguk paham, "Oh, jadi itu maksud Rio punya saudara beda agama ya? Tapi aku nggak ngerti kenapa kalian punya wajah yang mirip kayak saudara kembar."

Kau pikir aku mengerti? Kemiripanku dengan Leo adalah sesuatu yang sulit dijelaskan menggunakan kata-kata, "Udahlah, ayo masuk aja. Ah, dan di dalam ada orang yang pernah kau temui memakai kalung salib."

"Kembaranmu?"

"Iya. Jadi silakan perhatikan Leo sampai bosan agar Sinta menemukan perbedaan di antara kami."