Hidup menjadi orang lain tidaklah semudah aktor yang berperan di sebuah film. Tidak ada sutradara yang mengatakan cut, tidak ada juga adegan reka ulang yang dilakukan jika melakukan tindakan yang salah.
Aku diharuskan berimprovisasi sendiri dalam situasi tak terduga yang bisa terjadi kapan saja. Berada di posisi ini membuatku jauh lebih pusing dibanding mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat SMP.
Selama ada rumus, matematika dapat dikerjakan dengan benar. Tapi mempelajari hidup orang lain dan merealisasikannya secara langsung, terlalu membingungkan untuk dilakukan.
Apalagi jika sudah berada di posisi sulit, aku harus ingat untuk menahan diri. Jadi di minggu ke dua saat menjadi Leo, aku memutuskan untuk jauh lebih berkonsentrasi mengikuti pelajaran saja saat di sekolah. Menghadapi teman-teman Leo membuat beban pikiran tersendiri untukku.
"Kamu lelah, Leo?"
Dengan cepat aku buru-buru bangkit dari posisiku yang sedang tiduran di sofa ruang tamu saat Mama masuk dari pintu depan rumah, "Nggak kok, Ma, aku cuma lagi nonton tv aja."
Mama berjalan mendekat kemudian duduk di sampingku, Beliau menghela napas saat meletakkan barang-barang yang dibawanya, "Mama lelah?"
Helaan napas panjang kembali dilakukan oleh Mama, "Tadi ada sedikit masalah di butik."
"Mau kupijat?"
"Boleh, coba tolong pijat pergelangan tangan Mama."
Aku memegang pergelangan tangan Mama lalu memijatnya selembut mungkin. Dapat kulihat secara perlahan ekspresi wajah Mama mulai lebih rileks dibanding sebelumnya, "Makasih ya, Leo. Mama senang ada kamu yang menemani saat Mama lelah begini."
Mendengar ucapan itu membuatku tersenyum senang. Karena terbiasa, sekarang aku tidak merasa canggung lagi melakukan interaksi yang biasa dilakukan oleh ibu dan anak. Bahkan sekarang aku sudah sampai dititik di mana bisa menatap wanita ini sebagai ibu sendiri.
Rasanya sangat nyaman berada di situasi yang membuatku seperti benar-benar memiliki keluarga yang lengkap, "Mama jangan terlalu lelah ya? Aku nggak mau Mama sampai sakit."
"Iya, sayang. Kamu juga jaga kesehatan ya?"
"Iya, aku juga tak akan buat Mama cemas kok."
Dengan lembut Mama mengelus kepalaku, "Mama sayang bangat sama kamu, teruslah jadi anak baik yang disayang Mama ya?"
Kepalaku mengangguk mendengar pujian yang mulai sering diucapkan oleh Mama selama beberapa hari terakhir ini, "Tentu."
♔
Pagi ini masih sama seperti pagi sebelum-sebelumnya. Aku tetap melakukan sarapan bersama dengan Mama dan Papa sebelum berangkat sekolah.
"Hari ini Leo pulang sekolah jam satu ya?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Mama. Jika aku mengikuti pelajaran agama, pulang sampai rumah jam satu. Dan jika aku salat di masjid, juga jam satuan sampai rumah. Tidak ada bedanya setelah aku mendengar informasi yang Bi Erni katakan mengenai jam pulang Leo di hari Jumat.
"Jangan aneh-aneh lagi loh mencari masjidnya."
Dibanding aneh, bagiku sih Jumat kemarin lebih cocok dikatakan terlalu berlebihan padahal cuma mau mencari masjid untuk salat doang. Mungkin kali ini aku akan sedikit menahan diri agar tidak ditegur Papa lagi, "Aku tidak akan merepotkan Pak Rahmat lagi kok, Pa."
Papa menggeleng seolah tahu aku tidak berniat melakukan apa yang baru saja kukatakan, "Dasar."
Aku menahan diri untuk tidak tertawa. Walau berlebihan, tapi juga seru sih mencoba mencari masjid yang belum pernah kudatangi, jika tidak terlalu merepotkan Pah Rahmat, rasanya hari ini aku ingin minta diantar ke masjid yang berbeda lagi.
"Papa, Mama, aku pul-... eh?"
Saat melihat seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruang makan, kegiatan sarapanku langsung terhenti. Orang yang memiliki wajah yang sangat mirip denganku itu sedang terpaku sambil menatap ke arahku.
Aku tidak salah lihat kan? Tangan kananku mengucek mata untuk memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatanku. Tapi karena orang itu masih tetap berdiri di sana, wajahku seketika memucat. LEO!!
Kenapa Leo sekarang berada di sini? Seharusnya dia terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma kan? Apa Leo sudah sembuh? Tapi kenapa Mama dan Papa tidak mengatakannya padaku?
"Siapa dia?"
Mama langsung berdiri dan melangkah mendekati Leo, ekspresi wajah Mama terlihat terkejut sama seperti yang sedang kutunjukkan, "Kenapa kamu sudah pulang, Leo? Sejak kapan kamu sembuh? Kenapa tidak menghubungi Mama? Mama kan bisa menjemputmu."
"Siapa dia, Ma? Kenapa dia bisa berada di sini? Dan kenapa dia sangat mirip denganku?" walau Mama mulai mencoba membuatnya tenang, Leo terlihat tidak terima melihat keberadaanku.
Aku menunduk dengan gugup. Wajar Leo marah, dia tidak tahu tentangku yang menggantikannya selama ini. Aku bahkan sudah merebut banyak hal darinya.
"Mama akan menjelaskannya padamu, jadi tenang dulu ya?"
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau memanfaatkan orang tuaku selama aku nggak ada?" karena kerah seragamku ditarik ke atas, mau tidak mau aku harus menatap wajah marah Leo.
Diam. Tidak ada satu pun kata yang membuatku dapat menjawab pertanyaan ini. Aku hanya bisa menerima kemarahan Leo karena ucapannya memang benar. Aku telah memanfaatkan orang tuanya yang sudah menjanjikan mau membiayai uang sekolahku sampai jenjang kuliah.
Tergiur mendengar tawaran yang menjanjikan masa depanku. Itulah alasan kenapa aku berada di rumah ini. Mana mungkin aku melupakan awal mula dari semuanya.
"Kenapa diam aja? Cepat jawab!!"
"Rio."
Tubuhku terlonjak kaget saat namaku dipanggil. Dengan takut aku melihat ke arah Papa yang tadi memanggil, "Kamu sebaiknya berangkat sekolah sekarang, biar kami yang menyelesaikan masalah ini."
"Ap–"
"Baik," sebelum Leo sempat protes, aku melepaskan diri darinya dan berjalan keluar dari ruang makan tanpa pamit lagi.
Cepat atau lambat peranku sebagai Leo pasti berakhir, aku sangat tahu tentang hal ini. Tapi kenapa di saat-saat terakhir aku malah meninggalkan masalah? Mereka tidak boleh bertengkar hanya karena keberadaanku. Keluarga ini sudah sangat baik, seharusnya yang kulakukan adalah membalas kebaikan mereka, bukan malah membuat masalah.
"Den, Anda baik-baik saja? Maaf saya tidak bisa menahan Den Leo, saya juga terkejut melihat dia tiba-tiba pulang."
Aku menatap Pak Rahmat yang sedang melihatku dengan raut wajah khawatir, "Nggak apa-apa. Ini kan rumah Leo, wajar dia pulang ke rumah sendiri."
Yang salah adalah aku yang seharusnya tidak berada di sini. Pak Rahmat sama sekali tidak bersalah sudah membiarkan Leo masuk rumah.
Akhirnya masih dengan perasaan yang campur aduk begini aku diantar ke sekolah. Selama di sekolah aku tidak dapat berkonsentrasi mengikuti pelajaran, bahkan aku juga berkali-kali ditegur karena tidak merespon saat diajak mengobrol.
Pikiranku masih tertinggal di rumah, aku masih memikirkan kepulangan Leo yang bahkan tidak diketahui oleh orang tuanya. Apa sekarang Ma- Bu Laila dan Pak Albert bisa menjelaskan semuanya pada Leo? Lalu apa Leo mau menerima penjelasan mereka?
Dan apa yang terjadi saat nanti aku pulang ke rumah? Apa kehadiranku akan semakin memperburuk keadaan?
Aku tidak ingin pulang. Suasana bisa semakin runyam jika aku kembali ke sana. Aku harus pergi. Lebih baik kembali menjalankan kehidupanku sendiri dibanding menambah masalah lagi.
Merasa yakin dengan keputusan yang kubuat, saat jam pulang aku harus memberikan alasan pada Pak Rahmat agar bisa kembali masuk lagi ke sekolah, "Maaf, Pak, kayaknya aku meninggalkan sesuatu di kelas deh. Boleh kuambil dulu?"
Setelah melihatku meletakkan ransel di dalam mobil, Pak Rahmat menatap dengan bingung, "Tapi tolong jangan terlalu lama, Nona Laila meminta saya untuk langsung mengantar Anda pulang setelah salat Jumat."
"Nggak lama kok. Jika sampai kelamaan, Pak Rahmat masih bisa masuk ke sekolah untuk mencariku kan? Ya udah, aku pergi dulu ya?" setelah mengatakan hal itu, aku kembali masuk ke bangunan sekolah.
Tapi tujuanku bukanlah kelas seperti yang tadi dikatakan, aku justru berlari menuju gerbang belakang sekolah secepat yang kubisa. Aku berniat kabur melewati jalan belakang agar tidak diketahui oleh Pak Rahmat.
Mungkin ini membuat Pak Rahmat khawatir, tapi aku tidak bisa kembali ke rumah itu lagi. Karena tugasku sudah selesai, tidak ada hal lain yang dapat kulakukan selain pergi kan?
Aku juga sudah mengembalikan semua barang yang sejak awal milik Leo, mungkin kecuali seragam sekolah dan sepatu yang sedang kupakai. Tapi suatu saat pasti akan kukembalikan juga.
Aku datang tanpa membawa apapun, jadi saat pergi tidak ada satu pun barang milik Leo yang kubawa.