Aku dan Rio memiliki wajah yang benar-benar mirip, karena terlalu mirip, kami bahkan kesulitan mencoba mencari perbedaan fisik yang bisa menjadi pembeda.
Jika kami saja belum menemukan perbedaan yang ada, orang lain juga pasti sulit melakukannya. Bahkan Mama dan Papa sampai tidak sadar kalau aku yang datang ke sekolah Rio hari ini.
Tidak baik sih membohongi orang tua, tapi aku sangat ingin mencoba berpura-pura menjadi orang lain. Dan setelah kemarin sukses membujuk Rio, akhirnya aku bisa berada di SMAN 18. Sekolah tempat Rio akan menimba ilmu.
Rio sudah mengkonfirmasi tidak ada temannya yang masuk sekolah ini, jadi sangat aman aku menggantikan Rio di hari pertama menjadi murid baru.
"Namaku Rio Arizki, salam kenal," aku yang saat ini sedang berdiri di depan kelas mengenalkan diri sambil tersenyum. Hampir saja aku belibet saat bicara karena pelafalan nama ini sangat mirip dengan namaku.
"Baiklah, jadi alasan Rio baru bisa masuk sekolah adalah karena..."
Sambil menunggu guru menjelaskan mengenaiku yang terlambat masuk sekolah selama satu bulan sejak penerimaan murid baru, mataku menjelajahi seisi kelas untuk menatap semua siswa yang ada.
Pandanganku terhenti melihat seorang perempuan yang duduk di kursi terdepan pojok kiri. Kok terasa familiar ya? Wajah imutnya itu seperti pernah kulihat, tapi siapa? Aku tidak mungkin lupa jika pernah berkenalan dengan perempuan yang punya wajah imut dan menggemaskan seperti ini. Apa aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat?
Ah, sudahlah, sekarang kan aku Rio, lebih baik abaikan saja perempuan itu. Walau kenal sekalipun, aku tetap harus berpura-pura tidak mengetahui tentangnya.
"...sekarang kamu boleh duduk di kursi kosong yang berada di baris paling belakang."
"Baik," setelah akhirnya guru selesai bicara, aku berjalan ke arah satu-satunya kursi yang kosong lalu duduk di sana.
Dan karena sang guru langsung memulai pelajaran, aku tidak sempat berkenalan dengan orang yang duduk di sampingku.
Lebih baik sekarang konsentrasi dulu mendengar dan mencatat semua penjelasan guru. Rio sudah melakukan hal ini selama dua minggu, aku juga harus melakukannya dengan baik.
Tapi...
Mataku menyipit untuk membaca tulisan guru di whiteboard. Tidak begitu kelihatan.
Apa mataku minus? Sepertinya selama ini aku terlalu sering main game di hp ya? Setelah ini aku akan minta mendatangi dokter mata untuk mengecek berapa banyak minus yang kualami sebelum membeli kacamata.
Dan yang menjadi masalah lain, ternyata Rio masuk jurusan IPA, sedangkan aku IPS. Sudah tersiksa tidak bisa melihat whiteboard, aku pun sama sekali tidak mengerti dengan rumus kimia yang sedang dijelaskan guru.
Padahal kan Rio sudah mencoba jadi anak IPS selama dua minggu, bahkan dia juga sudah mengerjakan seperempat latihan soal yang berada di semua buku pelajaranku. Lalu kenapa dia justru mengambil jurusan IPA? Aku kan tersiksa di sini! Tapi kenapa dia tidak merasa tersiksa sedikit pun mempelajari pelajaran jurusan IPS sih? Dia jenius?
Sudahlah. Daripada pusing memikirkan Rio dengan siksaan tidak langsung yang diberikan padaku, lebih baik aku melihat buku milik orang yang duduk di sampingku karena tidak mengerti jika sekedar mendengar penjelasan guru saja.
"Ada apa?" menyadari fokus mataku tertuju pada bukunya, orang di sampingku ini memberi tatapan bingung.
Aku tersenyum canggung. Ini adalah masalah mataku yang tidak bisa melihat whiteboard dengan jelas, bukan masalah Rio, jadi aku harus mencari pilihan jawaban yang tepat, "Semalam aku kurang tidur jadi nggak begitu jelas lihat papan tulisnya. Boleh kan aku lihat catatanmu aja?"
"Oh, ya udah, lihat aja. Tapi maaf kalau tulisannya jelek."
Dibanding tulisan tanganku atau Rio, tulisan ini tidak terlalu bagus sih, tapi yang penting masih terbaca dengan jelas, "Oh ya, kita belum kenalan kan? Siapa namamu?"
"Bagas. Lalu Rio, saat ingin mendaftar ke sekolah, ortu lo datang langsung kan ya?"
Setahuku Papa datang sendiri ke sekolah untuk mendaftarkan Rio, dan aku mengerti kenapa Bagas menatapku dengan pandangan penasaran begini.
Penampilan Papa terlihat seperti ahjussi yang ada di film Korea. Pakai setelan jas rapi, mengendarai mobil mewah, dan juga memiliki wajah tampan. Aku bahkan merasa heran kenapa Papa ingin berangkat ke kantor selalu berpenampilan seperti itu.
Pasti kedatangan Papa sangat mencolok ya? Ini kan sekolah negeri, bukan seperti sekolahku yang keuangan para muridnya rata-rata sama semua. Kenapa Papa tidak memilih memakai kemeja saja sih? "Kau melihat papaku saat datang ke sekolah ya?"
Bagus mengangguk, "Satu sekolah penasaran karena ada anak orang kaya yang jadi murid baru."
Padahal Rio melarangku agar tidak menarik perhatian, tapi sepertinya Papa sudah membuat seisi sekolah merasa penasaran duluan. Nanti saat jam istirahat pasti ada yang mencoba bertanya secara langsung.
Aku menghela napas dengan pasrah, "Aku bukan anak orang kaya kok."
Untuk menerima barang mahal saja Rio selalu menolak, sudah pasti dia bukan tipe orang yang mau menyombongkan diri. Yang ada dia malah mengakui Papa sebagai orang tua angkatnya.
Sekarang aku jadi merasa aneh karena sedang memakai beberapa barang yang memiliki merek mahal.
Rio pasti ingin terlihat seperti siswa SMA biasa, tapi sekarang semua barang milikku sudah menjadi miliknya. Walau Rio berada di posisiku saat ini, orang lain tetap saja akan memberi penilaian sebagai anak orang kaya. Aku jadi sedikit merasa bersalah padanya.
♔
"Rio, yang kemarin datang ke sekolah pakai jas rapi ayahmu kan?"
"Aku juga lihat saat ayahmu datang ke sekolah loh."
"Lo benar-benar home schooling sebelum pindah ke sini?"
"Apa Rio udah punya pacar?"
Sudah kuduga pada saat jam istirahat akan ada yang merasa penasaran, tapi cukup membuat bingung melihat sebagian besar perempuan yang duduk di dekatku langsung berkumpul begini.
Mereka tertarik setelah menilaku sebagai anak orang kaya ya? Ini juga terjadi sih saat SMP karena aku masuk sekolah negeri, tapi sekarang aku Rio, jawaban seperti apa yang harus kupilih atas semua pertanyaan ini?
Sebelum sempat memberi jawaban, hpku yang berada di atas meja menyala. Ada panggilan telepon dari namaku sendiri.
Bagus, kamu menyelamatkanku tepat waktu, Rio, "Maaf, ada panggilan penting, aku angkat dulu ya?"
Tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku langsung kabur keluar dari kelas sambil membawa hp.
"Kamu menikmatinya?"
Aku tertawa setelah panggilan telepon sudah diangkat, "Kamu meneleponku di saat yang sangat tepat loh."
"Nggak terjadi masalah kan?"
Punggungku bersandar di dinding sambil memperhatikan lorong yang ramai karena sedang jam istirahat, "Aku menarik perhatian karena penampilan Papa yang datang ke sekolah saat mau mendaftarkanmu."
Terdengar dengan jelas helaan napas Rio di seberang telepon, "Oh ya, aku akan meminimalisir untuk nggak berkenalan dengan banyak orang agar nggak menyulitkanmu. Jadi aku mesti ke mana sekarang?"
"Kalau tahu tempatnya ke perpus aja."
Tadi aku sudah lihat ruang perpustakaan yang berada di dekat ruang guru, jadi sekarang aku bisa langsung menuju ke sana sesuai saran Rio, "Jika nanti ada yang bertanya tentang Papa lagi, apa yang harus kujawab?"
"Jujur aja bilang kalau Papa cuma orang tua angkatku."
Rio benar-benar mau memberi jawaban ini ya? Dasar, kenapa dia terlalu baik sampai menghindar agar tidak terlihat seperti ingin pamer sih? "Lalu jika ada yang menanyakan rumahku, aku jawab tinggal di panti asuhan? Kok memilih jawaban jujur terasa mengesalkan ya?"
"Aku nggak ingin menarik perhatian jika mereka tahu tentang kehidupanku yang sekarang, Leo. Dan nanti setelah pulang sekolah kita jadi ketemu di panti?"
Aku mengangguk seolah Rio melihatku, "Mama dan Papa bisa marah kalau tahu aku tadi mengendarai motor."
"Kau emang nekat! Padahal belum lama sembuh dari keadaan koma, tapi udah melakukan sesuatu yang buat cemas."
Aku kembali tertawa. Dalam keadaan tubuhku yang baru saja sembuh, bisa dikatakan cukup nekat karena sudah berani berkendara sendiri, walau yang kupakai motor matic, "Aku kan tahu kondisi tubuh sendiri, jadi aku sengaja minta dibelikan motor matic."
"Lalu kenapa motor itu malah untukku?"
Karena Rio pasti menolak dibelikan motor, jadi Mama mengajakku membelinya, "Aku udah punya Pak Rahmat yang bisa mengantar dan juga menjemputku jika ingin pergi. Tapi lain kali aku juga pasti memakai motornya kok. Jika Mama mengizinkan."
Setelah mengalami koma, kondisi tubuhku belum sepenuhnya prima dan membuatku belum diperbolehkan melakukan aktivitas yang menguras banyak tenaga. Dokter sudah menyarankan untuk lebih rajin berolahraga agar kondisi tubuhku bisa kembali fit lagi.
Mama yang khawatir setelah mendengar penjelasan itu menjadi sangat ketat padaku. Jika sampai ketahuan mengendarai motor seperti tadi pagi, aku pasti dimarahi habis-habisan.
"Ah, aku sekarang udah sampai perpus. Kututup ya teleponnya? Sampai ketemu di panti," karena di perpustakaan tidak boleh mengeluarkan suara yang mengganggu, aku memutuskan mengakhiri panggilan telepon Rio.
Di sini sepi, bagus juga pilihan tempat yang disarankan Rio untuk kabur. Aku bisa menghabiskan waktu jam istirahat di sin-... tunggu dulu, itu teman sekelasku kan? Perempuan yang membuatku berpikir kalau sudah pernah melihatnya.
Saat absensi tadi aku tahu namanya adalah Sinta Aulia, tapi nama itu masih terdengar asing. Tidak ada satu pun teman perempuan yang kumiliki mempunyai nama Sinta. Tapi kenapa aku merasa pernah bertemu dengannya ya?
Ah, sudahlah, jika kami memang sudah saling mengenal, seharusnya dia yang menegur duluan dan memanggilku dengan nama Leo. Tapi berhubung hal itu tidak dilakukan, lebih baik aku mengabaikannya saja.