Dari yang kuketahui, Leo sudah benar-benar sembuh setelah mengalami koma. Mama bahkan juga menjelaskan tidak ada efek berbahaya yang diterima oleh tubuh Leo.
"Apa besok Leo bisa mampir ke panti asuhan? Papa punya beberapa barang dari pegawai kantor yang bisa disumbangkan."
"Besok tidak bisa, Pa. Aku sudah janji mau pergi ke dokter dengan Mama."
Jadi mendengar alasan yang Leo buat untuk menolak permintaan Papa, aku langsung menatapnya dengan khawatir, "Apa Leo masih harus melakukan pemeriksaan?"
Leo menggeleng sambil tersenyum cerah, "Aku mau ke dokter mata. Karena keseringan main game, kayaknya aku butuh kacamata."
Terlalu banyak menggunakan alat elektronik memang tidak baik sih. Aku cukup beruntung karena mataku masih baik-baik saja walau dulu sering terkena pancaran sinar radiasi dari komputer saat mengambil pekerjaan sampingan menjadi penjaga warnet.
"Berarti harus ditunda dulu ya?"
"Ah, Pa, apa boleh aku menyumbangkannya ke sebuah panti asuhan yang kuketahui?" aku menatap Papa dengan gugup. Ini pertama kali aku meminta sesuatu, rasanya sangat gugup saat Papa balik menatapku.
"Bukan panti asuhan Kasih Mulia kan? Papa sudah memberi sumbangan ke sana, mereka mungkin menolak jika mendapat sumbangan dua kali berturut-turut dari orang yang sama."
Aku mengangguk, "Ini panti asuhan yang dikelola pemerintah. Anak-anak panti asuhan Kasih Mulia dikirim ke sana setelah mencapai usia untuk bersekolah, dan aku mengenal beberapa orang dalamnya."
Papa ikut mengangguk mengerti, "Baiklah, kalau begitu tolong antar ke sana ya? Barangnya tidak banyak kok. Cuma ada beberapa pakaian dan mainan saja."
"Baik, Pa," aku tersenyum senang mendengar persetujuan Papa. Sudah lama aku tidak ke panti asuhan Taruma Jaya, rasanya kangen dengan beberapa anak yang pernah berada di satu panti yang sama denganku.
"Ah, Rio, jika anak panti asuhan Kasih Mulia dipindahkan ke panti asuhan milik pemerintah setelah mencapai usia untuk bersekolah, lalu kenapa kamu masih ada di sana?"
Kedua netraku menatap ke arah Mama yang menunjukkan ekspresi penasaran, "Aku pengecualian karena ayah kandungku masih mengirimkan uang bulanan yang bisa dipakai untuk biaya sekolah. Lalu saat SMP aku mendapat beasiswa, jadi tetap bisa bertahan tinggal di panti."
"Ternyata kau benar-benar pintar ya?" / "Ayah kandung Rio masih hidup?"
Mataku mengerjap, sedikit bingung mendengar Leo dan Mama bicara secara bersamaan, "Sejak SD aku selalu rajin belajar karena tahu Ayah tidak bisa selamanya mengirim uang bulanan, lalu...," aku berpaling menatap Papa, "Papa tidak mengatakan pada Mama kalau aku masih punya orang tua?"
Karena ingin mengambil tanggung jawabku, Papa sudah diberitahu tentang aku yang masih memiliki ayah kandung. Bahkan Papa juga dikatakan sudah memegang fotocopy akta lahirku beserta kartu keluarga milik Ayah.
Papa tersenyum gugup, "Papa belum siap menjelaskannya. Mama pasti sedih jika tahu orang tua kandungmu bisa datang kapan saja dan mengambilmu kembali."
Aku kembali menatap Mama yang seperti dugaan Papa sedang menunjukkan ekspresi kecewa karena baru mengetahui fakta ini, "Sebenarnya setelah aku sampai sini, Ayah datang ke panti asuhan untuk menemuiku."
Kepalaku tertunduk gugup saat semua orang yang berada di ruang makan tidak ada yang menanggapi ucapanku, "Ayah sudah diberitahu alamat rumah ini, jadi suatu saat dia mungkin mau menemuiku."
"Jadi ayahmu akan menjemput pulang ya?" Papa menghela napas, "jika itu terjadi, Rio sesekali harus tetap main atau menginap di rumah ini lagi ya? Kami pasti kehilanganmu."
Dijemput ya? Selama dua belas tahun, Ayah tidak pernah mendatangi panti untuk sekedar bertemu denganku. Cukup mustahil jika tiba-tiba Ayah bertamu di rumah ini, "Ayah udah menikah lagi. Aku nggak yakin Ayah masih mau tinggal bersama denganku."
Saat Bu Indri mengatakan Ayah ingin tinggal bersamaku, aku sangat senang. Tapi aku juga tahu ini tidaklah bisa dilakukan dengan mudah. Setelah menikah, Ayah memiliki anak lagi. Aku yang tidak pernah menemui Ayah selama dua belas tahun pasti telah menjadi orang asing untuknya.
"Jangan pasang wajah sedih karena ayahmu belum menemuimu deh. Mungkin aja dia masih sibuk kerja, atau seperti yang sudah dikatakan oleh Bu Indri, dia merasa bersalah untuk menemuimu jadi perlu menyiapkan diri terlebih dulu."
Leo menepuk bahuku seolah ingin memberi semangat, "Dia pasti akan menemuimu. Jika nggak datang, Rio nggak perlu sedih, sekarang kan kamu udah punya keluarga yang sangat menyayangimu."
Aku beralih menatap Mama dan Papa yang duduk di hadapanku, mereka langsung tersenyum saat tatapan kami bertemu.
Sebenarnya agak menyedihkan jika sampai tidak mengetahui wajah orang tua kandung sendiri, tapi mengingat saat ini ada keluarga yang sayang padaku, aku bisa kembali merasa bahagia karena sudah memiliki mereka.
Walau aku ingin sekali bertemu dengan Ayah, aku juga tidak boleh menyia-nyiakan kasih sayang yang diberikan oleh Mama dan Papa.
♔
Sesuai yang kemarin Papa minta, hari ini aku membawa dua kardus yang berisi barang-barang sumbangan ke panti asuhan Taruma Jaya.
Untunglah Mama sedang mengantar Leo ke dokter dan Papa tidak berada di rumah, jadi meski harus naik motor dengan membawa dua kotak kardus tidak akan mendapat protes. Tadi Bibi Erni hanya sedikit khawatir saja, tapi akhirnya aku justru dibantu mengikat kardus-kardus ini di jok belakang motor.
Setelah memberikan sumbangan ke pihak panti, aku langsung diseret oleh beberapa anak panti yang sudah kukenal ke suatu ruangan. Mereka memintaku membantu mengajarkan pelajaran yang tidak dapat dimengerti.
Pada dasarnya mengajari orang lain adalah hal yang sering sekali kulakukan. Mulai dari yang mudah seperti mengajari membaca dan berhitung, sampai membantu belajar orang yang sepantaran denganku. Mereka selalu mengatakan aku berbakat menjadi guru karena penjelasan yang kuberikan mudah dimengerti.
Jika bisa melihat senyum di wajah orang lain karena merasa senang dibantu olehku, pekerjaan guru mungkin tidak buruk juga.
"Sepertinya kau sering datang ke sini ya? Anak-anak mudah sekali membaur denganmu."
Tubuhku tersentak mendengar suara seseorang dari arah belakang. Dengan bingung aku menengok untuk melihat siapa yang baru bicara, "Franda."
Perempuan yang memiliki rambut panjang ini duduk di sampingku, "Aku nggak nyangka Leo bisa mengajari anak kecil dengan sangat mudah begini."
Pandanganku langsung beralih ke arah lain. Kenapa aku memanggil namanya sih? Jelas saja dia langsung salah mengenaliku sebagai Leo.
Franda kan teman sekelas Leo. Mungkin aku pernah sekali melakukan interaksi dengannya, tapi entah apa yang Leo lakukan setelahnya.
Apa mereka dekat? Aku tidak bisa asal bersikap cuek padanya, tapi bersikap sok akrab juga bukan pilihan tepat.
Ck! Aku harus membiasakan diri untuk tidak menyebutkan nama orang yang dikenal Leo walau dia mengajak bicara seperti ini. Sekarang aku jadi terjebak di situasi yang membingungkan karena kesalahan sendiri.
Sudahlah... lebih baik cari bahan obrolan yang kutahu saja daripada pusing tidak jelas, "Aku pernah beberapa kali ke sini. Lalu Franda sendiri?"
"Aku? Rumahku dekat sini, jadi terkadang suka main ke sini."
Pandanganku beralih menatap kamera SLR yang sedang digunakan oleh Franda untuk memfoto. Aku pernah nyaris membuat jatuh benda mahal ini.
"Oh ya, sepertinya aku berhutang permintaan maaf ya? Waktu itu aku lagi buru-buru bangat sampai berlarian di lorong sekolah," ucapku yang masih ingat kejadian ketika ingin mengakhiri peranku sebagai Leo.
Karena mau kabur dari Pak Rahmat, secara refleks aku berlarian di lorong sekolah sampai menabrak Franda. Tabrakan yang cukup keras itu membuat Franda tidak sengaja melepaskan kamera yang dipegangnya, dan dengan refleks yang bagus aku bisa menangkap tali kamera sebelum sempat terjatuh ke lantai.
Sungguh situasi yang membuat panik, sudah begitu juga tidak diketahui oleh Leo pula.
"Nggak apa-apa kok, aku justru yang mesti berterima kasih karena Leo menangkap kamera yang kujatuhkan."
Aku yang salah di sini, kenapa aku justru mendapat ucapan terima kasih? Padahal jika aku tidak menabrak Franda, kejadian menegangkan itu tak mungkin terjadi.
Yah, yang jelas aku sangat bersyukur memiliki refleks yang terbilang bagus sampai dapat membuat Leo terhindar dari masalah, "Franda, bisa tolong jangan bahas pertemuan kita ini nggak?"
Terlihat jelas Franda kebingungan walau akhirnya mengangguk setuju, "Ini jadi rahasia lagi?"
Apa maksudnya 'lagi'? Aku kan cuma belum menemukan cara menjelaskan pertemuan ini pada Leo, "Nggak, maksudnya tolong jangan dibahas-bahas lagi aja jika nantinya kita ngobrol begini."
"Oh, nggak mau dibicarakan lagi? Baiklah, aku ngerti."
"Dan jangan sampai foto ini tersebar. Aku nggak suka ada yang beranggapan kalau aku ingin memamerkan hal baik yang kulakukan," kataku sambil menunjuk kamera milik Franda yang sedang menunjukkan fotoku yang tadi sedang mengajari anak-anak panti.
Franda ikut melihat ke arah kamera yang sedang dipegangnya, "Padahal hasilnya bagus loh. Apa mau kukasih mentahannya aja?"
"Tidak," membicarakan pertemuan ini pada Leo saja kularang, mana mungkin aku membiarkan Franda melakukan semacam interaksi dengan Leo sebelum tahu bagaimana menjelaskan mengenai pertemuan ini.
"Mas, ajari aku soal ini doang. Aku sama sekali tidak mengerti."
Saat salah satu anak bicara, aku langsung memfokuskan perhatianku padanya. Lebih baik kembali mengajari mereka saja, jika terus mengobrol dengan Franda, bisa-bisa aku membuat salah paham ini menjadi hal yang merepotkan ke depannya.