Meski sudah tinggal di satu rumah yang sama dan setuju untuk bertukar identitas, tapi Leo dan Rio belum banyak mengobrol agar bisa jauh lebih mengenal satu sama lain.
Memang ada banyak topik bersifat pribadi yang dapat dibahas, tapi kali ini mereka justru membicarakan tentang apa yang sudah terjadi hari ini.
"Selain Dewi yang mendekatiku, nggak ada kejadian khusus yang tadi terjadi."
Leo menghela napas. Padahal dia setuju dengan saran Rio untuk tidak berurusan dengan Dewi agar terhindar dari seorang kakak kelas yang bermasalah, bahkan dia juga telah mencoba dan menunjukkan penolakan, tapi ternyata belum berhasil ya? "Dia belum menyerah ya?"
"Ya, makanya kamu lebih berhati-hati, siapa tahu kakak kelas yang melabrakku juga melakukan hal yang sama padamu. Lalu kau sendiri tadi gimana?"
"Nggak ada kejadian khusus. Tadi aku cuma berkenalan dengan Bagas yang jadi teman sebangkumu, banyak cewek yang tertarik padamu gara-gara Papa. Walau aku udah mengenal semua teman sekelas dari absensi, tapi aku berhasil menghindari banyak pertanyaan tanpa dicurigai sedikit pun."
Rio ikut menghela napas, Leo mungkin berhasil menghindar, tapi ini justru membuatnya harus mempelajari dari awal semua hal tentang sekolah barunya, "Ini jadi yang pertama dan terakhir ya? Aku nggak mau melakukannya lagi."
Leo mengangguk senang, "Yang penting aku bisa merasakan apa yang cuma bisa dilakukan oleh sepasang saudara kembar. Mulai besok Mama dan Papa bahkan nggak mungkin salah mengenali kita."
Rio menatap Leo yang duduk di sampingnya dengan bingung, "Kenapa yakin sekali? Tadi pagi aja mereka nggak sadar kita bertukar."
"Aku biasanya selalu pakai kalung salib, mulai besok aku mau memakainya lagi. Ini bisa sekalian dijadikan pembeda kan?"
Sangat mustahil Rio memakai barang yang sama, jadi ini bisa menjadi pembeda yang cepat disadari oleh orang lain, "Ah, tapi tetap berbahaya jika ada orang yang salah mengenali kita."
Tadi saat Leo sampai duluan di panti asuhan Kasih Mulia, semua penghuninya salah mengenali Leo sebagai Rio. Dan saat Rio juga sudah datang, anak-anak penghuni panti semakin heboh karena kakak mereka tiba-tiba ada dua.
Walau sedikit kesulitan memberi penjelasan, akhirnya Leo dan Rio sekarang dapat duduk tenang di sofa yang berada di ruang depan panti, "Wajar sih sampai ada yang salah kenal, selama kita memakai pakaian lengkap begini, kita terlalu sama."
"Jika nggak sampai menimbulkan masalah besar, aku juga nggak keberatan ada yang salah menegur kita."
"Ah, kebetulan ada Rio di sini, ada yang mau Ibu bicarakan," salah seorang ibu panti bernama Indri yang baru saja keluar dari salah satu ruangan berjalan mendekati Leo dan Rio.
Rio mengangkat tangan kanannya, mengkonfirmasi dia orang yang mau diajak bicara, "Ada apa, Bu?"
Indri yang sudah duduk di sofa di hadapan mereka menatap ke arah Rio dengan ragu, "Kemarin ayahmu datang ke sini."
Leo terbengong mendengar ucapan ini, sedangkan Rio langsung menunjukkan wajah antusias, "Ayah datang ke sini? Datang langsung?"
Indri mengangguk dengan ragu, "Kemarin malam Ibu sendiri yang menemuinya."
"Orang tua Rio masih hidup?" tanya Leo yang baru mengetahui hal ini.
"Ayahnya masih hidup. Karena masalah ekonomi, Beliau menitipkan Rio di sini. Dan setelah bertahun-tahun, ini pertama kali Beliau datang lagi secara langsung."
"Lalu apa yang Ayah katakan?"
Indri terlihat semakin canggung mendengar pertanyaan yang Rio berikan, "Sebenarnya sulit mengatakan ini padamu, apalagi ada Leo di sini."
Leo menunjuk diri sendiri dengan bingung, "Apa hubungannya denganku?"
Rio menatap Leo sesaat sebelum kembali menatap Indri lagi, "Tolong katakan, Bu. Aku ingin mengetahuinya."
Indri menghela napas sejenak, "Jadi ayahmu selama ini bekerja di Kalimantan, karena terkendala jarak yang jauh, Beliau pun cuma bisa mengirimu barang atau uang tanpa bisa datang secara langsung."
Mendengar berita ini, Rio tidak bisa menahan senyum leganya, "Jadi itu alasannya ya?"
"Sepertinya ayahmu mendapat pekerjaan di sini lagi dan Beliau memutuskan untuk tinggal di Jakarta."
Leo mengangguk paham, "Sepertinya ayah Rio tipe pekerja keras ya?"
Indri tersenyum mendengar komentar Leo, "Dan kedatangan Beliau ke sini untuk memintamu tinggal bersama dengannya."
"Apa?" bukan hanya Rio, Leo juga terlihat sama terkejutnya.
"Ibu mengatakan jika Pak Albert yang sekarang bertanggung jawab padamu. Beliau terlihat cukup panik karena namamu sudah sejak lahir tercantum di kartu keluarganya."
"Eh? Namaku ada di kartu keluarga Ayah?" tanya Rio yang sama sekali tidak mengetahui tentang ini.
Indri terlihat bingung, "Loh, Rio tidak tahu? Ayahmu kan menitipkan fotocopy akta lahir dan kartu keluarga di panti untuk menjadi syarat kamu agar bisa masuk sekolah dengan mudah. Sekarang dua dokumen itu sudah dipegang Pak Albert."
Rio terdiam karena terlalu bingung. Jika memang namanya berada di kartu keluarga milik sang ayah, berarti dia tidak bisa sembarangan diadopsi kan? Lalu kenapa beberapa ibu pengurus panti ingin dia mendapat keluarga yang mau mengadopsinya? Bukannya akan bermasalah jika namanya berada di dua kartu keluarga yang berbeda?
Indri berdehem sejenak untuk mengembalikan topik obrolan, "Meski sempat panik, Beliau juga merasa senang Rio sudah mendapatkan keluarga yang sayang padanya."
Walau memiliki keluarga, tapi tidak secara hukum. Jika mau, ayahnya mempunyai kewenangan lebih besar untuk kembali mengambil hak asuh Rio. Mendengar semua fakta ini, Leo hanya mampu menatap perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Rio tanpa dapat mengucapkan apapun.
"Kupikir Ayah selama ini tidak mau aku mengganggu kehidupan barunya, tapi ternyata..," Rio menggigit bibir bawahnya sambil menunduk.
"Apa yang kau pikirkan sih? Rio benar-benar mirip dengan ayahmu deh, bahkan pemikiran kalian juga sama. Beliau berpikir Rio mungkin membencinya karena sudah menitipkanmu di panti asuhan."
"Aku tak pernah berpikir seperti itu kok."
"Makanya Ibu mengatakan kamu dan ayahmu begitu mirip," ucap Indri sambil tersenyum.
Leo memalingkan pandangannya agar berhenti terus menatap Rio, "Apa Rio mau tinggal bersama ayah kandungmu?"
Rio terdiam sebentar karena masih merasa tidak percaya, "Aku belum tahu."
"Ah ya, ayah Rio juga menanyakan alamat. Jika Rio terkejut dengan berita ini, berarti kamu belum bertemu dengannya ya?"
Rio sama sekali tidak tahu seperti apa wajah sang ayah, yang ia tahu hanyalah nama Rizal Kurniawan. Nama milik sang ayah.
"Ibu sudah memberikan foto Rio sih. Tapi melihat kemiripan kalian berdua, Ibu harap Beliau tidak salah mengenali Rio."
Dengan gerakan cepat Rio menatap ke arah Leo, "Apa Leo pernah menemui laki-laki yang nggak kau kenal?"
"Apa ayah Rio mirip dengan Papa?" bukannya menjawab pertanyaan Rio, Leo justru mengajukan pertanyaan baru.
"Walau kalian sangat amat mirip, ayah kalian berdua terlihat sangat berbeda."
Leo mengangguk paham, "Aku nggak pernah bertemu dengan orang sepantaran Papa yang salah mengenaliku atau semacamnya."
Rio menghela napas dengan kecewa, meski sudah diberi alamat, ayahnya tidak langsung datang ya? Memang sang ayah datang ke panti baru kemarin sore, hanya saja Rio sangat berharap bisa bertemu secepatnya.
"Apa ayah Rio tidak meninggalkan nomor telepon atau semacamnya?" tanya Leo dengan penasaran saat dua orang yang bersamanya mendadak diam.
"Tidak, dan maaf Ibu juga tidak sempat mengambil fotonya karena juga terkejut dengan kedatangannya yang mendadak."
"Ayah sangat misterius, bahkan ibu-ibu panti yang dulu pernah bertemu dengannya nggak bisa menceritakan banyak hal tentangnya," Rio menambahkan ucapan Indri dengan nada pasrah.
Leo menatap Rio karena mengerti sesuatu, "Sangat mirip denganmu ya? Rio kemarin nggak membiarkanku bertanya mengenaimu, akhirnya aku cuma bisa menebak-nebak sifatmu aja."
Rio memalingkan wajah ke arah lain, sadar ucapkan Leo sangatlah benar, "Aku nggak punya sifat baik yang bisa dibicarakan, dan aku nggak ingin Leo tahu bagaimana kebiasaan buruk yang kumiliki."
"Ah, yang suka memegang pisau saat sedang marah ya?"
Leo langsung menatap ke arah Indri yang baru bicara, "Rio melakukan apa?"
Indri menahan tawa melihat Rio yang memberi isyarat agar tidak menjelaskan kebiasaan buruknya, "Rio punya pekerjaan sampingan untuk memotong daging di pasar, dia melakukan pekerjaan ini saat tidak bisa melampiaskan rasa marahnya pada orang lain."
Terdengar mengerikan ya melampiaskan rasa kesal dengan cara memotong-motong daging? Tubuh Leo bahkan langsung bergidik ngeri saat berhasil membayangkan hal itu.
Rio memasang wajah cemberut, "Jangan diberitahu dong, Bu."
"Tidak apa-apa kan? Wajah Leo kan sangat mirip denganmu, ini bisa sedikit membantunya jika ada preman yang mengganggu saat mau datang ke panti."
"Oh, benar juga, Leo nggak dapat masalah sepanjang perjalanan menuju panti kan?" seolah diingatkan hal yang cukup penting, Rio menatap Leo dengan cemas.
Dahi Leo mengerut tidak mengerti, rasanya perjalanan yang dilalui dari sekolah sampai panti asuhan lancar-lancar saja, "Ah, setelah beberapa meter hampir sampai panti, kayaknya aku menarik perhatian deh."
"Cuma menarik perhatian aja?"
Leo mengangguk, "Ada apa emangnya?"
Rio menatap mata Leo secara langsung untuk menunjukkan keseriusannya, "Jika ada orang yang salah mengenali lalu memberikanmu makanan, minuman, ataupun barang titipan, jangan terima! Udah nggak ada penyelundupan narkoba lagi sih di daerah ini, tapi lebih baik menghindar. Oh, dan jika bertemu preman yang mencoba mengejek, memprovokasi, dan menghinamu, jangan sampai tersulut emosi. Mereka justru takut jika nggak diberi respon apa-apa."
Leo semakin menunjukkan ekspresi tidak mengerti, kenapa tiba-tiba membahas mengenai penyelundupan narkoba? "Aku sama sekali nggak ngerti."
"Nggak usah ngerti, di luar panti terlalu banyak tindakan kejahatan yang bahkan membuat anggota kepolisian kerepotan. Jangan sampai Leo terlibat masalah. Lo harus berpura-pura jadi gue biar aman."
Kok gaya bicara yang Rio pakai berubah? Dan tatapan mengancam yang Rio berikan juga terasa sangat mengintimidasi. Leo sungguh tak menyangka orang yang memiliki wajah yang mirip dengannya bisa bersikap seperti ini.
Mengerti dengan rasa bingung yang Leo tunjukkan, Indri menghela napas, "Rio... kamu sekarang berada di panti, bicaralah yang sopan. Dan saat ini yang sedang kau hadapi bukanlah para anak berandalan, jadi jangan mengancamnya."
Wajah Rio seketika berubah menjadi panik, "Ma- maaf, aku terbawa suasana. Maaf jika aku membuatmu merasa tidak nyaman."
"Ternyata kau punya sifat seperti ini ya? Aku nggak ngerti kenapa Rio justru diam aja saat mendapat masalah waktu berpura-pura menjadiku."
"Tentang kakak kelas yang melabrakku? Emosiku sebenarnya udah tersulut, tapi aku nggak mau mencari masalah saat menjadi dirimu."
Rio terlalu memikirkan risiko yang dapat Leo terima setelahnya ya? Padahal Leo juga bukan tipe yang diam saja saat ada orang yang melabraknya, "Tapi jangan malah diam aja dong. Aku tuh minimal bakal melawan dengan kata-kata jika berada di posisimu. Kalau terlihat terlalu lemah, yang ada tuh kakak kelas malah nyari masalah lagi."
"Ughh... maaf. Aku cuma nggak mau kelepasan lalu membuat Mama dan Papa cemas."
Leo memijit pelipisnya yang terasa pusing, sifat baik yang Rio miliki sungguh membuat lelah, "Aku nggak peduli jika orang lain memberikan image buruk padaku karena apa yang Rio lakukan. Jadi silakan lakukan apapun yang kau suka, karena aku juga akan melakukan apapun yang kuinginkan."
Wajah Rio dan Leo sudah seperti saudara kembar identik, ke depannya mereka harus terbiasa jika sampai terlibat masalah yang diakibatkan oleh salah satu dari mereka.
"Kuharap apapun masalah yang nanti datang nggak akan buat kita bertengkar," harap Rio dengan nada sungguh-sungguh.
"Nggak, aku justru berharap sebaliknya. Yang namanya saudara pasti bisa mempertengkarkan hal yang sangat remeh sekalipun."
Yang dikatakan Leo ada benarnya, tapi Rio lebih berharap hubungan persaudaraan ini terus terjalin tanpa ada sedikit pun pertengkaran yang terjadi.