✧R✧
Aku menatap panti asuhan Kasih Mulia sambil tersenyum puas. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding dengan bisa pulang ke rumah sendiri.
Walau tadi sempat ada drama dulu karena tidak memiliki ongkos untuk sampai sini, tapi dengan mendapat pekerjaan dadakan akhirnya aku bisa pulang juga.
Cukup sulit sih mencari orang yang membutuhkan bantuan lalu mau mempekerjakanku yang masih memakai baju seragam SMA, tapi dengan berpura-pura habis kecopetan dan tidak punya ongkos pulang, ada pemilik toko galon yang merasa kasihan kemudian mengizinkanku bekerja.
Dan karena diminta bekerja sampai toko tutup, aku baru sampai sini saat jam delapan malam. Padahal letak SMA Tirta Bangsa dan panti asuhan sama-sama berada di daerah Jakarta Timur, bahkan dua tempat itu cuma dipisahkan dengan jarak kurang dari 15 km.
Setelah sadar dengan perbedaan jarak yang memisahkanku dan Leo, terasa lucu karena selama ini kami tidak pernah bertemu di suatu tempat secara kebetulan.
Oke, abaikan. Aku sudah tidak memiliki urusan dengan Leo lagi, jadi jangan dipikirkan. Yang penting sekarang aku bisa kembali ke kehidupanku sendiri. Padahal baru dua minggu tidak berada di sini, tapi aku benar-benar merindukan suasana panti.
"Aku pulang." setelah membuka pintu masuk panti, aku melihat ada Bu Indri yang kebetulan berada di ruang tamu, "Loh, Rio? Kok kamu ada di sini?"
Tanpa memedulikan wajah kebingungan Bu Indri, aku berjalan masuk, "Iya, Bu. Aku udah menyelesaikan perjanjiannya, jadi sekarang aku bisa pulang."
Bu Indri masih terlihat bingung melihatku yang saat ini sudah berdiri di hadapannya, "Ibu pikir kamu akan diadop–"
"Aku kangen bangat sama anak-anak deh. Mereka udah pada tidur belum ya?" aku melangkah memasuki ruangan lain. Dengan sengaja menolak mendengar kata adopsi.
Aku sekedar diberi tugas untuk menggantikan posisi Leo, jadi tidak mungkin diadopsi. Aku tidak boleh berharap bisa diadopsi oleh keluarga itu.
"Mas Rio!"
"Mas ke mana aja selama ini? Aku kangen."
"Mas Rio kok pergi lama tidak bilang-bilang sih sama kita?"
Setelah masuk kesalah satu kamar, semua anak yang awalnya ingin tidur langsung berlarian mendekatiku.
Aku memeluk mereka satu per satu sambil terus mendengar rengekan dan protesan yang terus dilakukan. Rasanya sudah lama sekali tidak berada di suasana heboh seperti ini.
"Baiklah, bagaimana kalau Mas bacain buku dongeng untuk menjadi pengantar tidur kalian?" melihat mereka semua menyetujui ideku, aku mengambil sebuah buku cerita dan membacanya.
Setelah selesai membaca, aku menunggu dan memperhatikan sampai mereka semua memejamkan mata dan terlelap tidur.
Rasanya benar-benar berbeda ya? Dua minggu kemarin aku tidur sendirian di kamar yang sangat luas, dan kini aku kembali berbagi kamar dengan anak-anak panti. Kehidupanku saat menjadi Leo seperti mimpi saja.
"Apa mereka sudah tidur?"
Mataku berpaling menatap ke arah pintu, ada Bu Indri yang baru saja bertanya, "Iya."
"Ya sudah, lebih baik Rio juga tidur. Kamu pasti lelah kan?"
Aku menunduk dengan gelisah, "Apa Ibu tidak mau bertanya sesuatu padaku?"
Bu Indri adalah satu-satunya ibu panti yang tahu dan juga mengizinkanku membuat kesepakatan dengan Bu Laila dan Pak Albert. Walau tadi sempat menghindar, aku merasa wajib memberi penjelasan pada Bu Indri.
"Kamu pasti sudah melewati hari yang berat kan? Lebih baik Rio istirahat saja, besok kamu bisa bercerita pada Ibu."
Melihat Bu Indri yang sedang tersenyum, aku mengangguk patuh. Tubuhku memang terasa sangat lelah dan butuh istirahat, penjelasan untuk Bu Indri masih bisa ditunda dulu.
Besok aku pasti menceritakan semua hal yang sudah kulakukan selama dua minggu ini. Bagaimana sulitnya berpura-pura menjadi orang lain, rasanya bisa bersekolah, memiliki teman, dan juga rasa senang saat memiliki orang tua.
✧L✧
Si Rio itu apa-apaan sih? Kenapa mendadak pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun padaku dulu?
Dia merasa bersalah? Jika berada di posisi yang sama, aku juga pasti memilih menghindar sih setelah mendapat sikap kasar sambil dituduh sembarangan. Tapi apa tidak bisa minimal dia meluruskan kesalahpahaman yang membuatku marah padanya?
Aku mengacak rambutku dengan gusar. Rio membuat pusing, dan semakin memusingkan lagi karena aku tidak mengerti pelajaran yang diajarkan guru di kelas.
Padahal hari Sabtu dan Minggu telah kuhabiskan untuk mempelajari buku pelajaran yang Rio tinggalkan, tapi ketertinggalanku yang absen selama tiga minggu membuat sulit mengikuti pelajaran.
Kamu harus bertanggung jawab dengan mengajariku belajar, Rio!
"Ke kantin yuk, Leo!"
Pandanganku mengarah ke Daniel. Dia sama sekali tidak sadar ya dua minggu kemarin bukan aku yang duduk di sampingnya? "Nggak ah, aku mau di kelas aja."
"Oh ya udah, kalau gitu kami tinggal ya?" tanyanya sambil menunjuk Andre dan Fahri yang sedang berjalan keluar dari kelas.
Setelah memberi anggukan, aku langsung melipat kedua lengan di atas meja lalu membenamkan wajah di sana. Kenapa aku tidak mengikuti saran Mama saja sih? Padahal aku belum siap masuk sekolah lagi.
Memang diary Rio telah banyak membantu, sudah begitu tidak ada satu orang pun yang curiga. Tapi, aku ternyata masih membutuhkan waktu untuk kembali beraktivitas secara normal.
Andai Rio tidak kabur dan lebih memilih membantu dengan memberi saran caranya menjalani kehidupanku setelah dipinjamnya selama dua minggu, aku pasti takkan sepusing ini.
Merasa ada yang sedang mencolek lenganku, mau tidak mau aku membenarkan posisi dudukku untuk melihat siapa yang mengganggu.
Franda Aqilasari. Salah satu teman sekelas yang tidak pernah sekalipun berinteraksi denganku, dan aku tahu Rio juga tidak melakukan interaksi dengannya karena memilih menghindari lawan jenis, "Kenapa?"
Franda duduk di kursi di hadapanku yang ditinggal pemiliknya pergi, "Jumat kemarin kamu kenapa sih? Kok buru-buru bangat."
Apa yang dilakukan Rio memangnya? Kenapa dikatakan buru-buru dan membuat Franda sampai bertanya padaku begini?
Jumat kemarin kan menjadi satu-satunya hari yang dilalui Rio tanpa membuat catatan untuk memberi tahuku mengenai semua hal yang dilaluinya. Sekarang bagaimana aku tahu tentang yang Rio lakukan?
Meski belum paham maksud pertanyaan Franda, aku tetap merespon ucapannya, "Apa iya? Kamu salah lihat kali."
"Kita tuh sampai tabrakan di lorong gara-gara kamu berlarian, mana mungkin aku salah."
Salah ya jawaban yang kuberikan? Lalu sekarang bagaimana? Mencoba alasan lain? Sebelum sempat memilih alasan untuk diberikan, Franda memajukan posisi duduknya sedikit ke arahku, "Kamu juga melompati pagar belakang sekolah kan?"
Ya ampun, Rio, tidak bisa lebih santai sedikit apa? Mau kabur dari Pak Rahmat saja lebay bangat sih. Kenapa coba pakai acara memanjat pagar sekolah kalau bisa memilih bersembunyi di ruang kelas yang kosong? Atau minimal waspadalah sedikit agar tidak tertangkap basah orang lain, "Tolong lupakan semua yang kau lihat Jumat kemarin."
"Tapi kan–"
"Ada hal mendesak bangat soalnya. Biarkan ini jadi rahasia kita berdua aja ya? Bisa?" dengan sengaja aku memotong ucapan Franda, takut dia membuatku semakin kesulitan mencari alasan lagi.
Ini cukup membuatku sampai berkeringat dingin. Sulit dipercaya Rio juga telah dulu melalui semua ini.
"Baiklah, kalau gitu jawab pertanyaan awalku aja, kenapa kamu sangat terburu-buru?"
"Ah, ada yang-..." mendengar hpku mendadak berbunyi, aku langsung berhenti bicara dan lebih mementingkan menjawab telepon dari Papa, "halo?"
"Sekarang Leo sedang jam istirahat ya?"
"Iya, emang kenapa, Pa?" ingin memiliki privasi agar dapat bicara secara leluasa, aku bangkit dari posisi duduk dan berjalan keluar dari kelas.
Tidak masalah Franda kutinggal sebentar, masih ada kesempatan lain untuk menjawab rasa penasarannya.
"Rabu besok kan tanggal merah, kamu mau Papa pertemukan dengan Rio?"
Aku menahan diri agar tidak berjingkrak senang. Akhirnya aku diperbolehkan untuk bertemu dengan Rio juga! "Mau dong, Pa. Aku kan udah minta ketemu sejak dia kabur dari rumah, tapi Papa dan Mama malah ngelarang."
"Leo tahu sendiri kan Mama sangat cemas? Dia bahkan melarangmu datang ke sekolah untuk memastikan keadaanmu telah baik-baik saja."
Tentu saja tahu. Sabtu pagi kan aku kembali dibawa ke rumah sakit untuk dicek kesehatan lagi, "Iya, iya, maaf udah kabur dari rumah sakit. Habis aku kan mau buat kejutan."
"Kalian ternyata memang tidak ada bedanya. Dasar."
Aku tersenyum, mengerti 'kalian' yang dimaksud adalah aku dan Rio. Kami memang sama karena sudah melakukan aksi kabur di hari Jumat, walau di tempat dan dengan alasan yang berbeda, "Pa, bagaimana pendapat Papa mengenai Rio?"
"Dia anak yang baik. Sesuai janji, Papa pasti akan membiayai sekolahnya agar masa depannya terjamin."
Kepalaku menunduk sambil menatap sepatu sneakers yang sedang kukenakan.
Mama telah bercerita banyak padaku. Mengenai Rio yang selalu sungkan, sering menghabiskan waktu di kamar, berlebihan ketika ingin melakukan sesuatu, sangat penurut, mudah khawatir, dan juga tentangnya yang tidak memiliki orang tua.
Memiliki orang tua yang sibuk bekerja saja sering membuatku merasa kesepian, pasti lebih berat lagi ya jika sudah tak memilikinya?
Genggamanku pada hp semakin mengencang seiring dengan emosiku yang juga semakin menguat, "Papa nggak mau mengadopsinya?"
"Diadopsi?"
Kepalaku mengangguk untuk mengiyakan, "Papa tahu kan aku sangat ingin punya adik? Tapi karena Papa dan Mama terlalu sibuk bekerja, lalu aku juga nggak bisa memilih meski udah beberapa kali main ke panti, kenapa nggak menjadikan Rio sebagai saudaraku aja?"
"Leo mau?"
Rio mengatakan ingin menjadi temanku. Awalnya aku juga setuju untuk mau berteman dengannya, tapi setelah mengetahui tentang Rio yang tinggal di panti asuhan karena sudah tidak memiliki orang tua, keinginanku pun berubah.
Dibanding sekedar menjadi teman, kenapa tidak sekalian menjadikannya saudara saja?
Papa dan Mama yang sudah tinggal bersama Rio pasti mulai menyayanginya kan? Aku senang kalau Rio lah yang nanti menjadi saudaraku.
Lagian kapan lagi mendadak memiliki saudara kembar? Dibanding adik, punya saudara yang seumuran pasti lebih menarik. Tapi itu cuma pendapatku saja sih, "Apa permintaanku terlalu egois?"
"Tidak, Papa justru senang kamu yang memintanya duluan. Mama juga pasti senang mengetahui hal ini."
Hore! Akhirnya aku bisa punya saudara juga!
Dengan susah payah aku menahan segala macam tindakan berlebihan untuk meluapkan rasa senangku.
Sekarang tuh sedang jam istirahat, sudah begitu lorong sekolah juga cukup ramai dilewati siswa-siswi lain. Jangan terlalu lebar deh menunjukkan cengirannya. Mereka bisa menganggapku aneh atau gila.
"Jadi hari Rabu ya kita perginya? Papa kabari Mama dulu ya?"
Kepalaku mengangguk dengan antusias sebelum mematikan sambungan telepon.
Rasanya tidak sabar menunggu hari Rabu.