"Rio, ada tamu untukmu."
Kegiatanku yang sedang membereskan kamar terhenti untuk menatap Bu Mega dengan bingung, "Tamu?"
"Iya, mereka menunggumu di ruang tamu. Lebih baik kamu temui mereka, tidak enak membuat menunggu terlalu lama."
Siapa yang mau menemuiku jam sembilan pagi begini? Selama ini memang sering ada orang-orang yang bertamu dengan niat ingin membuatku mengajari mereka pelajaran sekolah. Tapi mereka tidak pernah kerajinan dengan datang sepagi ini.
Dan lagi Bu Mega sampai mau repot-repot memanggilku, kemungkinan besar ini bukanlah tamu langgananku, "Siapa tamunya, Bu?"
"Seorang bapak-bapak dan anaknya."
Aku langsung berjalan mendekati Bu Mega dengan antusias, "Apa Ayah yang datang? Dia mau menemuiku?"
"Bukan ayahmu yang datang."
Melihat ekspresi bersalah yang ditunjukkan Bu Mega membuat semangatku seketika menyusut. Kenapa aku masih berharap bisa menemui ayah kandungku sih? Ayah sudah bahagia dengan keluarga barunya. Aku tidak boleh berharap Ayah mau menemui dan mengajakku tinggal bersamanya.
Bu Mega mengelus punggungku dengan lembut, "Mungkin orang ini juga merupakan tamu penting untukmu, lebih baik temui dulu ya?"
Jika bukan ayah kandungku, siapa lagi yang mau bertemu denganku? Tidak ada tamu yang lebih penting dan mendadak selain Ay–
"Ah, anak yang ikut ke sini memiliki wajah yang mirip denganmu."
"Apa?" aku langsung menatap Bu Mega dengan terkejut.
Bu Mega mengangguk, "Sangat mirip sampai membuat Ibu bingung melihatnya."
Aku langsung keluar dari kamar dan berlari menuju ruang tamu. Langkahku terhenti saat melihat keberadaan dua orang yang sedang duduk di ruang tamu. Ternyata benar. Papa dan Leo.
Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan? Aku sudah kabur tanpa meninggalkan pesan apapun, bahkan aku juga sudah membuat mereka sempat bersitegang. Tapi jika tidak memilih pergi sekalipun, aku tetap sudah membuat masalah pada mereka.
Seharusnya aku tidak perlu melakukan perjanjian itu. Sejak awal mestinya kutolak saja. Kenapa aku mau menerimanya sih? Dasar bodoh!
"Ternyata benar-benar mirip ya?"
Aku terlonjak kaget dan langsung mundur dua langkah saat menyadari Leo sedang berdiri di hadapanku. Dia terlihat begitu serius menatap wajahku, "Pa, dia bukan saudara kembarku?"
"Untuk apa Papa menitipkan anak di panti asuhan jika masih bisa mengurusnya?"
"Tapi wajahnya mirip bangat dengan wajahku, bahkan namanya juga mirip. Justru aneh kalau sekedar kebetulan aja."
Aku menunduk untuk menghindari tatapan Leo yang sedang memperhatikanku, "Leo nggak marah padaku?"
"Marah? Mama dan Papa udah menjelaskan semuanya padaku kok. Lalu kamu juga meninggalkan sebuah buku catatan kan? Rasa marahku benar-benar hilang setelah membaca semua tulisanmu yang begitu detail. Terutama tulisan yang ada di halaman belakang."
Selama menjadi Leo, aku sengaja membuat semacam diary yang menjelaskan tentang semua kegiatan yang kulakukan. Aku mencatat dengan begitu rinci tanpa melupakan detail kecil apapun agar Leo bisa kembali menjalani hari-harinya dengan normal tanpa merasa kebingungan.
"Sini kalian duduk dulu, tidak enak kan mengobrol sambil berdiri seperti itu?"
"Ayo, Rio, jangan diam aja," Leo menarik tanganku untuk berjalan mendekati ruang tamu. Melihat Leo yang mengambil posisi duduk di samping Pak Albert, aku memilih duduk di sofa yang berada di hadapan mereka.
Dengan gugup aku memainkan jari-jari tanganku sebelum bicara, "Maaf udah kabur dari rumah."
Pak Albert tersenyum, "Tidak apa-apa, Papa mengerti kenapa Rio memilih kembali ke sini. Kamu sudah memikirkan untuk tidak memperburuk suasana karena kepulangan Leo yang tiba-tiba kan?"
Aku mengangguk. Karena Leo belum tahu mengenaiku, aku takut Leo marah berlebihan pada orang tuanya. Jadi aku memutuskan membiarkan mereka menyelesaikan masalah tanpa melibatkanku.
"Jadi aku yang salah? Kan aku cuma mau memberi kejutan pada Mama dan Papa karena udah sembuh."
"Dokter sempat melarangmu pulang kan. Tapi kamu justru mengancam mau kabur kalau tidak dibiarkan pulang."
Aku sweatdrop mendengar ucapan Pak Albert. Pantas saja aku sering gagal menjadi Leo di depan orang tuanya, ternyata sifat Leo sungguh unik begini ya?
"Aku kan ingin cepat pulang, jadi aku minta dokter melakukan pemeriksaan dengan cepat."
Pak Albert menghela napas sambil memegang kepalanya, "Padahal dua minggu kemarin Papa memiliki anak yang begitu penurut, tidak bisakah Leo sedikit mencontoh Rio?"
"Aku kan belum mengenal Rio, Pa. Bagaimana aku bisa mencontohnya coba?"
"Anu, kenapa Pak Albert datang ke sini?" merasa harus melerai perdebatan ayah-anak ini, aku menanyakan hal yang membuatku penasaran sejak awal.
Pak Albert kembali menatapku, "Ada hal serius yang ingin kubicarakan denganmu."
Secara refleks aku membenarkan posisi dudukku, apa ini pembicaraan yang sangat penting sampai Leo ikut datang juga?
"Aku ingin Rio menjadi saudaraku."
"Apa?" tapi sebelum Pak Albert kembali bicara, ucapan Leo sudah dulu membuatku keheranan.
"Aku meminta pada Mama dan Papa untuk mengadopsimu. Apa Rio mau?"
Di... adopsi? Aku tidak salah dengar kan? Leo benar-benar mengatakan kata adopsi kan? Aku beralih menatap Pak Albert karena terlalu merasa bingung.
Pak Albert mengangguk untuk menjawab rasa terkejutku, "Sebenarnya sejak awal aku dan Laila berniat mengadopsimu jika Leo setuju. Tapi Leo justru mengatakan duluan ingin menjadikanmu sebagai saudaranya."
"Sejak awal sudah berniat mengadopsiku?" tanyaku dengan nada tidak percaya. Tentu saja aku terkejut karena baru mengetahui hal ini. Kan perjanjian awalnya hanya ingin membiayai sekolah, tidak sampai mau mengadopsi segala.
"Dari dulu Leo sangat ingin memiliki saudara. Tapi walau sudah beberapa kali mendatangi panti asuhan, tidak ada satu pun anak yang pernah dipilih olehnya. Jadi saat kami menemukanmu, kami merasa Rio adalah sosok yang cocok untuk menjadi saudara Leo."
Leo tersenyum saat tatapanku mengarah padanya, "Iya, dibanding punya adik, aku jauh lebih senang jika bisa punya saudara kembar."
Selama dua minggu terakhir, aku sangat senang bisa merasakan memiliki orang tua, pasti semakin seru jika mendapat seorang saudara juga. Tapi kalau sampai diadopsi...
"Maaf, tapi aku harus menolaknya."
Aku memiliki ayah kandung yang masih hidup. Ayah bahkan dulu masih sempat membiayai sekolah seolah ingin mencegahku agar tidak pergi dari panti asuhan. Dan aku juga tahu Ayah sekedar menitipkanku, tidak meninggalkanku di panti. Karena itu aku merasa masih sangat terikat untuk tetap berada di sini.
"Ini ke dua kalinya Rio menolak diadopsi ya? Kamu benar-benar tidak berubah. Tapi kali ini aku tahu cara membujukmu agar mau menerimanya."
"Ke dua kali?" aku dan Leo langsung saling menatap saat secara kebetulan kami menanyakan hal yang sama.
"Dua minggu yang lalu bukanlah pertama kali Papa bertemu dengan Rio, tapi abaikan dulu masa lalunya, sekarang kita masih harus membicarakan tentang adopsi."
Mau berapa kali pun mencoba membujuk, aku tetap sulit menerima untuk diadopsi. Panti asuhan Kasih Mulia sudah menjadi rumahku sendiri. Aku belum siap meninggalkan tempat ini.
"Karena sudah dibesarkan di sini selama lima belas tahun, pasti Rio sulit kan meninggalkan panti? Meski sudah diadopsi, kamu masih boleh datang atau menginap di sini kok. Rio bebas melakukan apapun yang diinginkan, kami tidak akan mengekangmu."
Aku menatap Pak Albert dengan pandangan terkejut karena apa yang sedang kupikirkan seolah bisa terbaca olehnya.
Pak Albert tersenyum melihat reaksi yang kutunjukkan, "Jadi bagaimana? Apa Rio mau kembali memanggilku dengan sebutan 'Papa'?"
Pandanganku berpaling menatap Leo yang terlihat begitu antusias menunggu jawaban yang kuberikan. Jika Leo juga sudah setuju dan memperbolehkannya, aku sangat ingin memiliki keluarga lagi tanpa harus menunggu Ayah yang belum tentu menjemput untuk mengajak tinggal bersama dengannya, "Aku mau."