Chereads / COUPLE WORLD FOR 'JOMLO' / Chapter 31 - CWFJ 31 : Perkara Kecil

Chapter 31 - CWFJ 31 : Perkara Kecil

"Bisa nggak sih mulut jangan asal ngejeplak aja kayak jebakan tikus!!" Ujar Nea sangat kesal namun sama sekali tidak menggunakan suara keras. Ia berbicara penuh tekanan namun pelan dan sarkas serta menatap Dina dengan melotot.

Dina meringis dan hanya bisa malu sendiri karena semua Teller dan Arumi sang admin utama juga menatap ke arahnya.

Kemudian Nea menyuruh Dina duduk kembali di kursi kerjanya. Dan di detik berikutnya suasana kantor menjadi hening kembali. Hanya terdengar suara benda dipindahkan, kertas nota yang keluar dari mesin printer, dan juga suara lembaran dokumen yang bergesekan.

Nea masih melayangkan tatapan maut pada Dina sambil menyelesaikan tugasnya menutup amplop berisi surat pengunduran diri tersebut.

Lalu amplop itu ia masukkan ke dalam laci pertama meja kerjanya. Dan Nea kembali menoleh pada Dina.

Benar saja, ternyata Dina masih menatapnya dengan tatapan terkejut. Lalu Nea mengisyaratkan kode dengan menaruh jari telunjuk kanannya ke depan bibir. Itu tanda menyuruh Dina agar gadis itu tidak speak up ke staf yang lain.

Dan Dina menganggukkan kepalanya saja. Mungkin ia akan mendesak Nea berbicara ketika jam lembur nanti di mana hanya ada mereka berdua dan Arumi sampai malam hari.

"Mbak Ney, bisa minta tolong kerjain salah satu invoice dari nomor ini?" Tanya Kevin yang tiba-tiba datang ke meja Nea.

Tentu saja Nea langsung mengernyitkan dahinya dan mendongak menatap Kevin dengan wajah memberengut.

"Aku kan customer service, Vin. Harusnya kamu arahin ini ke Arumi dong." Kata Nea.

"Yah.. udah. Mbak Arumi malah nyuruh suruh bawa ini ke Mbak Nea. Aku belum bisa ngerjain yang begini. Mbak Arumi lagi ada telpon dari Direktur Bank."

Nea mendenguskan napasnya. "Ke Gilang aja deh. Dia kan juga jago bikin invoice. Sepuluh menit lagi customer bank udah dibolehin masuk. Kamu mau aku kewalahan sambil ngurus antrian?"

"Yah.. Mas Gilang aja lagi ke dalam ruangannya Pak Rudi mbak. Tuh.. dia gak ada di tempat."

Nea sedikit mendongak melihat bagian tempat beberapa Teller. Ternyata Gilang benar-benar tidak ada di sana.

"Emangnya ini buru-buru?" Tanya Nea.

Kevin mengangguk. "Iya. Ditungguin informasinya sama pusat."

"Barter deh. Gimana?"

"Maksudnya apa mbak?"

Nea mendecakkan lidahnya pelan. "Customer kan agak jarang menuju ke teller. Pasti lebih banyak yang menuju ke customer service. Gimana kalau kamu duduk di sini, dan aku nempatin tempat kamu di meja teller. Aku gak bisa dong kalau disuruh seenaknya gini sambil ngurusin. customer yang dateng. Bikin invoice tuh gak boleh ada yang keliru." Omel Nea.

Masa bodoh saja. Nea kini lebih berani ceplas-ceplos dan berhak menolak apa yang tidak ia inginkan.

Dina yang mendengar percakapan mereka berdua itu hanya bisa diam. Kini ia tahu apa alasan Nea menjadi sedikit ketus, kurang ramah, dan seperti banyak pikiran. Ternyata ada surat pengunduran diri di balik sikap Nea yang berubah.

Sedangkan kini Kevin pasrah saja. Ia tidak memiliki pilihan lain selain barter sejenak dengan Nea. Itu semua demi invoice yang harus segera jadi. Lagi pula Kevin sedikit handal dalam melayani customer sebagai customer service.

***

"Mit, Gilang ke mana?" Tanya Nea pelan. Ia sudah berdiri menghadap komputer Kevin.

Tempat para teller memang selalu berdiri dan di situ ada tiga teller. Gilang, Kevin, dan Mita. Tempat Kevin memang berada di tengah, lebih tepatnya teller nomor 2.

Mita tersenyum dan menoleh ke kiri. "Ke ruangan Pak Rudi, Ney."

"Oh, berarti bener." Balas Nea.

"Maksudnya?" Tanya Mita penasaran.

Nea terkekeh. "Nggak. Aku kira Kevin bohong. Ternyata Gilang beneran lagi ada di ruangan pak bos toh.."

"Haha iya.. tuh anak sering banget komunikasi sama Pak Rudi akhir-akhir ini. Mana mukanya suntuk banget."

"Oh ya?" Tanya Nea yang pura-pura tak tahu. Padahal ia sudah dua kali mendengarkan pembicaraan Gilang dengan Pak Rudi.

Mita mengangguk. "Kamu ngapain nempatin punya Kevin? Barter kalian?"

"Iya. Paling setengah jam an kalau sistemnya gak lemot. Biasa.. Kevin mana bisa ngerjain invoice. Arumi yang gak bisa handle ini. Gilang ke ruangannya Pak Rudi. Kenapa gak kamu aja sih Mit?"

"Hehehe.. sorry ya Ney. Lihat nih. Aku sendiri pun juga sibuk sama inputan aku yang masih belum kelar dari kemarin. Ini aku cicil aja karena kan hari ini hari Kamis. Jumlah customer di hari Kamis kan traficnya gak tinggi. Bisa longgaran dikit aku cicil sekarang."

"Enak yaa.. aku nanti mulai lembur. Closingan sama Dina."

"Oh ya? Mau dianterin makan malem gak?" Tawar Mita. Mita memang baik hati, ramah, dan tidak sombong.

Mita sudah dua tahun menikah namun belum memiliki momongan. Ia pun juga tidak ada niat menunda. Dan suaminya juga hobi lembur closingan di tanggal akhir bulan seperti ini.

Dan Mita itu sangat baik sekali. Rumahnya memang sangat dekat dengan kantor bank dan dia hobi memasak.

Tentu saja ketika ditawari hal itu, raut wajah Nea langsung berubah drastis menjadi semangat. Nea mengangguk antusias dan Mita terkekeh. "Ya tentu mau dong Mit. Beneran?"

"Iya beneran lah. Nanti aku anterin dua porsi buat kamu sama Dina jam tujuh malem aku ke sini. Tapi jangan request ya. Sesuai menu yang aku masakin aja."

"Eh, iya lah. Masa udah dibaikin dan dianterin tinggal makan harus request menu lain. Ya gak lah Mit. By the way, thanks ya sebelumnya."

Mita terkekeh. "Santai aja."

***

Tepat empat puluh menit, Nea selesai mengerjakan satu invoice tersebut. Ternyata memang sedikit rumit dan sistem jaringan bank bagian invoice memang sedikit lemot. Dan Nea lumayan pegal berdiri terus.

Dan saat itu hendak pergi meninggalkan area teller dan ingin kembali menuju meja kerjanya, Gilang masuk dari pintu yang hendak Nea lewati.

Kedua sempat bersitatap sebentar dan Gilang hanya tersenyum tipis pada Nea.

Namun Nea memberanikan diri untuk bertanya. "Gilang, udah selesai dari ruangan Pak Rudi?"

"Ah, iya. Udah kok."

"Pak Rudi nggak ada rencana keluar kantor kan? Soalnya aku mau ke ruangannya. Tanya aja sih ke kamu, biar gak nyariin beliau pas sampe ruangannya." Ujar Nea.

Gilang tersenyum lebih santai. "Masuk aja. Pak Rudi gak ada planning ke luar kantor kok. Dia di dalem."

"Ah, oke. Thanks ya Lang." Ucap Nea ramah.

Gilang mengangguk dan menatap Nea sekali lagi. Sudah lama ia tidka berbicara dengan Nea selama berhari-hari. Lebih tepatnya, setelah Nea menolak perasaannya secara halus pada hari itu.

Dan kini Gilang semakin merasa galau saja. Ia tidak akan lama lagi berada atau bekerja sebagai teller di kantor cabang bank tersebut. Dan meskipun Gilang tidak bisa memiliki Nea, ia sebenarnya masih ingin melihat Nea setiap hari. Namun keinginan Papanya yang membuatnya harus berhenti lebih cepat dari pekerjaan itu.

*****