"Apa ini maksudmu Nea? Kok tiba-tiba kasih saya surat pengunduran diri? Kamu yakin?" Tanya Pak Rudi setelah membuka surat pengunduran diri dari Nea.
Nea menganggukkan kepalanya. "Iya Pak. Saya ingin mengundurkan diri dua hari lagi setelah saya selesai mengerjakan masa closing."
Pak Rudi mengangguk paham. "Seharusnya ini ada peraturan baru, Nea. Namun peraturan baru itu memang belum saya umumkan. Peraturan baru itu tentang masa resign. Dan seharusnya setelah kamu menyerahkan surat ini di hari ini, berarti kamu baru bisa meninggalkan kantor ini bulan depan. Karena sebagai jarak agar pegawai baru bisa kamu training terlebih dahulu. Peraturan baru ini baru diturunkan sekitar lima hari yang lalu."
"Ah, lalu saya bagaimana pak?"
"Apa rencana pekerjaanmu itu bisa ditunda dulu selama satu bulan?"
Tentu saja hal itu tidak bisa. Nea tidak bisa menunda waktu lagi dan kesempatan bekerja sama dengan David bisa-bisa gagal.
Lagi pula Nea sudah lelah dan ingin mengistirahatkan dirinya serta berlibur sejenak. Tidak mungkin ia bisa berada di kantor bank ini selama satu bulan lagi. Nea tidak mampu melakukan hal itu.
"Maaf Pak Rudi, kebetulan kan saya tidak tahu mengenai turunnya peraturan baru tersebut. Saya rasa saya tidak bisa melakukan hal itu." Kata Nea pelan.
"Baiklah kalau begitu. Saya rasa saya bisa mengandalkan Kevin untuk menggantikan posisimu sementara saat belum ada pegawai baru."
"Jadi, surat pengunduran diri saya diterima pak?"
Pak Rudi mengangguk. "Iya. Entah apa yang membuatmu resign dan rencana apa kedepannya yang akan kamu lakukan, saya harap kamu semakin sukses Nea. Terima kasih sudah banyak membantu kantor ini selama dua tahun lebih empat bulan. Kamu termasuk karyawan yang sangat teliti, cekatan, dan mudah memahami banyak hal. Sukses untuk kamu di luar sana." Kata Pak Rudi dengan bijak.
Nea mengangguk dan tersenyum. Ia hampir saja menangis karena terharu Pak Rudi berucap seperti itu.
Kemudian mereka berdua bersalaman. Dan Pak Rudi menepuk pelan bahu kiri Nea sambil terkekeh.
"Terima kasih juga Pak. Saya senang bisa memiliki pengalaman kerja di sini. Saya minta kabar ini jangan disebarkan dulu kepada rekan-rekan kerja. Sabtu ketika pulang kerja saja saya akan langsung berpamitan pada mereka." Kata Nea.
"Ah, ya ya..saya paham."
"Kalau begitu saya kembali ke meja saya ya Pak. Terima kasih atas pengertiannya."
"Sama-sama Nea."
Gadis itu keluar dari ruangan Pak Rudi. Langkah kaki Nea melambat melewati lorong yang menuju ke kantor inti. Ia tidak menangis, melainkan tersenyum lega.
Hal yang Nea sayangkan saat melakukan pengunduran diri seperti ini adalah circle pertemanan dengan rekan kerja yang sudah ia bangun. Akrab bersama Dina, Arumi, Kevin, Mita, dan Gilang. Bagi Nea, mereka semua bukan hanya sekedar teman kantor, namun keluarga kedua setelah rumah.
Nea juga pasti akan merindukan rasa yang disebut 'lelah'. Pastinya setelah ia resmi membuka dirinya sebagai owner atau pemilik kafe itu tenaganya tidak akan ia gunakan untuk extra bekerja seperti sekarang. Nea pasti nantinya juga akan merindukan kesibukan seperti ini demi mendapatkan gaji bulanan yang terasa manis.
Ia juga pasti akan merindukan bau kertas, dokumen, bunyi printer dan telepon manual yang bersautan, dan juga rindu melayani customer bank yang memiliki sifat dan sikap yang berbeda-beda. Ia juga akan rindu merasakan pantatnya mati rasa akibat duduk sangat lama demi melayani customer bank hingga sore hari.
Nea akan merindukan semua hal dari kantor bank itu.
Gadis itu kembali duduk di kursi kerjanya. Kevin sudah kembali lagi ke bagian Teller. Dan Nea langsung menarik senyum manisnya. Mulutnya kembali meneriaki nomor antrian customer satu per satu dengan nada suara yang kembali ramah seperti biasanya.
Sedangkan Dina terlihat lebih lesu dari biasanya. Gadis itu sesekali mencebikkan bibirnya dan menoleh pada Nea.
***
Lembur closingan hari pertama membuat Nea bersemangat mengerjakan semua data input, membuat invoice, dan lainnya. Gerakan sepuluh jarinya menarik dengan cepat di atas keyboard itu.
Dina sangat tertegun mengapa Nea berniat sekali menyelesai semua pekerjaan lembur dengan mengebut seperti itu.
Suasana kantor sudah sepi dan sekarang sudah pukul tujuh malam. Dan sejak tadi sore Nea belum meninggalkan kursi kerjanya sama sekali. Nea benar-benar ingin merampas habis tugas lemburan closing itu hingga tersisa sedikit dan besok bisa pulang tepat waktu.
Sebenarnya bisa saja Nea besok lembur lagi, namun dirinya harus segera bertemu dengan David dan meresmikan kontrak kerjasama mereka.
Jadi, kini Nea mau tak mau harus bisa menyelesaikan 80 persen pekerjaan lemburnya. Agar besok ia tidak perlu lembur dan segera pamit mengundurkan diri. Ya. Berarti lembur closingan hari ini adalah lembur terakhirnya. Dan Nea sangat menikmati pantatnya yang mati rasa sekarang ini.
"Ney.." panggil Dina.
"Hm?"
"Dari tadi fokus mulu dan ngebut banget. Kenapa sih? Ntar kan kita bisa pulang bareng pake taksi jam sembilan malam."
"Gak bisa Din. Aku perlu istirahat. Mungkin aku akan pulang satu jam lagi."
"Lah?? Ney kok gitu sih! Aku sendirian dong." Rengek Dina.
Nea menoleh dan menghembuskan napas panjangnya. Sepuluh jarinya berhenti mengetik. "Din, kan ada Arumi juga."
"Ya tapi tetep aja sepi Ney. Bayangin aja aku di sini sendirian. Gak ada para Teller. Arumi kan punya ruangan sendiri."
"Jangan manja deh Din. Kamu itu udah umur segitu. Ruangan kantor juga terang benderang. Lembur mau berapa lama kan hak masing-masing Din. Sekaliiiii ini aja ya jangan paksa aku."
Mendengar perkataan Nea, Dina terdiam. Wajahnya terlihat serius. "Kenapa resign sih Ney? Kok dadakan banget."
Nea tersenyum. "Ada hal yang lebih penting dari ini, Din."
"Apa?"
"Nanti kamu juga tahu sendiri." Ujar Nea dengan tersenyum dan kembali fokus pada layar komputer.
Baru saja Dina membuka mulutnya lagi untuk berbicara, namun ada suara lain yang menginterupsi mereka berdua.
"Halooooo.. spadaaa.. makan malam dataanngg." Teriak Mita dengan ramah sambil membawa tiga kotak bekal. "Sesuai janji nih jam tujuh malem." Imbuhnya.
Nea menyengir senang dan langsung menerima satu kotak bekal dari Mita.
Sedangkan Dina berwajah datar dan menerima bekal makanan dari Mita dengan mengucapkam terima kasih secara pelan.
"Kenapa Din? Kok mukamu kayak gitu? Putus dari pacar?" Tanya Mita. Wanita itu memang memiliki sifat humble dan bicara lebih bebas namun maksudnya bercanda.
Dina menggelengkan kepalanya dan menatap Nea.
Sedangkan Mita mengikuti arah pandang Dina. "Kenapa sama Nea?" Tanya Mita.
"Gapapa kok Mit. Itu Dina lagi galau aja. Abis sembelit." Ujar Nea sembarangan.
Otomatis saja Mita menyemburkan gelak tawanya. "Hahahaha ada-ada aja. Kirain ada apa. Ya udah aku masuk ke ruangan Arumi dulu sambil bincang-bincang."
Nea mengangguk. "Iya Mit.."
Nea hendak menyantap makanan dari Mita, namun ia menoleh pada Dina lagi. Dina masih menatap dengan tatapan marah.
"Kenapa sih Din? Jangan kayak anak kecil. Makan!!" Tegas Nea. Padahal sebenarnya Nea juga sangat sedih, namun kondisi sekarang bukan waktunya untuk menangis tersedu-sedu sambil berpelukan.
"Ney, yang bener aja sih??! Batalin napa Ney!"
"Gak bisa. Udah bulat. Dan tolong itu mulut dijaga jangan sampai kesebar dulu." Ujar Nea pura-pura ketus.
"Emang kamu kapan sih hari terakhirnya?"
Nea tersenyum dan mengedikkan kedua bahunya. "Ntar juga tahu..hehehe. Makan Dinaaa.. keburu dingin masakannya Mita. Enak loh!" Ucap Nea. Ia memang terus berusaha membujuk Dina agar membicarakan hal yang lain.
Padahal saat ini perasaan Dina sangat sedih sekali. Kehilangan teman kerja yang sudah cocok memang sangatlah berat dan kurang rela.
*****