Di part ini, ada adegan kekerasan. Bagi yang tidak suka, silahkan tekan tombol back.
Happy new year, and happy reading guys...
**
Bryan mengusap pelan surai lembut milik Sasya, gadis itu sudah tertidur pulas. Mungkin karena pengaruh obat juga. Perlahan dirinya mendekatkan wajah, mencuri sedikit ciuman tak masalah kan?
Bryan memagut bibir itu, bibir yang menjadi candu baginya. Ia memejamkan mata, menikmati ciuman sepihaknya sebelum teringat ia mempunyai jadwal dengan Farrel.
Terpaksa, Bryan melepas ciumannya.
Dengan hati-hati Bryan menggantikan posisi dirinya dengan guling, ia menyelimuti Sasya.
Sebelum benar-benar pergi, Bryan mengusap pipi gadis itu dan mengecupnya mesra.
"Saya mau hukum iblis betina dulu, kamu tenang aja saya bakal balik secepatnya."
Detik itu juga, Bryan keluar dari kamar. Ia sudah menyuruh Gladys untuk menjaga Sasya.
Langkah kakinya menuju ruang bawah tanah, dimana Farrel berada.
"Boss.." sapa Farrel ketika Bryan sudah masuk ke ruangan yang telah tersedia. Khusus.
"Hukuman dari mu kurang memuaskan Farrel." Bukannya menyapa balik, Bryan malah mencibir.
Farrel menunduk meminta maaf,
Bryan menatap keseluruhan tubuh Sharon, memang dipenuhi memar. Tapi Bryan merasa masih ada yang kurang.
Tangannya terulur menggapai sebuah kotak diatas lemari kecil diruangan itu. Membukanya, Bryan mengambil salah satu benda disana.
Cutter..
Ia mengganti mata pisaunya dengan yang baru, laku berjongkok di depan tubuh Sharon yang terikat.
Tersenyum manis namun dingin disaat bersamaan, Bryan menjambak rambut Sharon tiba-tiba. Membuat sang empu menjerit merasakan tulang lehernya yang sakit.
Tenggorokkannya tercekat, tatapan mata Sharon tertuju pada cutter yang dipegang lelaki itu.
"Kamu tau gak? Kamu itu harus ngebayar mahal buat tebusan dosa yang kamu bikin. Kamu udah ngerusak bidadari saya." Ujar Bryan dingin.
Perlahan tapi pasti, tangannya mengukir ukiran indah di punggung Sharon.
Gadis itu memekik! Saat merasakan ngilu di area punggungnya.
Farrel membuang muka saat sang Boss sudah beraksi. Tak berani menatap kegiatan yang dilakukan atasannya.
Tangan Bryan dengan lincah menguliti punggung Sharon yang belum tersentuh cambukan Farrel. Bryan tak memperdulikan jika kini ia berlumuran darah sekalipun.
"Nyawa di bayar nyawa, luka di bayar luka. Jika kamu merusak bidadari saya lagi. Saya gak akan jamin boneka rusak kayak kamu masih bisa hidup atau engga." Kata Bryan dingin. Tatapannya sangat menusuk.
Tentu saja Bryan belum puas hanya dengan itu. Ia mengambil dua botol cuka, juga 1 kg garam. Membawanya masuk kedalam kamar mandi. Setelahnya Bryan menuangkannya di bath up. Dan mengisi air di bath up tersebut.
"Farrel, bawa dia kesini." Titahnya pada sang asisten.
Farrel menurut, bukannya menggendong. Farrel malah menarik kaki gadis itu menuju kamar mandi, dimana tuannya berada.
"Taruh dia disitu." Tunjuk Bryan pada bathup.
Farrel menurut saja, ia masih sayang nyawa.
Tubuh Sharon di taruh kedalam bathup.
Sharon berteriak keras, tubuhnya yang masih penuh luka baru terasa menyengat saat berendam dengan air garam dan cuka.
"Arrrgghh!!! Sakit!!! Maafkan saya tuan!"
Gadis itu tak berhenti menjerit, memohon agar Bryan mau melepaskannya.
Belum sampai di situ, Bryan memutar kran air panas ke dalam bath up Sharon. Teriakan terdebagar lagi, begitu nyaring. Membuat Bryan mendecak kesal dan tak segan menampar mulut Sharon.
"Ingat pelajaran ini baik-baik jika kau masih selamat nanti."
Mendengus pelan, Bryan menaruh balok es diatas tubuh Sharon.
"Pastikan dia keluar setelah balok esnya benar-benar mencair." Ujarbya sebelum berlalu.
Farrel mengangguk patuh, kemudian pria itu kembali duduk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Mengabaikan keberadaan Sharon yang masih menjalani hukuman dari Bryan.
.
.
Baru saja Bryan berganti baju, akibat cipratan darah Sharon tadi. Sasya sudah terjaga dari tidurnya, padahal ini masih tengah malam.
"Kamu gak bisa tidur?" Tanya Bryan lembut, gadis itu menggeleng lemah.
Bibir Sasya mengerucut, tampak lucu dimata Bryan.
"Aku lapar..." Sasya menggumam.
Bryan mengangguk, "Kamu mau makan apa?"
"Lasagna.... " jawab Sasya cepat. Bryan tersenyum tipis, ia mengacak rambut gadis kecilnya.
"Nanti saya masakin."
"Aku ikut!"
Bryan tampak menimbang sesuatu, sebelum menggendong Sasya keluar dari kamar mereka.
"Bryan aku bisa ja-"
"Kakimu masih bengkak sayang.." potong Bryan cepat.
Pria itu dengan santainya mendudukan Sasya di meja paintry.
Para pelayan yang belum tidur melirik mereka diam-diam. Sedang Sasya yang tak mau ambil pusing mengabaikan keberadaan mereka. Baginya... cukup Bryan seorang. Orang yang selalu bisa ia percaya, orang selalu melindunginya, orang yang sangat peduli terhadapnya.
"Bry..." panggilnya manja. Pria itu mengguman untuk membalas panggilan Sasya.
"Di deket kamu ada buah gak?" Alis Sasya menaik, ia penasaran. Sungguh dirinya sangat kelaparan!
"Ada.. mau sekalian aku kupasin?" Sasya mengangguk dengan antusias. Bryan terkekeh pelan, setelahnya ia memotong apel tersebut menjadi beberapa bagian.
"Nih.." Bryan menaruh mangkuk kecil dipangkuan Sasya. Ia melihat bagaimana gadis itu meraba permukaan mangkuk dan mengambil potongan apel sebelum memakannya.
Tak lama, masakan Bryan pun sudah matang. Pria itu menyajikannya di meja makan. "Kamu beruntung sayang, dapet suami kayak aku." Cetus Bryan tiba-tiba. Hampir saja Sasya tersedak karenanya.
"Maksudmu?" Tanya Sasya pura-pura tak mengerti.
"Ya... kurang apalagi saya? Saya tampan, pintar cari uang. Juga bisa masak. Itu paket komplit kalau kata ibu-ibu jaman sekarang." Ujarnya dengan penuh percaya diri.
Sasya tergelak, tak disangka Bryan memiliki selera humor seperti itu. Memang bukan bualan saja sih, meski Sasya belum tau wajah calon suaminya. Tapi ia yakin, Bryan memang tampan.
"Ya.. memang, keberuntungan tidak selalu memihak kita. Aku memang beruntung ketemu sama kamu." Ucap Sasya jujur.
Kemudian ia mendengar suara letusan kembang api. Ah... seandainya saja ia bisa melihat.
"Happy new year dear.." bisik Bryan tepat ditelinganya.
Sasya tersenyum, "Me too, honey."
Setelahnya mereka berciuman, didapur.
Melupakan tujuan utama mereka datang kemari.