"Hai, Raymond," kata Victoria.
Victoria merasa canggung sekali berkenalan dengan seorang pelanggan. Yang dia ingat adalah karyawan di café tidak boleh menggoda pelanggan. Apa yang baru saja ia lakukan dengan Raymond itu bukan menggoda, bukan? Seharusnya tidak masalah jika ia hanya berkenalan saja.
"Kamu bisa memanggilku, Ray," imbuh Raymond.
"Oke, Ray." Victoria tersenyum canggung sambil mengangguk. "A-aku harus menyerahkan catatan pesananmu ke dapur supaya mereka bisa menyiapkan makananmu."
"Tentu," ucap Raymond sambil mengulaskan senyumannya yang manis.
Harus Victoria akui jika pria itu memang manis. Setelah itu, Victoria berbalik dan berjalan menuju ke dapur. Ia bisa merasakan tatapan Raymond dari balik punggungnya. Semoga saja ia tidak menjadi salah tingkah.
Courtney yang baru saja kembali dari mengantarkan makanan ke pelanggan langsung menghampiri Victoria dan menjerit histeris.
"Kamu berhasil berkencan dengan pria itu!" seru Courtney sambil tersenyum gembira.
Victoria meringis, dia merasa tidak nyaman. "Aku tidak berkencan dengannya. Aku hanya … dia tiba-tiba memberitahu namanya. Itu saja. Aku tidak mungkin berkencan dengan pria yang baru aku kenal. Dia itu orang asing, Courtney."
"Memangnya kenapa? Aku sering kali berkencan dengan pria asing yang baru berkenalan denganku," ujar Courtney dengan bangga.
"Ada apa ribut-ribut?" tanya Mariah.
Courtney mendongak menatap Mariah dan tersenyum lebar. "Vicky mempunyai teman kencan baru."
Mariah terkejut, tapi terlihat senang ketika ia menutup mulutnya yang menganga lebar dengan kedua tangannya. "Oh, ya ampun. Akhirnya …."
"Itu tidak seperti yang kamu pikirkan," ujar Victoria, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau mendengarkan.
"Apakah pria tampan yang sedang duduk di sana itu?" tanya Mariah sambil mengintip dari pintu dapur.
"Yap, betul sekali!" seru Courtney.
"Oh, dia lumayan tampan, Vicky," komentar Mariah. "Lihat bibirnya. Pasti akan terasa lezat jika kamu mencicipinya sedikit saja."
"Tidak!" seru Victoria.
"Ya, pria itu memang tampan," imbuh Courtney. "Namanya … Siapa namanya?"
"Ah, sudahlah, Courtney. Aku tidak ingin—"
"Ayo, beritahu kami, siapa namanya?" desak Mariah.
Victoria mendesah dan akhirnya, menyerah untuk memberitahu teman-temannya. "Namanya Raymond."
"Ah, Raymond." Courtney mengangguk penuh arti.
Victoria hanya bisa memutar bola matanya sambil mendengus.
"Aku akan mendukungmu selalu, Vic," kata Mariah meyakinkannya.
Victoria menggelengkan kepalanya. "Kalian sudah gila."
"Ayolah, Vicky," kata Courtney memberi semangat. "Ini adalah kesempatanmu untuk mendapatkan seorang teman kencan. Hei, aku akan mengajarkanmu."
"Apa? Untuk apa?" Victoria mengangkat kedua bahunya sambil menatap Courtney bingung.
Temannya itu menarik Victoria dan menyuruhnya untuk maju dua langkah ke depan.
"Dengarkan aku," perintah Courtney. "Untuk menggodanya, kamu harus terlihat menarik. Tegakkan tubuhmu! Busungkan dadamu! Tatap matanya sambil berikan senyuman terbaik untuknya." Courtney tersenyum miring menggoda. "Tulis nomor ponselmu di secarik kertas dan berikan itu padanya."
Mariah langsung bergerak cepat. Ia mengambil kertas dan menuliskan nomor ponsel Victoria di sana.
"Hei! Apa yang kamu lakukan?!" seru Victoria. Matanya membelalak kaget pada Mariah. "Jangan pernah melakukannya atau—"
"Atau apa?" tantang Mariah. "Ini demi kebaikanmu sendiri, Victoria."
"Aku merasa baik-baik saja tanpa harus memiliki seorang pacar," ucap Victoria tegas.
"Pesanan meja nomor empat belas sudah siap!" seru Sean sambil mendentingkan bel di meja.
"Oh!" Courtney buru-buru mengambil pan berisi Pallea dan menyimpannya di baki. Ia menyerahkan baki itu pada Victoria dengan sikap khidmat.
"Laksanakan tugasmu, Anakku. Kamu pasti bisa," kata Courtney dengan wajah yang tegang.
Mariah menambahkan kertas berisi nomor teleponnya dan menyelipkannya di tangan Victoria. Ia mengangguk sekilas sambil mengangkat sebelah alisnya dengan sikap dramatis.
Victoria memutar bola matanya. "Yang benar saja."
Ia berjalan menuju ke meja nomor empat belas di mana Raymond sedang duduk, menanti makanannya datang. Pria itu menatap ke arahnya dengan senyumnya yang menawan.
Kali ini, Victoria jadi tidak bisa berhenti memandangi wajah tampan itu. Raymond memang sangat tampan, tapi itu bukan berarti ia berhak untuk berkencan dengan pria itu.
Akhirnya, Victoria menaruh pan berisi Pallea itu di meja. "Selamat menikmati."
"Terima kasih," jawab Raymond dengan sopan.
Sebuah kertas kecil berisi nomor telepon Victoria terjatuh di meja. Raymond memungut kertas itu. "Apa ini?"
Buru-buru, Victoria menarik kertas itu. "Jangan!"
Raymond tampak bingung. Ia mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
"Maafkan aku."
Victoria menyeringai. "Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu. A-aku yang salah. Ini … uhm … ini bukan kertas apa-apa."
Victoria menggigit bibirnya dan kemudian berbalik untuk kembali ke dapur. Ia merasa malu sekali. Bagaimana jika Raymond berpikir bahwa ia adalah gadis yang aneh? Ya, sudah terlanjur terjadi. Ia memang bersikap sangat aneh tadi.
Mariah sedang di balik konter dan membuat kopi, sementara Courtney sedang mencatat pesanan dari pelanggan yang baru datang. Syukurlah, setidaknya teman-temannya itu tidak akan menanyakan tentang progresnya dalam menggoda Raymond.
Itu sama sekali bukan dirinya. Victoria tidak suka menggoda pria. Ia bahkan tidak suka digoda. Baginya, berpacaran bukanlah hal yang penting. Masih ada banyak hal yang harus ia lakukan selain berpacaran.
"Apa yang kamu lakukan, Vic?" tanya Sean. Pria itu membuat Victoria terkejut.
Victoria menegakkan tubuhnya dan kemudian membenahi seragam kerjanya. "Aku baik-baik saja."
Lalu Victoria berjalan ke depan untuk menyambut pelanggan yang baru datang. Ia memperlakukan semua pelanggan seperti biasa, ramah dan sopan, tanpa melihat wajah pelanggannya dengan saksama.
Perasaanya jadi tidak karuan. Ia merasa seperti sedang bekerja di bawah pengawasan mata elang. Dan sang mata elang itu berasal dari meja nomor empat belas.
Sesekali, Victoria melirik ke arah Raymond. Tiba-tiba saja pandangan mata mereka saling berserobok. Jantung Victoria berdebar kencang. Kenapa jadi gugup setiap kali Raymond menatapnya?
Akhirnya, setelah satu jam yang terasa seperti satu abad; Raymond pun telah menghabiskan makanannya. Pria itu langsung berjalan menuju ke kasir untuk membayar.
Victoria memperhatikan saat pria itu selesai membayar dan kemudian keluar dari café tanpa mengucapkan selamat tinggal. Victoria pun mendesah lega. Setidaknya, sang sumber ketegangan telah berlalu.
Courtney langsung menghampirinya. "Bagaimana? Apa kamu berhasil menggodanya?"
"Apa? Aku tidak menggodanya."
"Ayolah! Apa kamu sudah memberikan kertas itu padanya?"
Victoria menautkan alisnya, merasa risih dengan sikap Courtney yang penasaran. "Kertas apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Nomor telepon kamu!" seru Courtney dengan kesal, seolah itu sudah jelas.
"Oh." Victoria mengedikkan bahunya. "Aku tidak jadi memberikan kertas itu padanya."
Courtney mengernyitkan wajahnya. "Kenapa? Itu adalah kesempatan terbaikmu untuk berkenalan lebih lanjut lagi dengannya. Sekarang pria itu sudah pergi. Bagaimana jika kamu tidak akan bertemu lagi dengannya?"
Victoria merasa tidak nyaman karena cecaran Courtney padanya.