Chereads / Baron, The Greatest Animagus (Indonesia) / Chapter 7 - 7. Mengalahkan Para Preman

Chapter 7 - 7. Mengalahkan Para Preman

Setelah memulihkan diri sejenak, pria itu menyeruduk Victoria hingga ia mundur beberapa meter dan kemudian jatuh terjengkang. Punggung Victoria terasa sakit berdenyut-denyut, tapi ia berusaha untuk menahannya.

Pria itu tertawa jahat sambil menunjukkan giginya yang kuning.

Posisi Victoria sekarang sangat dekat dengan sepedanya. Dia segera berdiri dan mengambil telur dari tas belanjaannya. Dengan cepat, Victoria memukul kepala pria itu dengan telur. Seketika, tercium bau amis di udara.

Pria itu geram tiada terkira. Ia menyeka wajahnya dari telur dengan kasar. Hal itu membuat telurnya mengenai matanya. Sudah pasti matanya terasa perih karena sekarang pria itu meringis sambil menggeram.

Victoria memanfaatkan kesempatan itu dengan memberinya tendangan memutar hingga pria itu jatuh. Ia tidak mengerti kenapa ia bisa melakukan tendangan sehebat itu. Ini benar-benar luar biasa.

Kedua preman yang lain menghampirinya dan hendak menyerangnya bersamaan. Ini tidak adil. Salah satu dari mereka membawa pisau sambil menyeringai. Pria satunya lagi bersiap dengan tongkat pemukul kasti.

Si pria besar baru pulih dari serangan telur dan menghalangi jalan di belakangnya.

"Kamu tidak bisa ke mana-mana, cantik," kata pria itu.

Victoria memperhitungkan setiap gerakan mereka. Raymond masih menunduk tak berdaya sambil menahan sakit. Victoria menatapnya dengan ekspresi masam karena ia tidak bisa mengandalkan pria itu.

"Bagaimana jika kita santai sejenak dan tidak usah memakai kekerasan? Aku akan mentraktirmu minum kopi. Hmmm? Apa kamu setuju?" tanya pria yang memegang tongkat pemukul kasti.

"Dalam mimpimu!" seru Victoria.

Ia menyerang pria itu dengan tendangan yang cukup keras di wajahnya. Victoria pun melakukan pukulan siku mengenai dadanya dan kemudian meninjunya hingga pria itu jatuh. Setelah itu, Victoria merebut tongkat kasti itu dan menggunakannya sebagai senjata.

Pria yang memegang pisau mulai beraksi. Ia menyabet pisau itu dengan gerakan yang buruk. Si pria besar menyerangnya dari belakang dan hendak mencekiknya. Victoria mengarahkan tongkat itu ke atas dan memukul kepalanya dengan keras berkali-kali.

Pria itu melonggarkan cengkeraman tangannya; itu kesempatan bagi Victoria itu berbalik dan menghajarnya dengan pukulan yang lebih keras lagi di wajahnya. Akhirnya, dengan sekuat tenaga, Victoria menyodok pria itu dengan ujung tongkat dan menendangnya hingga jatuh pingsan.

Tiba-tiba, sebilah pisau menyayat tangannya. Victoria terkejut sambil berjengit. Tubuhnya terasa semakin panas dan tangannya bergetar hebat.

Ia berbalik untuk mengarahkan tongkat kasti itu ke arah pria itu. Angin berhembus kencang dan menghantam pria itu hingga terlempar beberapa meter ke udara. Pria itu pun terjatuh keras mengenai tempat sampah.

Victoria terperangah melihat apa yang baru saja ia lakukan. Lalu ia menunduk dan melihat telapak tangannya. Ia bersumpah bahwa ia melihat tangannya berwarna hijau tadi, meski hanya selama satu detik. Sekarang warna hijau itu telah menghilang dan tangannya kembali normal.

Preman-preman itu telah jatuh pingsan semua. Victoria melempar tongkat kasti ke tanah dan berlari menghampiri Raymond. Lalu Victoria membantunya untuk berdiri.

"Ayo kita segera pergi dari sini!" perintah Victoria.

Raymond menurut dan mengikuti Victoria. Ia melihat ada memar di pipi Raymond dan hidungnya berdarah. Victoria jadi merasa kasihan pada pria itu.

Lalu Victoria pun membantunya untuk berjalan. Akhirnya, mereka pergi dari sana.

Victoria menggiring sepedanya, sementara itu Raymond berjalan di sampingnya sambil menahan sakit di perutnya.

"Terima kasih ya, Victoria," ujar Raymond.

"Sama-sama, Ray. Apa kamu baik-baik saja? Apa kita perlu pergi ke dokter?"

Raymond tersenyum sambil meringis. "Tidak usah, Victoria. Sepertinya aku baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat."

Victoria mengangguk perlahan sambil meremas pegangan sepeda dengan kedua tangannya yang masih gemetar. Ia masih belum bisa bernapas dengan normal. Saat ini, tenggorokannya terasa haus.

Lalu Raymond bertanya, "Omong-omong, dari mana kamu mempelajari ilmu bela diri? Tadi itu, kamu tampak sangat luar biasa. Aku sungguh tidak menyangka jika kamu berhasil mengalahkan para preman itu."

Victoria mengedikkan bahunya. "Aku tidak tahu. Aku pun tidak menyangka jika aku memiliki kekuatan seperti itu."

Raymond mengangguk perlahan dan tidak lagi menanyakan hal apa-apa lagi padanya.

Mereka kemudian berhenti di sebuah mini market. Raymond membeli dua botol air dingin. Ia menyerahkan satu botol untuk Victoria, dan satu lagi untuknya. Mereka duduk di depan mini market untuk minum dan beristirahat.

"Dengar, aku ingin bertanya padamu, tapi tolong jangan menertawakanku. Aku sungguh penasaran, bagaimana bisa wanita sepertimu mengalahkan para preman itu. Apa kamu pernah terkena radioaktif?" tanya Raymond, membuat Victoria kaget.

"Radioaktif apa? Apa kamu sudah gila?!" seru Victoria sambil menahan tawa, mendengar pertanyaan Raymond.

"Aku kan hanya menebaknya saja. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, ya kan? Apa kamu keturunan Wonder Woman? Black Widow? Hulk?" Raymond tersenyum mendengar ucapannya sendiri yang terakhir.

Victoria ikut tertawa. "Hulk. Ya, kamu benar. Mungkin aku keturunan Hulk. Apa aku terlihat hijau bagimu?"

"Tidak." Raymond tertawa lagi sambil memegangi perutnya yang sakit.

"Apa perutmu terasa sakit?" Victoria menunjuk perutnya.

"Sedikit." Raymond mengangkat jari telunjuk dan jempolnya, membentuk sesuatu yang kecil dari udara.

Victoria memperhatikan wajah Raymond. Tadi siang, pria itu terlihat sangat tampan sempurna. Sekarang, dia terlihat agak berantakan. Meskipun begitu, senyumannya tetap terlihat manis.

"Aku sungguh berterima kasih atas pertolonganmu. Aku tidak tahu apa jadinya jika kamu tidak datang tepat waktu," kata Raymond tulus.

"Jangan berterima kasih padaku. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku menghentikan sepedaku dan menghampirimu. Itu terjadi begitu saja. Seharusnya, aku membiarkanmu di sana."

"Tidak. Kamu tidak akan tega meninggalkanku karena kamu adalah malaikat pelindung yang dikirim Tuhan untukku," kata Raymond, seolah hal itu sudah jelas.

"Kamu bercanda. Aku bukan malaikat. Aku adalah Hulk, ingat?"

Raymond tersenyum manis. Ada sesuatu di matanya yang tidak bisa Victoria pahami. Ada sebuah kekaguman atau ketertarikan yang janggal dan hal itu membuat Victoria jadi canggung.

"Kalau aku boleh tahu, apa yang membuat mereka memukulimu? Apa kamu berutang pada mereka?" tanya Victoria mengalihkan perhatian.

"Aku tidak pernah berutang pada siapa pun," katanya sambil menautkan alisnya.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?"

Raymond mendesah. "Ada seseorang yang tidak menyukaiku di kantor. Aku berhasil membuat program baru dan ia menganggapku curang. Aku mendapatkan bonus yang besar dari managerku. Lalu dia sengaja mengirimkanku preman-preman itu untuk menghajarku hingga babak belur. Dia menginginkan diska lepas itu."

"Lalu bagaimana? Apa mereka berhasil mendapatkan diska lepas itu?"

"Tidak. Aku menyimpannya di tempat yang aman."