Hari ini adalah hari terpanas dalam sepanjang minggu. Victoria bangun tidur dalam keadaan berkeringat. Jam di meja menunjukkan pukul delapan pagi. Cahaya matahari tampak bersinar terang, menembus ke jendela kamarnya.
Victoria memaksakan kakinya untuk berjalan menuju ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, lalu ia membasuh wajahnya dengan air dingin. Rasanya sangat menyegarkan.
Setelah ia gosok gigi dan melakukan semua rutinitasnya di kamar mandi, Victoria berjalan keluar dari kamar mandi. Ia pun mengenakan pakaian yang akan ia kenakan untuk bekerja. Ia telah menyiapkannya sejak tadi malam, menggantung rapi di dekat lemari pakaiannya.
Hari ini ia adalah hari Senin, waktunya bagi Victoria untuk bekerja di Café Exclusion. Nama café yang aneh, bukan? Victoria menduga jika café itu dikhususkan untuk orang-orang yang tidak diterima di tempat lain. Sama halnya seperti Victoria yang hanya diterima bekerja di tempat itu.
Setelah selesai sarapan roti dan minum segelas susu coklat, Victoria berangkat kerja dengan mengendarai sepedanya. Ibunya sudah berangkat kerja sejak tadi subuh. Hampir setiap hari ia jarang melihat ibunya.
Ibunya adalah seorang dokter bedah yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Phoenix. Sudah sekian banyak nyawa yang ibunya selamatkan, tapi tidak pernah sekalipun juga ibunya menyelamatkannya dari kebosanan hidup.
Akhir-akhir ini, Victoria merasa semakin bosan terutama saat ayahnya menghilang saat kecelakaan pesawat. Semua orang berkata bahwa ayahnya pasti sudah meninggal. Namun, Victoria tidak ingin mempercayai hal itu begitu saja.
Pesawat itu memang jatuh ke lautan, tapi bisa saja jika ayahnya selamat dan terdampar di sebuah pulau terpencil. Victoria hanya bisa berdoa dan berharap agar ayahnya selamat dan baik-baik saja.
Kejadian kecelakaan itu sudah berlalu selama empat bulan. Sampai saat ini, ia tidak pernah mendapatkan berita apa pun tentang ayahnya.
Victoria tersenyum hambar. Ibunya pun hingga saat ini tidak ada kabar.
Semoga saja nanti sore saat ia kembali dari tempat kerja, ia bisa melihat ibunya. Terkadang ibunya bisa tiba-tiba mendapatkan telepon dari rumah sakit yang mengharuskannya untuk pergi segera dan melakukan operasi mendadak.
Hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari Victoria dalam menjalani hidup. Meski ia memiliki seorang ibu, tapi hidupnya selalu terasa sepi dan membosankan.
Matahari tampak cerah. Angin berhembus, membuat rambutnya berkibar-kibar. Victoria tiba di tempat kerjanya dalam waktu lima belas menit saja. Ia memarkirkan sepedanya di tempat yang sudah disediakan dan memasang rantai agar sepedanya tidak hilang.
Victoria masuk melalui pintu belakang. Ia menyapa Mariah dan Courtney. Mereka adalah teman kerjanya yang baik. Mariah bertubuh tinggi sekitar seratus tujuh puluh delapan sentimeter. Kulitnya gelap, rambutnya hitam dan ikal, namun hatinya seputih salju.
Berbeda dengan Courtney yang tubuhnya setinggi Victoria. Rambutnya pirang, matanya berwarna abu-abu. Kulitnya tampak kecoklatan dan wajahnya cantik seperti peri di buku dongeng.
Terkadang Victoria merasa tidak percaya diri di depan Courtney. Wanita itu telah mengencani banyak pria dalam hidupnya. Sementara Victoria, tidak ada satu pun pria yang pernah singgah di dalam hatinya.
Victoria bukan termasuk gadis yang akan dilirik oleh laki-laki. Wajahnya biasa saja, rambutnya sewarna dengan jagung. Kulitnya cenderung terlalu putih pucat, padahal ia tinggal di kota terpanas di seluruh Amerika.
Jika memang para pria lebih suka wanita yang berkulit eksotis seperti Courtney, sepertinya Victoria harus ikut berjemur di pantai bersama teman-temannya sesekali.
"Kamu terlalu banyak memilih, Vicky," ujar Courtney, memberinya nasehat.
Ya, apa yang Courtney katakan memang benar. Victoria terlalu banyak memilih pria hingga tidak ada lagi pria yang menarik di hadapannya.
Victoria dan Courtney bertugas sebagai pelayan café, sementara Mariah menjadi bartender. Selain Mariah, ada juga Keith yang jago membuat kopi. Rumor beredar bahwa Mariah dan Keith adalah pasangan kekasih.
Sepertinya itu bukan lagi sekedar gosip. Victoria memang pernah melihat mereka sedang berciuman di taman dekat café. Namun sekarang, mereka berdua bertindak seolah-olah mereka hanya sekedar rekan kerja.
Victoria menghargai keputusan Mariah untuk tetap menjaga hubungan mereka sebagai sebuah rahasia.
Setelah Victoria mengganti pakaiannya dengan seragam kerja, ia pun mengelap meja dan kursi hingga mengkilap. Tiba-tiba, seorang pria masuk ke dalam café. Victoria pun menyambut pria itu.
"Halo, apa kabar? Aku Victoria. Silakan duduk. Mau memesan apa?"
Victoria menyerahkan sebuah buku menu pada pria itu. Kertas pesanan dan bolpen telah siap di tangannya.
Pria itu sedang memilih-milih menu makanan. Sementara itu, Victoria melirik ke arah Courtney yang sedang tersenyum lebar padanya.
"Dia sangat tampan. Ya ampun," bisik Courtney tanpa suara. Victoria hanya membaca gerakan bibirnya saja dan memutar bola matanya.
Sudah menjadi kebiasaan, Victoria tidak pernah memperhatikan wajah pelanggan yang datang ke café. Ia cenderung melihat jenis pakaian dan warnanya. Ia lebih baik fokus mencatat pesanan dan mengantarkan makanan ke meja yang benar.
Setelah satu menit yang cukup lama, Victoria berdeham. "Bolehkah saya membantu Anda memberikan rekomendasi menu di café kami, Pak?"
"Oh. Oke. Tentu saja." Suara pria itu memang enak didengar.
"Kira-kira, Anda suka makan apa untuk siang ini?" tanya Victoria. "Daging sapi, ayam, atau seafood?"
"Bagaimana dengan seafood?"
"Tentu saja. Kami memiliki menu Seafood Paella. Itu adalah kombinasi dari Socarrat. Itu adalah lapisan nasi yang dibakar di bagian bawah wajan. Rasanya garing dan enak sekali. Lalu ada berbagai jenis seafood yang segar, seperti cumi-cumi, udang, kerang, remis, dan chorizo yang diberi bumbu spesial."
"Kedengarnya enak dan rumit," komentar pria itu.
Victoria tersenyum ke arah buku menu. "Bagaimana? Apa Anda mau mencobanya, Pak?"
"Tentu. Aku mau memesan satu porsi Paella." Victoria bisa merasakan bahwa pria itu juga tersenyum kepadanya, hanya saja ia masih tidak terbiasa menatap wajah pelanggan.
"Baik kalau begitu," ujar Victoria ramah. "Apa Anda juga mau memesan minuman, Pak?"
"Aku mau pesan segelas air mineral saja," jawab pria itu.
"Baik," kata Victoria sambil mencatat pesanan di kertas. "Pesanan akan datang dalam dua puluh menit. Sambil menunggu, aku akan memberikan Anda sekeranjang pastri keju."
"Terima kasih," kata pria itu sambil menyerahkan buku menu ke tangan Victoria.
Ia bisa merasakan tatapan pria itu di punggungnya. Akibat ucapan Courtney tadi, Victoria jadi merasa canggung. Lalu ia menggantung kertas pesanan di depan lubang yang terhubung ke dapur dengan jepitan kertas, dan kemudian ia menekan bel.
Courtney menghampirinya. "Kamu benar-benar beruntung sekali hari ini, Vicky."
"Apa yang kamu katakan, Courtney?"
"Pria itu tampan sekali!" seru Courtney. "Aku akan dengan senang hati jika bisa bertukar tempat denganmu. Namun, aku sudah terlalu sering berkencan dengan pria yang lebih keren dari pria itu. Aku tahu kalau kamu tidak berpengalaman di depan seorang pria. Biarkan aku mengajarkanmu."
"Untuk apa?" tanya Victoria sambil menyiapkan keranjang yang diisi dengan pastry keju. "Itu tidak ada gunanya."
"Pria itu tampan sekali, Vicky! Hanya dengan sekali lihat saja, aku bisa menilai kalau kalian akan cocok." Courtney tampak begitu bersemangat menjodohkan pria asing itu dengan Victoria.
"Bagaimana jika pria itu sudah menikah? Atau bagaimana jika dia seorang gay?"
"Kita tidak akan pernah tahu," kata Courtney sambil mengikuti Victoria yang sedang menyediakan air mineral ke dalam sebuah gelas.
"Omong-omong, aku tidak ingin mengetahuinya." Victoria mengakhiri pembicaraannya dengan Courtney sambil tersenyum palsu. Lalu ia berjalan menuju ke meja pria—yang menurut Courtney sangat tampan—dan kemudian menaruh gelas air mineral dan sekeranjang pastry keju.
"Ini dia minuman dan sekeranjang pastry keju," kata Victoria sambil tersenyum ke arah meja.
"Terima kasih, Victoria."
Victoria jadi tergoda untuk melihat wajah pria itu dan ia terkejut sendiri. Ya Tuhan. Pria itu memang tampan. Bibirnya tipis, rambutnya pirang kecoklatan, alisnya begitu tebal, dan matanya berwarna coklat hangat.
Seketika Victoria merasa kehabisan napas. Ia menelan ludah lalu tersenyum tipis. "Sama-sama."
"Omong-omong, namaku Raymond."