Malam itu, Raymond mengantarkan Victoria pulang ke rumahnya. Ibunya sudah pulang lebih dulu. Victoria bisa melihat mobil ibunya diparkir di pekarangan rumah.
"Jadi, rumahmu di sini?" Raymond mengedarkan pandangannya ke rumahnya.
"Yeah." Victoria mengangguk. "Rumahku istanaku."
"Sepertinya menyenangkan tinggal di sini," kata Raymond sambil tersenyum.
Senyuman itu tampak agak menyedihkan karena ada memar di pipinya. Meski begitu, harus Victoria akui bahwa Raymond tetap terlihat tampan.
"Ya. Uhm … apa kamu mau mampir?"
"Aku akan senang sekali jika bisa berkunjung ke rumahmu. Bolehkah?" Raymond tampak senang sekali dan hendak melangkah masuk ke dalam pekarangan rumahnya.
"Tidak," sergah Victoria sambil menahan Raymond dengan tangannya. "Ada ibuku di dalam."
Victoria menggigit bibirnya dengan wajah yang tegang. Ia tidak ingin jika ibunya melihat Raymond karena itu akan menjadi sangat canggung.
"Mungkin tidak hari ini," imbuh Victoria sambil nyengir.
Ia jadi tampak seperti gadis yang plin plan. Padahal sebenarnya ia bermaksud untuk ramah dan sopan, itu hanya sekedar basa-basi.
"Oh, tentu saja. Aku bisa mengunjungimu lain hari, Victoria."
Victoria mendesah lega. Setidaknya, Raymond tidak tersinggung dengan perkataannya barusan. Mendengar Rayomond akan mengunjunginya lagi membuat Victoria jadi merasa seperti yang pria itu mengajaknya berkencan. Ia tertawa kecil. Cara Raymond mengucapkan namanya terdengar begitu seksi.
Victoria mengangguk sambil tersenyum manis. "Oke."
"Sekali lagi, aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu hari ini," kata Raymond dengan tulus. "Semoga tanganmu cepat sembuh." Pria itu menatap sedih ke arah tangan Victoria.
"Sama-sama. Tidak usah mencemaskan tanganku. Aku akan baik-baik saja." Victoria merapatkan jaketnya. Seketika tangannya terasa perih. "Raymond, aku ingin mengingatkanmu sesuatu. Jika kamu merasa ada sesuatu yang aneh di rumahmu atau mungkin ada orang yang mengikutimu, sebaiknya kamu menelepon polisi."
Raymond mengangguk serius. "Ya, kamu benar. Aku akan menelepon polisi jika ada sesuatu yang aneh. Aku harap semuanya baik-baik saja."
Victoria mengangguk. Raymond kemudian mendekat. Senyum Victoria langsung menghilang dari wajahnya. Ia terlalu tegang karena kedekatannya dengan Raymond.
Victoria cukup yakin jika Raymond akan menciumnya. Haruskah ia menerima ciuman itu atau menolaknya?
Pria itu tampak canggung, seolah bingung harus melakukan apa. Kemudian, tiba-tiba Raymond memeluknya. Victoria mendesah lega sambil menepuk punggungnya dua kali. Pelukan itu terasa sangat singkat. Raymond menegakkan dirinya sambil tersenyum dengan canggung.
"Terima kasih, Victoria."
Victoria mengangkat sebelah alisnya. "Kamu tidak bermaksud mengatakan hal itu seratus kali kan?"
"Aku akan mengatakannya ribuan kali seumur hidupku." Raymond mengatakan hal itu sambil menatap mata Victoria dalam.
Victoria menyadari tangannya gemetaran bukan karena sesuatu hal seperti saat ia berhadapan dengan preman. Namun, ini adalah sesuatu hal yang baru. Selama ini Victoria tidak pernah berhadapan dengan seorang pria.
Raymond mengulaskan senyumannya yang manis hingga membuat jantung Victoria berdebar kencang di dadanya. Ia melipat bibirnya malu-malu.
Raymond pun kembali mendekat dan mencium pipi Victoria dengan lembut. Ciuman Raymond membuat otot di pipi dan rahang Victoria berkedut-kedut dan hal itu menjalar hingga ke sekujur tubuhnya. Gawat.
"Rona pipimu cantik sekali." Raymond memujinya.
"A-aku harus masuk ke dalam," kata Victoria sambil menunjuk rumahnya dengan mengedik.
"Tentu. Sampai nanti lagi, Victoria."
"Sampai nanti." Victoria melambai pada Raymond, lalu ia segera masuk ke dalam sebelum mendengar jawaban dari Raymond, tanpa menoleh ke belakang
Setelah ia menyimpan sepedanya di garasi, ia kemudian membawa kantung belanjaannya ke dalam rumah.
"Vicky! Apa itu kamu?" seru ibunya dari dalam rumah.
"Ya, Ma. Siapa lagi?" Victoria menggerutu.
Ibunya berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. "Kenapa kamu pulang malam sekali?"
"Aku … aku tadi habis ke supermarket untuk berbelanja." Victoria memandang ibunya takut-takut sambil menyerahkan kantung belanjaan pada ibunya.
"Oh. Apa kamu membeli telur?"
"Ya dan … tidak. Aku tadi tidak sengaja memecahkannya." Sebenarnya itu sengaja karena Victoria menggunakan telur itu untuk memukul kepala si preman.
"Ya ampun. Sayang sekali."
"Maafkan aku, Ma."
Ibunya mendesah. "Ya sudah. Tidak apa-apa. Sekarang sebaiknya kamu cuci tangan karena aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita."
"Mama masak apa? Hmmm, sepertinya aku mencium sesuatu yang enak."
"Aku membuat steak ayam dan kentang tumbuk. Lalu ada salad juga," kata ibunya ceria sambil mereka berjalan menuju ke ruang makan.
"Wah asyik. Masakan Mama pasti enak sekali."
Ibunya terkekeh. "Kamu ini selalu saja memujiku. Aku harap kamu menyukainya, sayang."
"Tentu saja aku suka masakan Mama."
Victoria mencuci tangan dan kemudian makan bersama ibunya. Steak ayamnya terlalu asin, tapi itu tidak masalah. Ia bisa memadukannya dengan kentang tumbuk yang tidak ada rasanya sama sekali.
Masakan ibunya memang payah, tapi Victoria tidak pernah mengeluh. Ia sangat menyayangi ibunya dan akan selalu selamanya karena hanya ibunya yang ia miliki di dunia ini.
Semenjak ayahnya tiada, Victoria bertekad untuk menjadi seorang anak sekaligus seorang pelindung dan juga penghibur bagi ibunya.
"Bagaimana kerjaanmu hari ini, Vicky?" tanya ibunya sambil mengunyah.
"Ya, biasa-biasa saja," kata Victoria sambil mengaduk kentang di piringnya dengan wajah yang bosan.
Ia tidak berani mengaku pada ibunya tentang hal yang terjadi padanya hari ini. Ibunya tidak tahu jika sebenarnya, Victoria merasa sangat luar biasa.
Ia bertemu pria tampan dan kemudian berubah menjadi Hulk. Ia menghajar para preman untuk menolong pria tampan itu. Terbalik, seharusnya Raymond yang menyelamatkannya. Ini adalah skenario terburuk dalam hidupnya.
Victoria tidak mungkin menceritakan semua itu pada ibunya karena ia takut jika ibunya akan melarangnya untuk bekerja dan pergi ke mana-mana. Semenjak kecelakaan pesawat ayahnya, ibunya sempat mengurung Victoria di rumahnya selama sebulan penuh.
Ibunya tidak ingin Victoria pergi ke mana pun. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya. Padahal ia tidak berniat untuk naik pesawat. Ia terbiasa pergi ke mana-mana dengan sepedanya.
"Siapa pria yang tadi mengantarmu pulang?" tanya ibunya.
Victoria melebarkan matanya. "Dia bukan siapa-siapa."
"Benarkah?" Ibunya tampak tidak mempercayai ucapannya barusan.
Victoria mendesah. "Aku baru saja mengenalnya, Ma."
"Oh, benarkah?" Ibunya tersenyum, namun matanya menatap tajam. "Jadi akhirnya, putriku satu-satunya sudah memiliki teman kencan."
"Tidak!" tukas Victoria keras. "Hubunganku dengannya tidak seperti itu. Aku dan Raymond baru berkenalan tadi siang. Dia adalah pelanggan di tempat kerjaku, Ma. Jadi, aku tidak mungkin—"
"Ya dan kalian pulang sampai malam … Berdua saja. Mama jadi teringat ketika Mama dan papamu berkencan dulu. Ah, itu adalah masa-masa yang sangat menegangkan."
Ibunya menatap ke atas seolah pandangannya menerawang jauh, mengingat kenangan yang indah bersama ayahnya. Victoria mendesah. Ia tidak ingin berdebat dengan ibunya.
"Apa dia pria yang baik? Kamu harus mengenalkannya padaku kapan-kapan."