Victoria mendecak kesal. "Aku tidak tahu, Ma. Aku tidak mengenalnya dengan baik. Lagi pula, kami tidak banyak bicara. Uhm … bagaimana jika kita mendengarkan cerita tentang Mama? Berapa perut yang sudah Mama sayat hari ini?"
"Mama tidak selalu menyayat perut, Vicky."
"Lalu apa? Kepala? Tenggorokan?"
"Kamu membuatku terdengar seperti seorang tukang jagal."
Victoria tertawa. "Tidak apa-apa, Ma. Apa yang Mama lakukan adalah hal yang sangat luar biasa. Mama telah menyelamatkan banyak sekali nyawa manusia. Aku bangga padamu, Ma. Mama adalah ibu terbaik di dunia."
"Terima kasih, Vicky sayang." Ibunya tersenyum lalu memeluknya. Seketika ia mengernyit. "Kamu bau sekali. Selesai makan, sebaiknya kamu mandi."
"Oh, baiklah."
Victoria mengambil sepujut rambut yang terurai di dekat pipinya dan menciumnya, ada sedikit bau keringat dan samar-samar bau amis telur. Ia jadi membayangkan saat Raymond memeluknya. Apa Raymond juga berpikir bahwa ia bau?
Selesai mereka makan, Victoria mencuci piring, sementara ibunya membereskan makanan. Tiba-tiba, Victoria teringat sesuatu yang terjadi pada dirinya tadi siang.
Ia menoleh pada ibunya yang tampak kurus dan ringkih. Tangan ibunya mungkin sangat kuat karena ia adalah seorang dokter bedah. Ibunya terbiasa membelah badan manusia dan memperbaiki kesalahan yang terjadi.
Namun, ibunya tidak tampak seperti yang jago bela diri. Lalu ia teringat pada ayahnya yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan merakit sesuatu benda dan membuat rumah kayu. Ayahnya jelas-jelas bukan tipe super hero yang selama ini Victoria lihat di televisi.
Jadi, mengapa ia bisa melakukan semua itu tadi siang?
"Ma, apa Mama pernah belajar bela diri?" tanya Victoria.
"Apa? Bela diri? Tentu saja tidak." Ibunya menggelengkan kepalanya. "Aku menghabiskan seumur hidupku untuk sekolah dan menjadi seorang dokter bedah. Kenapa? Apa kamu tertarik pada seni bela diri?"
"Tidak juga. Uhm … bagaimana dengan nenek? Apa nenek juga pernah belajar bela diri?" tanya Victoria sambil menggosok piring dengan spons busa. Ia menjaga suaranya agar tidak terdengar terlalu serius.
"Kamu pasti bercanda. Uncle Bruce pernah mempelajari kung fu, tapi itu sudah lama sekali. Kamu tahu bahwa sekarang pamanmu itu perutnya gendut sekali. Dia sudah tidak suka berolahraga lagi."
"Oh, begitu ya." Victoria menganggukkan kepalanya perlahan.
"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan soal bela diri?" tanya ibunya sambil menatapnya curiga.
"Aku hanya penasaran." Victoria mengedikkan bahunya. Ia berusaha terlihat secuek mungkin.
"Apa pria tadi suka bela diri?" tanya ibunya, menggoda Victoria.
"Tidak."
"Apa jangan-jangan kamu bertemu dengannya di sebuah klub bela diri?"
"Tidak. Kenapa Mama bicara seperti itu?"
"Mama hanya menebak saja. Siapa tahu pria bernama Raynold itu adalah seorang petinju atau pelatih karate."
"Namanya adalah Raymond, Ma," ralat Victoria. "Dan dia bukanlah seorang petinju apalagi pelatih karate."
Ibunya terkekeh. "Maafkan Mama. Mama kebetulan teringat akan pasien Mama yang bernama Raynold hari ini. Dia baru saja menjalani fisioterapi setelah melakukan operasi kaki. Tebak siapa yang mengoperasi kakinya?"
"Tentu saja Mama yang melakukannya."
"Bukan! Yang mengoperasi kakinya adalah Aaron."
Ibunya terus berbicara tentang penyakit yang dialami oleh pasiennya itu secara detail dengan berbagai macam istilah kedokteran yang tidak Victoria pahami. Sebagai anak yang baik, ia mendengarkan celoteh ibunya dengan sabar.
Akhirnya, Victoria telah selesai mencuci piring dan waktunya tepat saat ibunya pun selesai bercerita tentang penyakit kanker yang mengerikan. Victoria mematikan keran dan mengelap tangannya dengan handuk.
"Aku mau mandi dulu lalu tidur," kata Victoria sambil berjalan cepat menuju ke tangga.
"Jangan lupa untuk selalu memakai pengaman!" seru ibunya.
"Apa?" Victoria menghentikan langkahnya dan menoleh pada ibunya.
"Aku bilang, jangan lupa untuk mengenakan pengaman. Aku tidak tahu jika ada seseorang yang sedang menunggumu di kamar. Aku tidak bermaksud untuk menuduh. Hanya saja, meski orang itu ada atau tidak, kamu tetap harus berhati-hati. Kamu tidak ingin terkena penyakit seksual atau cepat-cepat hamil kan? Bukan berarti aku tidak menginginkan kehadiran seorang cucu, tapi alangkah lebih baik jika—"
"Ma!" seru Victoria memotong pembicaraan ibunya. "Aku tidak pernah tidur dengan pria mana pun juga!" Victoria mengucapkannya sambil memejamkan mata.
Ia merasa kesal sekaligus malu karena ibunya mengatakan hal itu dengan santai seolah itu adalah sesuatu hal yang lumrah dan biasa saja. Bagi sebagian besar orang, tidur bersama adalah sesuatu hal yang wajar, tapi tidak bagi Victoria.
Ia bertekad untuk melakukannya bersama pria yang benar-benar ia cintai. Jika yang ibunya maksud adalah Raymond, maka ibunya salah besar.
"Dan tidak ada seseorang yang menungguku di kamar. Mama bisa mengeceknnya kalau Mama mau."
"Benarkah?"
"Benar! Mama bisa naik ke kamarku sekarang." Victoria hendak menarik tangan ibunya untuk naik tangga bersama dengannya.
Namun, ibunya menahannya. "Maksudku, apa benar kalau kamu tidak pernah tidur dengan …."
Victoria memutar bola matanya. Ibunya saja tidak percaya jika ia masih perawan. Ia bukan tipe gadis yang sudah bereksplorasi dengan banyak pria. Bahkan bibirnya tidak pernah dicium oleh pria mana pun. Raymond adalah pria pertama yang mencium pipinya.
Namun, bagaimana caranya ia mengaku pada ibunya tentang semua ini. Ini benar-benar memalukan.
"Maafkan Mama," ucap ibunya sambil meringis.
"Sebaiknya aku naik ke atas. Aku mau mandi."
"Baiklah. Selamat malam, Vicky."
"Selamat malam, Ma. Aku sayang Mama. Tolong jangan bicarakan tentang hal itu lagi denganku, oke? Rasanya agak … canggung."
"Baiklah. Aku berjanji tidak akan mengatakan tentang hal itu lagi, kecuali kamu mau membahasnya. Aku akan mendengarkanmu dengan senang hati."
Victoria tersenyum masam. "Baiklah. Dadah."
Victoria segera naik ke tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Lalu ia membuka pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Badannya sudah terasa lengket. Untuk itu ia segera berdiri di bawah pancuran untuk menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya.
Tiba-tiba, ia mengingat dengan jelas segala hal yang terjadi hari ini. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan memukul telak para preman itu.
Victoria menatap kedua telapak tangannya yang tampak normal seperti biasanya. Waktu itu, telapak tangannya menyala berwarna hijau.
Apakah benar ia keturunan Hulk? Ia merasa ada tenaga besar yang tiba-tiba merasuki dirinya. Ia jadi bisa melawan semua preman itu tanpa ada kesulitan sedikit pun.
Namun sekarang, selesai mencuci piring saja membuat tangannya pegal. Mungkin kekuatannya sudah habis. Tangannya yang tadi terkena sayatan pisau terasa perih berdenyut-denyut.
Jika ibunya sampai melihatnya, ia pasti akan panik dan segera melakukan operasi kecil untuk menjahit luka di tangannya. Sepertinya lukanya tidak sedalam itu. Ia hanya perlu mengenakan obat antiseptik untuk membersihkan lukanya.
Selesai mandi, Victoria mengenakan handuk dan kemudian menatap dirinya di depan cermin. Ia masih Victoria yang sama, tidak ada yang berubah. Ia membelalakkan matanya lebar-lebar dan melihat apakah matanya berubah menjadi hijau juga? Sepertinya matanya baik-baik saja.