Di pagi hari yang cerah, Ganjar sudah mulai merasa segar dan demamnya pun sudah menurun. "Kamu sudah sarapan, Nak?" tanya Bu Ratna lirih.
"Sudah, Bu." Ganjar duduk di sebelah sang Ayah.
Seperti biasa, Ganjar dan kedua orang tuanya selalu berkumpul di teras rumah menikmati udara sejuk di pagi hari. Meskipun kampung tersebut masih sedikit diselimuti kabut, kampung yang indah itu sudah mulai dihidupkan kembali dengan berbagai aktivitas warga yang berlalu lalang hendak melakukan pekerjaan mereka.
Sebagian besar warga kampung tersebut, berpropesi sebagai petani penggarap dan pekerja tani buruh harian.
Kampung yang asri dengan panorama indah serta mempunyai udara yang sejuk dan bersih bebas polusi, jauh dari hingar bingar kendaraan. Kampung tersebut mempunyai keunikan tersendiri di antara kampung lainnya. Di kampung itu jarang sekali dijumpai pemuda atau para gadis, dikarenakan sebagian besar para remaja di kampung tersebut, lebih memilih merantau ke Jakarta.
Hanya Ganjar dan sebagian kecil pemuda yang masih bertahan hidup di kampung tanpa berangkat merantau ke kota. Maka dari itu, hal tersebut menjadi alasan kuat untuk Ganjar berupaya kuat untuk menggali potensi alam melalui pertanian dan ia pun tak segan mengajak para pemuda untuk bekerja di perkebunan miliknya.
Ganjar merupakan satu-satunya pemuda yang berkeinginan kuat mempertahankan kelestarian alam dan lingkungan tempat tinggalnya serta berupaya untuk menjadikan kampungnya sebagai pemasok utama hasil pertanian yang bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
***
"Nak, kamu mau kopi atau teh?" tanya Bu Ratna menatap wajah putra semata wayangnya itu, yang sudah pulih dari sakitnya.
Ganjar tersenyum dan balas menatap wajah wanita paruh baya yang duduk di hadapannya, kemudian Ganjar berkata lirih menjawab pertanyaan sang Ibu. "Tidak usah, Bu!" tolak Ganjar lembut.
"Oh, ya sudah tidak apa-apa." Bu Ratna tersenyum dan bangkit, untuk memulai aktivitasnya di pagi itu. "Ibu mau merapikan rumah dulu ya," ucap Bu Ratna mengarah kepada suami dan putranya. "Hari ini kamu jangan dulu ke perkebunan, biarkan Bapak mu saja dan Ibu yang ke sana, lagi pula sudah selesai semua panennya!" sambung Bu Ratna.
"Iya, Bu," jawab Ganjar lirih.
Bu Ratna langsung melangkah masuk ke dalam rumah, sementara Ganjar dan Pak Edi masih duduk santai di teras rumah.
***
Pukul 07:00. Kedua orang tua Ganjar langsung berangkat ke perkebunan untuk membantu para pekerja di ladangnya, merapikan sisa panen brokoli dan kedelai. Karena beberapa hari ke depan akan segera ditanami kembali.
Ganjar tidak melakukan pekerjaan apa-apa, ia hanya diam di rumah sesuai anjuran Dokter yang meminta Ganjar untuk beristirahat penuh agar kondisi badannya benar-benar pulih.
Ganjar hanya duduk santai di ruang tengah sembari memainkan laptop dalam pangkuannya.
Kegundahan dan rasa jenuh mulai melanda jiwa dan pikiran Ganjar pagi itu. Beberapa saat kemudian, Ganjar di katetkan dengan suara dering ponsel miliknya, sebagai tanda ada panggilan masuk, Ganjar meraih ponsel yang ia letakan di atas meja, membuka kunci layar dan menerima panggialan tersebut.
"Halo, Assalamu'alaikum, Pak." Ganjar menyapa lembut sembari menempelkan ponsel ke telinga kanannya.
"Wa'alaikum salam, bagaimana kabarnya apakah sudah sehat, Nak?" jawab Haji Mustofa balas bertanya dengan lirihnya.
"Alhamdulillah, sudah mulai membaik, Pak." Ganjar berkata dengan suara lembut dan penuh keramahan.
"Ya sudah, kamu jangan bekerja dulu, banyak istirahat saja. Sampai kondisi tubuh kamu pulih!" ucap Haji Mustofa penuh perhatian terhadap sang calon menantunya itu.
Ganjar dan calon mertuanya terus berbincang melalui sambungan telpon tersebut. Beberapa menit kemudian, Haji Mustofa langsung mengakhiri sambungan telponnya dengan diakhiri kalimat salam.
Setelah selesai berbicara dengan calon mertuanya tersebut. Ganjar bangkit dan langsung merapikan rumah sekedar untuk menghilangkan kejenuhan yang melandanya saat itu.
"Tok, tok, tok Assalamualaikum, punten!" ucap seseorang mengucap salam dari luar rumah.
"Wa'alaikum salam." Ganjar bergegas membuka pintu.
Tampak Amel sedang berdiri tepat di depan pintu.
Ganjar menyambut kedatangan Amel dan mempersilahkannya untuk duduk di teras rumah. "Oh, Amel. Silahkan duduk!"
"Iya, Kang." Amel tersenyum dan melangkahkan kedua kakinya menuju teras rumah.
Ganjar pun mengikuti langkah Amel, kemudian mereka duduk saling berhadapan. "Ada apa, Mel?" tanya Ganjar menatap wajah Amel yang diselimuti kesedihan itu.
"Suamiku, Kang. Dudah hampir satu tahun terakhir tidak pulang dan tidak ada kabar." Amel tertunduk menahan kesedihan yang ia rasakan saat itu.
Ganjar tampak kaget mendengar kabar tersebut dan ia berusaha untuk menenangkan Amel. "Kamu yang sabar ya, Mel. Doakan saja semoga tidak terjadi sesuatu terhadap suami kamu!"
"Iya, Kang." Amel menjawab dengan tersedu-sedu dan berlinang air mata.
Amel merupakan saudara sepupu Ganjar putri tunggal dari almarhum adiknya Bu Ratna. "Apa kalian bertengkar sebelumnya?" Ganjar kembali bertanya sembari menatap wajah sepupunya.
"Tidak, Kang. Aku dan Rasyid tidak pernah bertengkar," jawab Amel lirih.
Ganjar terus bertanya kepada Amel kenapa Rasyid bisa pergi dan tidak memberi kabar kepada Amel. Amel pun langsung menceritakan semua kepada Ganjar, hingga pada akhirnya Ganjar meminta Amel untuk bekerja di perkebunannya.
"Ya sudah, kamu kerja saja dulu di perkebunan Akang. Lumayan untuk biaya hidup sehari-hari!" ajak Ganjar tampak prihatin melihat kondisi saudaranya itu.
"Iya, Kang. Mulai besok Amel ikut bekerja di perkebunan Akang," jawab Amel lirih. Setelah itu, Amel langsung pamit kepada Ganjar untuk segera pulang.
Pukul 16:40, kedua orang tua Ganjar sudah tiba di kediamannya. Ganjar melangkah menghampiri sang Ayah yang sudah duduk di ruang tengah. "Tadi ada Amel ke sini, Pak." Ganjar duduk di sebelah sang Ayah.
"Ada apa Amel ke sini, Nak?" Pak Edi meluruskan pandangannya ke wajah Ganjar.
Ganjar langsung menceritakan, semua yang dikatakan oleh Amel beberapa saat yang lalu.
"Mudah-mudahan, tidak terjadi apa-apa dengan Rasyid," kata Pak Edi lirih.
Setelah itu, Pak Edi bangkit dan langsung melangkah menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri karena sebentar lagi waktu magrib akan segera tiba.
Baik Pak Edi ataupun Bu Ratna, mereka turut prihatin dengan apa yang dirasakan oleh Amel. Mereka ikut bersedih mendengar kabar tersebut. Sejatinya, Amel merupakan keponakan Bu Ratna dan sudah mereka anggap sebagai anak mereka sendiri.q
Sayup-sayup, terdengar suara azan berkumandang, menandakan waktu magrib telah tiba. Ganjar dan sang Ayah bergegas berangkat ke Musala, sementara Bu Ratna hanya melaksanakan salat di rumah. Usai melaksanakan Salat Magrib Ganjar dan kedua orang tuanya duduk santai di beranda rumah, menikmati waktu senja dengan ditemani kopi hitam dan kolak pisang buatan Bu Ratna.
"ini buatan Ibu?" tanya Ganjar lirih.
"Iya, masa Bapakmu yang buat." Bu Ratna tersenyum sedikit menoleh ke arah sang Suami.
Pak Edi terkekeh mendengar ucapan istrinya, begitu juga dengan Ganjar. Mereka tampak bahagia malam itu.
***