Chereads / Ganjar Dear Aisyah / Chapter 23 - Kekhawatiran Aisyah

Chapter 23 - Kekhawatiran Aisyah

Pulang dari perkebunan, Pak Edi langsung mandi. Setelah itu, ia hanya duduk santai di teras rumah.

"Bapak mau ngopi?" tanya Bu Ratna lembut.

"Iya, Bu. Tapi jangan terlalu banyak gulanya!" jawab Pak Edi lirih.

Bu Ratna langsung masuk ke dalam rumah, segera membuatkan kopi untuk sang Suami. Usai membuatkan kopi, Bu Ratna langsung menghidangkannya untuk Pak Edi. "Ini kopinya, Pak." Bu Ratna meletakkan secangkir kopi hitam di meja yang ada di hadapan sang Suami.

Bu Ratna duduk di samping sang Suami, kemudian berkata lirih. "Memperbaiki mes dimulai kapan, Pak?"

"Besok lusa," jawab Pak Edi singkat.

"Kok, bisa. Memangnya, Bapak sudah belanja bahan-bahannya?" Bu Ratna bertanya lagi, sembari mengerutkan kening menatap wajah sang Suami.

"Ganjar sudah menelpon toko material dan sudah dipesan bahan-bahan yang dibutuhkan," jawab Pak Edi meraih cangkir yang ada di hadapannya.

"Ngomong-ngomong, Ganjar ke mana, Bu?"

"Tadi di dalam sedang memasukan data di laptop," jawab Bu Ratna lirih.

Pukul 22:30, Haikal menelpon Ganjar. Ia mengabarkan tentang pengrusakan yang dilakukan oleh orang tidak di kenal terhadap saung yang ada di dekat balong dan juga pengrusakan terhadap tanaman cabai merah.

Ganjar dan sang Ayah bergegas menuju ke perkebunan untuk melihat kondisi saung dan tanaman cabai yang sudah dirusak oleh orang-orang tidak di kenal yang sengaja masuk ke area perkebunan milik Ganjar dan melakukan tindakan tidak terpuji.

Setibanya di saung, Ganjar dan Pak Edi duduk bersama Pak Danu dan rekan-rekannya. "Kejadiannya pukul berapa, Pak?" tanya Pak Edi mengarah kepada Pak Danu.

"Sekitar pukul sepuluh, Pak." Pak Danu menjawab dengan lirihnya.

Kemudian, Ganjar dan yang lainnya langsung melihat kondisi tanaman cabai merah yang rusak dan juga melihat saung tempat istirahat Pak Edi yang sudah rata dengan tanah akibat dibakar oleh orang-orang jahat tersebut.

"Ya sudah, mulai besok kan ada tiga orang keamanan. Nanti, mereka akan patroli secara bergantian di perkebunan ini!" ujar Ganjar lirih.

Ganjar tidak menampakkan kemarahan terhadap Pak Danu dan rekan-rekannya. Meskipun, mereka sudah lengah dan kecolongan. "Sebelumnya, kami yang tinggal di mes. Mohon maaf kepada Pak Edi dan juga Nak Ganjar atas kelalaian kami," ucap Pak Danu lirih.

"Tidak apa-apa, tidak ada yang menyalahkan yang tinggal di sini," ucap Ganjar. "Ini musibah," sambung Ganjar.

Setelah itu, mereka kembali ke saung mes dan langsung melakukan perbincangan untuk membahas langkah selanjutnya, untuk mengamankan perkebunan tersebut.

"Kamu sudah menelpon Amin, Kal?" tanya Pak Edi mengarah kepada Haikal.

"Sudah, Pak. Katanya ada tiga orang untuk keamanan dan mulai malam besok mereka langsung kerja," jawab Haikal bersikap ramah.

"Pak Danu dan Haikal, besok langsung perbaiki saung yang dekat balong itu. Nanti saya bantu!" pinta Pak Edi.

Pak Danu menganggukkan kepala tanda menyetujui apa yang dikatakan oleh Pak Edi.

***

Dua hari berikutnya, pembangunan mes baru dan Musala sudah dimulai, hari itu tampak Haji Syarif dan juga Aisyah berada di saung bersama Ganjar dan juga Bu Ratna. "Yang kerja bangunan sudah dikasih makan belum, Teh?" tanya Haji Syarif mengarah kepada Bu Ratna.

"Sudah, Ji. Tadi Ganjar beli nasi bungkus," jawab Bu Ratna lirih.

"Oh, saya kira belum." Haji Syarif bangkit dan melangkah menghampiri Ganjar.

Haji Syarif langsung menyarankan kepada Ganjar, untuk melaporkan kejadian pembakaran saung dan pengrusakan terhadap tanaman cabai merah, kepada pihak kepolisian. Namun, Ganjar enggan untuk memperpanjang masalah tersebut.

Usai berbincang dengan Ganjar, Haji Syarif langsung pamit pulang. Setelah itu, Ganjar dan Aisyah pun langsung berlalu dari saung tersebut pulang ke rumah. "Ibu dan Amel sudah pulang duluan, Ay?" tanya Ganjar sembari melangkah.

"Sudah tadi, katanya mau masak untuk makan sore pekerja bangunan," jawab Aisyah menghentikan langkahnya.

"Kenapa, Ay?" tanya Ganjar lembut.

"Cape, A." Aisyah tampak terengah-engah dengan kening bercucuran butiran peluh yang menandakan kelelahan.

Ganjar meraih tangan Aisyah dan langsung menggandengnya sembari melangkah menuju kediaman Ganjar yang tinggal beberapa meter saja.

Setibanya di rumah, Aisyah langsung masuk ke dalam untuk membantu Bu Ratna dan Amel mempersiapkan makanan untuk teman ngopi para pekerja bangunan yang sedang membangun mes di perkebunan Ganjar.

Pukul 12:30, selepas mengerjakan Salat Zuhur. Ganjar duduk santai di teras rumah, dengan ditemani secangkir kopi hitam yang dibuatkan Aisyah.

Tidak lama kemudian, Aisyah datang menghampiri Ganjar dan ikut duduk di samping Ganjar. "Kamu sudah Salat, Ay?" Ganjar memandang wajah cantik gadis berkerudung putih yang duduk di sebelahnya.

"Sudah, A. Tadi berjamaah dengan Ibu dan Amel." Aisyah tersenyum dan terus memandang wajah sang Arjunanya itu.

Aisyah menghela nafas panjang, kemudian berkata lagi sembari menggenggam telapak tangan Ganjar penuh rasa sayang dan cinta. "Aku khawatir dengan keadaan Rara."

Ganjar mengerutkan kening dan menjawab lirih apa yang dikatakan Aisyah. "Khawatir kenapa, Ay?"

"Aku takut, Rara berbuat nekad dan mencelakai dirinya," ujar Aisyah lirih.

"Se nekad itukah Rara?" tanya Ganjar memandang wajah Aisyah.

"Aku tahu Rara itu seperti apa, A. Dia itu nekad orangnya," tandas Aisyah.

Kemudian, Aisyah menceritakan apa yang pernah diperbuat oleh Rara ketika masih duduk di bangku SMA. Rara pernah berusaha bunuh diri ketika mengetahui Andre pemuda yang ia cintai tidak menyukainya dan Andre lebih memilih gadis lain.

"Kok, seperti itu?" Ganjar mengerutkan kening.

"Iya, A. Makanya, aku khawatir." Raut wajah Aisya tampak cemas.

Meskipun Rara seperti itu, sejatinya ia sangat mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu. "Jika hal itu terjadi di saat aku sudah menjalin ikatan pernikahan dengan Ganjar, apakah aku harus ikhlas membagi cinta dengan Rara?" ucap Aisyah dalam hati.

"Kamu kenapa, Ay?" tanya Ganjar.

Aisyah terperanjat dan sedikit merasa kaget dengan pertanyaan dari Ganjar.

"Ti, tidak apa-apa, A," kelit Aisyah.

Kemudian, Aisyah bangkit dan kembali melangkah masuk ke dalam rumah untuk membantu Bu Ratna dan Amel yang sedang membuat kue kering.

Ganjar hanya diam terpaku, pikirannya pun terus tertuju kepada Rara. Sejatinya, ia juga merasa khawatir terhadap Rara seperti apa yang dirasakan oleh Aisyah.

Selang beberapa menit kemudian, ada beberapa pesan singkat yang dikirim oleh Rara melalui aplikasi hijau di dalam ponselnya itu.

"Aku tak tahu apakah menawarkan diri menjadi temanmu akan membuat hubungan kita menjadi lebih baik.

Aku hanya bisa menahan emosiku untuk menyumpahimu agar kita tidak semakin jauh dan asing. Toh kita juga pernah saling dekat dan saling berbagi. Kau tahu? Aku ingin sekali balas menyakitimu, tapi aku selalu tak mampu," tulis Rara dalam pesannya tersebut.

"Senyummu selalu melintas dan membayang dalam benakku, seketika amarahku ciut dan mulutku gagu seolah segala tenagaku resap olehmu. Memang menjadi temanmu tak pernah cukup buatku, tapi setidaknya itu memudahkan lukaku untuk sembuh," pungkas Rara.

Ganjar langsung menutup ponselnya dan kembali meletakkannya di atas meja, tak sepatah katapun ia tulis sebagai balasan dari pesan tersebut.