Chereads / 60 Days I Love You / Chapter 21 - 21

Chapter 21 - 21

Luhut masih berdiri mematung hanya menatap Arya yang polos diatas tubuh adiknya. Kejadian memalukan yang seharusnya tidak dilihat oleh mata suci Luhut. Gaya-gaya si Luhut ini sok-sokan mata suci padahal tangannya aja sering dibuat nyabun dalam kamar mandi.

"Kenapa harus pagi-pagi begini?" tanya Luhut dingin pada pria yang disangka Monang. Matanya masih fokus, takut melihat yang tidak seharusnya ia lihat di tubuh adiknya.

Kalau waktu kecil mereka bisa mandi bersama sekarang sudah tidak mungkin lagi bisa-bisa akan masuk berita tentang hubungan sedarah.

Sungguh pemandangan yang mampu menggoda iman. Andai saja Luhut dan Naina sudah menikah maka bisa dipastikan bahwa Luhut sudah lari ke kamar untuk menikmati Naina.

Sepasang suami istri itu bergeming. Sama sekali tidak menatap Luhut keduanya masih betah menatap satu sama lain. Saling diam, sama-sama heran melihat keadaan mereka seperti sekarang ini.

"Bukankah tadi aku sedang bermimpi? Lalu kenapa bisa jadi kenyataan seperti ini?" Arya bertanya dalam hatinya. Bingung masih menyelimuti pikiran pria yang betah dengan posisi diatas istrinya.

"Apakah yang tadi itu bukan sebuah mimpi?" Uli juga bertanya dalam hatinya. Mata wanita itu masih menatap lekat suami yang berada diatasnya.

Luhut seperti orang yang tidak berdosa. Bukannya pergi dia malah tetap berdiri di depan pintu. Menunggu respon sang adik dan adik iparnya. Beberapa menit menunggu. Namun, tak kunjung ada perlawanan dari kubu orang yang di gerebek. Melihat tidak ada respon apapun dari sepasang suami istri itu membuat Luhut kembali membuka suara.

"Uli, Monang!" teriak Luhut penuh amarah seperti sedang menangkap basah pasangan berzina.

Pasangan suami istri itu kompak menoleh. Menatap Luhut dengan wajah bodoh mereka. Keduanya seperti sedang menderita syok akibat mimpi didalam kenyataan itu. Sepersekian detik kemudian, Arya beranjak dari tubuh Uli mengambil selimut untuk menutup tubuh polosnya juga sang istri.

"Aku tunggu kalian diruang keluarga. Ada hal penting yang harus kita bicarakan." Luhut berkata dengan tegas. Dari tatapannya ada hal penting yang ingin ia luruskan kalau tidak penting mana mungkin dia datang dengan paksa pagi-pagi ke kamar orang.

Kedua manusia berbeda kelamin itu semakin dibuat bingung saja. Dari mulai mimpi sampai sifat Luhut yang berubah dingin saat memergoki mereka. Apa salahnya jika mereka ketahuan sedang main kuda-kudaan? Bukankah mereka adalah suami istri yang sah? Wajar saja bukan sepasang suami istri bermain kapanpun dan di manapun.

"Bang," panggil Uli pelan selepas kepergian Luhut. Suasana kamar yang memang dingin kini berubah menjadi horor. Perasaan campur aduk sedang menyelimuti hati, Uli.

"Maaf ... aku fikir semua ini hanya mimpi," kata Arya tanpa menjawab panggilan. Pria itu tampak sangat frustasi. Sial sepertinya enggan mau pergi dari dirinya.

Hari pertama tiba di Desa ini dia dipaksa menikah. Hari kedua ada Ikan Emas keberuntungan suami istri, tuak yang membuatnya hampir kehilangan kesadaran dan pagi ini ... dia hampir saja menodai anak gadis orang yang statusnya adalah istri sah Arya.

Tapi ... apakah mereka bisa disebut pasangan yang sah jika nama yang terucap saat sumpah adalah nama Monang sedangkan orang yang berdiri di altar adalah Arya? Mungkin hanya tetua kampung atau bahkan Tuhan yang tahu jawabannya.

"Aku juga minta maaf. A–aku juga berfikir bahwa ini adalah mimpi," ucap Uli jujur. Wanita itu juga merasakan hal yang sama dengan Arya. Mungkin karena efek melihat tubuh bagus suaminya membuat otak Uli tak berhenti berkelana hingga sentuhan-sentuhan yang diberikan Arya disambut dengan baik meski mereka hanya menganggap sebatas mimpi. Ya ... mimpi yang terjadi di dunia nyata. Lebih parah dari ngelindur.

"Kenapa kita bisa mimpi basa bersamaan seperti ini?" tanya Arya bingung. Pria bertelanjang dada sejak semalam itu memberanikan diri menatap istrinya.

"Aneh ... ternyata yang ku lakukan tadi bukan mimpi. Aku bahkan berada diatasnya. Aku masih merasakan halus dan hangatnya kulit wanita ini." Arya berkata dalam hati. Memandang Uli yang sedang terlentang dalam balutan selimut agar menutupi tubuh polosnya.

"Entah ... aku juga tidak tahu," jawab Uli cepat. Hilang sudah nafsu yang memburu tadi diganti dengan frustasi karena tak mendapatkan pelepasan.

Disaat tubuh seorang dewasa mulai memanas yang dibutuhkan hanyalah pelepasan. Uli dan Arya terlihat sama frustasinya. Nafsu mereka sudah diubun-ubun meski hanya mimpi semata. Pantas saja banyak orang diluar sana yang mimpi basah bangun-bangun sudah benar-benar basah. Ternyata mimpi basah adalah kejadian yang Uli dan Arya alami hanya saja mereka belum mencapai puncaknya.

"Kepala ku masih sangat pusing. Efek tuak dan frustasi saat ini membuat aku sulit berfikir." Arya memijat pelipisnya. Baru tiga hari berada di Desa ini tapi, sudah membuatnya hampir gila. Kejadian-kejadian yang tak seharusnya selalu saja terjadi.

"Ka–kamu boleh me ... miliki ku," kata Uli yang memang sampai detik ini pikirannya hanyut dalam mimpi. Hangat dan lembutnya sentuhan Arya membuat dia sulit untuk move on.

"Tidak! Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu disaat status kita masih seperti ini," kata Arya cepat. Untung saja otak dan pikiran pria itu masih bisa digunakan meski dalam keadaan seperti ini.

"A–apakah kamu ... tidak menginginkannya?" tanya Uli selembut mungkin meski ragu menyelimuti hatinya.

"Uli, sebaiknya kita beritahukan saja masalah ini pada orang tua mu. Aku memiliki pekerjaan di kota tidak mungkin berlama-lama disini. Kita harus menyelesaikan drama ini sebelum aku pergi dari sini." Arya berkata tanpa memperdulikan pertanyaan Uli. Bagi Arya sekarang status jauh lebih penting daripada nafsu semalam yang akan merusak segalanya.

"Ta–tapi ...."

"Aku tahu. Meski aku sama sekali tidak mencintaimu setidaknya aku masih memiliki alasan kuat untuk tidak menjadikanmu seorang janda. Kamu tidak perlu takut kita sudah membahas ini sebelumnya, 'kan? Jadi percayalah padaku bahwa aku tidak akan menjadikan mu janda tapi, sebelum itu kita harus ikuti peraturan Desan ini dulu," kata Arya mantap.

"Kamu masih mabuk sebaiknya istirahat saja dulu," ucap Uli mengalihkan pembicaraan.

"Uli, jika tidak ingin menjadi janda maka tolong hargai keputusanku. Aku juga ingin memiliki status yang jelas. Disini aku hanyalah Monang palsu. Di surat nikah tertera bahwa Hamonangan Pemberani adalah suamimu. Aku hanya ingin meluruskan semuanya." Arya berusaha meyakinkan Uli.

"A–aku takut."

"Kamu atau pun aku sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Kita sama-sama korban dari sebuah kesalahpahaman. Orang-orang kampung tidak akan menyalahkan kita apalagi Bg Luhut sudah melihat keadaan kita seperti tadi. Aku mohon kali ini jangan egois untuk dirimu sendiri tapi, pikirkan aku dan keluargaku yang ada di Kota." Kali ini perkataan Arya terdengar memelas.

"Ma–maafkan aku yang terlalu egois ini tapi sebelumnya aku mohon berjanjilah dulu untuk tidak menjadikan aku sebagai janda. Apapun kemauan mu akan aku turuti tapi, tidak dengan berpisah. Kamu adalah suamiku dan aku adalah istrimu satu-satunya."