Chereads / 60 Days I Love You / Chapter 14 - 14

Chapter 14 - 14

Mamak dan Bapak sedang duduk di teras rumah saat pasangan pengantin baru itu tiba.

Kedua orang tua itu terlihat sangat bahagia begitu melihat Uli menurunkan ember berisi air.

Meski belum melihat isi didalamnya tapi firasat mereka sebagai orang tua tidak bisa dibohongi.

"Cepat sekali mereka pulang. Apa sudah mendapatkan ikan?" tanya Bapak yang sedang memandang putri dan menantunya memasuki kawasan rumah mereka.

"Kalau menurut, Mamak mereka pasti sudah mendapatkan Ikan Emas yang cukup besar." Mamak berkata dengan penuh percaya diri.

"Jangan sok tahu kamu. Mereka baru berangkat tiga jam lalu. Jarak dari sini kesana pulang balik saja hampir memakan waktu satu jam setengah lebih. Bagaimana mungkin memancing dan bercerita bisa secepat itu. Tidak sampai berjam-jam lamanya seperti yang lain."

Bapak berkata dengan akal dan logika yang sudah dipikirkannya masak-masak.

"Aku yakin sekali karena firasat ku tidak pernah salah," ucap Mamak penuh percaya diri.

Mau hujan badai atau angin tornado sekalipun ia tidak akan gentar dengan pendapatnya.

Sepasang suami istri itu berhenti dipekarangan rumah. Memarkirkan motor ditempat seharusnya.

Uli terlebih dulu menurunkan ember berisi ikan segar yang masih hidup agar dia bisa leluasa turun dari atas motor.

"Ahh firasat ku tidak pernah salah. Isi ember itu pasti Ikan Emas keberuntungan suami istri," kata Mamak riang.

Matanya berbinar-binar menatap ember disamping Uli.

"Putri sematawayangnya pulang bukan disambut. Fokus Mamak malah teralihkan dengan hasil tangkapan," gerutu Uli.

Wanita itu sedang berjalan menuju teras rumah tapi, saat melihat reaksi Mamaknya yang lebih memperhatikan hasil tangkapan daripada dirinya sendiri membuat ia kesal.

"Dapat yang berapa kilo?" tanya Bapak kepada menantunya Arya. Pria tua itu langsung mengalihkan pembicaraan.

Akan panjang urusannya nanti jika ibu dan anak itu berdebat.

"Sepertinya lima kilo, Pak." Arya menjawab dengan mengira-ngira saja.

Di sungai tidak tersedia timbangan jadi mau bagaimana ia mengetahui bobot ikan tersebut.

"Kan benar apa kataku. Semoga Tuhan memberkati kalian. Hindarkan menantu dan putriku dari mata jahat Tuhan."

Mamak berkata penuh makna. Ada lantunan doa yang masih mengalun didalam hatinya.

Memohon segala yang terbaik pada sang pencipta.

"Cepatlah masak sebelum ikan itu mati karena tempatnya terlalu sempit."

Giliran Bapak yang memperingatkan ketiga manusia yang sedang sibuk memandang seekor ikan.

Sebenarnya hanya Arya yang memandang ikan dengan takjub.

Sementara, Mamak dan Uli mereka masing-masing sedang memanjatkan doa.

Lantunan doa Uli saja belum putus dari sejak mendapat ikan sampai sekarang.

"Ayo, Uli bantu Mamak masak ikannya. Arya kamu beres-beres dulu setelah itu temui Bapak di teras belakang," kata Mamak tergesa-gesa.

Wanita tua itu sudah tidak sabar akan memasak ikan keberuntungan.

Menghidangkan, menyuapi pasangan pengantin baru agar rumah tangganya jauh dari masalah.

Sementara Arya pergi membersihkan dirinya, Bapak langsung bergegas ke teras belakang.

Ada baiknya sebelum Arya datang pria tua itu memeriksa kondisi kandang ayam yang sebentar lagi akan panen telur-telur eropa berkualitas.

Tidak perlu diragukan lagi segala hasil ternak dan pertanian keluarga Uli memang menghasilkan kualitas yang bagus.

Setelah Arya selesai berbenah ia langsung bergegas menemui Bapak mertuanya di teras belakang.

Sang mertua akan menjelaskan mitos sebenarnya yang dipercayai penuduk kampung.

"Pak," sapa Arya dari ujung peternakan. Hanya memanggil, memandang tanpa berniat mendekati sang mertua.

"Sudah datang rupanya." Bapak menjawab dengan senyum penuh arti.

"Kamu pasti sudah tahu tentang mitos ini, 'kan."

Bapak yang sedang memegang makanan ayam pun menghampiri Arya yang sedang berdiri diujung peternakan.

"Hanya mendengar sekilas, Pak. Aku tidak tahu pastinya." Arya menjawab cepat tanpa ragu sedikit pun.

Mungkin ia lupa bahwa, Bapak serta penduduk kampung lainnya mengetahui bahwa dirinya adalah Monang.

"Haha, Monang. Kamu besar di desa ini. Kamu juga salah satu pria perkumpulan kampung. Bagaimana mungkin bahwa kamu tidak tahu hal seperti ini?"

Pertanyaan Bapak terdengar seperti ledekkan tidak ada nada curiga dari cara bicara, tingkah laku bahkan sorot matanya saat menatap Arya.

"Aku hanya ... tahu bahwa pasangan pengantin ... yang berhasil mendapatkan Ikan Emas di sungai Air Mata rumah tangganya akan jauh dari masalah."

Arya berkata gugup, hanya mengucapkan apa yang dia ketahui barusan saja. Itu pun dari desas-desus para warga saat di sungai tadi.

"Hanya itu saja?" tanya Bapak.

Pria tua dengan sarung belalai gajah berdiri itu sedang mencoba duduk mencari sandaran nyaman untuk dia yang sudah renta agar bisa berbicara dengan leluasa.

Arya menggeleng mantap. Tidak perduli sang mertua akan mencurigainya. Dia tidak bersalah.

Dia hanya korban. Jadi sudah sepantasnya jika tidak bisa menjawab perihal di desa Suka Hati ini.

"Haha. Kamu ada-ada saja. Lahir disini besar juga disini tapi, hal seperti ini saja kamu tidak tahu," kata Bapak masih dengan nada mengejek.

Jantung Arya sedikit berdebar cepat tapi, dia memilih tetap santai. Lebih cepat tahu lebih baik pikirnya. Ahh terserah lah.

"Sungai Air Mata tercipta karena ada seorang wanita yang ditinggal menikah suaminya. Wanita itu cantik, mitosnya ia adalah salah satu putri kayangan yang terjebak cinta dengan manusia bumi. Para penduduk kayangan sudah melarang dengan keras. Bagaimanapun keadaannya seorang siluman dan manusia tidak akan pernah bisa bersatu."

Bapak menjeda kalimatnya, menarik nafas untuk melanjutkan lagi. Penjelasan tiba-tiba di jeda juga tiba-tiba.

Arya memandang lekat, membuka telinga lebar-lebar siap mendengarkan cerita sang Bapak mertua.

"Putri itu melanggar aturan. Dengan sangat keras kepala ia turun ke bumi. Bertemu sang pujaan hati. Melakukan janji suci pernikahan diatas bukit dengan menyatukan darah mereka. Setelah lima belas tahun pernikahan tiba-tiba saja suami tercintanya selingkuh. Putri mendapat kabar dari penduduk desa bahwa suaminya sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita yang juga manusia biasa. Dari pernikahan putri kayangan dan juga manusia mereka tidak diberikan keturunan. Raja kayangan menutup rahim sang putri karena jika manusia dan siluman memiliki keturunan maka dunia akan hancur."

Bapak hendak melanjutkan cerita lebih jauh tapi, tiba-tiba saja dengan tidak sopan menantunya memotong ucapan.

"Mengapa bisa seperti itu?" tanya Arya spontan.

"Jangan kamu potong dulu ucapan ku. Dengarkan saja baik-baik dulu." Bapak berkata sedikit kesal.

"Maaf, Pak. Silahkan dilanjutkan," kata Arya menurut.

"Putri mengamuk di pernikahan suaminya. Sang suami malah acuh dan lebih membela istri baru. Mempermalukan putri didepan umum. Mengatakan bahwa wanita cantik yang sudah diperistrinya selama lima belas tahun itu adalah wanita mandul. Dengan hati yang sesak karena tersakiti perkataan sang suami membuat putri murka. Putri pergi ke bukit tempat mereka mengucapkan janji suci dulu. Tiba-tiba matahari menjadi panas terik tanah yang dulunya dikubur darah mereka berdua berubah menjadi sebuah sumber mata air jernih. Mengaliri turun dari bukit setetes demi setetes hingga tanpa sadar membentuk sebuah aliran sungai. Raja kayangan turun ke bumi. Menaburkan beberapa bibit Ikan Emas didalam sungai tersebut. Hingga sang putri bersumpah. (Cukuplah aku saja yang merasakan sakit hati ini. Untuk siapapun kalian penduduk bumi dan langit jika kalian mengalami kegoyahan dalam rumah tangga datanglah kesini. Curahkan isi hatimu sejujur-jujurnya. Jika aku memberkati maka kalian akan membawa pulang Ikan Emas dengan berat yang cukup besar. Akan ku pastikan setelah itu rumah tangga kalian akan baik-baik saja. Semoga tidak ada lagi yang mengalami sakit tak berdarah yang aku rasakan ini). Sungai Air Mata itu adalah gambar kesedihan sang putri sementara para ikan-ikan yang telah diberkati adalah bentuk sayangnya putri pada penduduk bumi meskipun kelakuan suaminya sangat buruk."

Bapak menceritakan kisah itu panjang lebar.

Beberapa detik berlalu saat bapak selesai menceritakan kisah sungai Air Mata dan Ikan Emas tapi, tidak ada reaksi dari Arya.

Dia hanya memandang Bapak mertuanya dalam diam.

"Kenapa diam?" tanya Bapak yang tidak melihat sebuah umpan balik menantunya.

"Tadi, Bapak yang suruh saya diam sampai selesai cerita," kata Arya polos.

"Astaga Monang! Aku sudah selesai cerita sejak beberapa menit lalu," kata Bapak melebih-lebihkan padahal satu menit baru saja berlalu.

"Jadi cerita, Bapak tadi sudah selesai? Kenapa cepat sekali?" tanya Arya.

"Mimpi apa aku bisa mendapatkan menantu bodoh sepertimu," gerutu Bapak Uli.

"Pak," panggil Arya, dia hanya mengerjai Bapak mertuanya itu.

"Apalagi?" jawab Bapak Uli kesal.

"Apa itu berarti pernikahanku dengan Uli akan baik-baik saja?" tanya Arya serius.

"Bukan baik-baik saja tapi baik-baik sayang. Haha," ucap Luhut menimpali obrolan menantu dan mertua itu.

Sepertinya keluarga ini punya ilmu datang tiba-tiba. Tidak Bapak, Mamak sekarang Luhut juga.

Padahal sedari tadi tidak ada siapapun di area peternakan ini kecuali, Bapak dan Arya.

"Kenapa, Bang Luhut bisa ada disini?" tanya Arya yang semakin heran dengan keluarga ini.

"Aku habis bertelur," jawab Luhut lalu meninggalkan kedua pria berbeda generasi itu.

"Anak itu selalu saja bercanda. Tidak malu dengan badannya yang besar serta wajah sangar itu," kata Bapak menggelengkan kepala melihat tingkah putra mahkota.

"Biarkan saja, Pak. Hidup itu harus berwarna." Arya berkata selayak hidupnya sekarang ini.

"Monang ... pernikahan kalian sudah diberkati oleh putri. Kalau Tuhan sudah pasti. Bapak mohon padamu untuk menjaga putriku satu-satunya itu. Kamu tahu, Monang? Aku selalu memberikan apapun untuknya, selama kaki bisa berjalan, nafas masih berhembus dan jantungku masih berdetak aku selalu memenuhi segala kebutuhan Uli tanpa terkecuali. Sekarang tanggung jawabku sudah kamu ambil alih. Tolong jaga dan sayangi putriku. Jika bosan kembalikan saja dia padaku. Aku siap menerima bagaimanapun keadaannya nantinya."

"Bapak tidak perlu berkata seperti itu," kata Arya merasa tidak enak hati.

"Aku sudah lama mengenalmu terutama juga keluargamu. Aku mohon jangan sia-siakan putriku. Apapun yang kalian lakukan sebelum pernikahan aku sudah melupakannya. Aku sudah memaafkannya. Umur seseorang tidak ada siapapun yang tahu dimuka bumi ini. Jika aku yang pergi lebih dulu maka tolong jaga, Uli untukku atau jika kamu yang mengalaminya maka aku bersumpah tidak akan membiarkan, Uli menikah dengan siapapun itu."

"Bapak bicara apa? Jangan seperti itu."

"Monang, aku tahu bahwa kamu orang baik. Kamu melakukan hal itu mungkin karena tidak rela jika sahabat kecilmu menikah dengan orang lain. Apapun alasanmu untuk pernikahan ini tolong jangan disia-siakan. Mungkin ini sudah menjadi jalan kalian untuk bersatu."