Kedua pria yang terlihat seperti kopi susu itu berjalan menyusuri gelapnya desa di tengah keremangan lampu jalan. Tidak ada obrolan apapun antara mereka hanya terdengar derap langkah kaki disertai hembusan angin malam.
Udara begitu dingin bahkan mampu menembus jaket kulit yang sedang mereka kenakan malam ini seperti keduanya sedang janjian menggunakan jenis dan warna jaket yang sama tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Saat sampai di Lapo tuak nanti, setelah meminum segelas air nira saja mereka sudah akan merasa hangat dalam tubuhnya.
Di Lapo tuak.
Seorang pria dengan setelan kaos merah dan celana jeans berwana putih sedikit lecek sedang memetik gitar bersiap mengiringi siapa saja yang mau mengeluarkan suara emasnya. Petikan gitar itu terdengar sangat merdu, nada-nadanya tidak ada satu pun yang kepeleset. Kelihatan sekali bahwa pemainnya lihai.
Seorang pria yang hampir buka puasa atau biasa disapa Pak Harapan oleh penduduk Des pertama kali mengeluarkan suara emasnya.
Berulang kali kucoba memahami
Berulang kali aku bertanya
Haruskah diriku selalu menderita
Suaranya begitu merdu. Mampu mengalahkan penyanyi ternama Ibu Kota. Kemampuan masyarakat disini untuk bernyanyi memang tidak perlu diragukan lagi.
Sakit di hatiku bukan karena cemburu
Sakit di hati karena janji
Sia-sia sudah diriku menanti di sini
Saat reff masuk hampir seluruh makhluk hidup berjenis kelamin laki-laki mengeluarkan suaranya. Petikan gitar pun terdengar semakin merdu.
Anggur merah di genggamanku
Pecah sudah dan membasahi bajuku
Inikah ibarat dirimu telah di ambil orang?
Keping keping hancur cintaku
Pijakan kakiku terasa hampa
Kemana lagi harus melangkah?
Oh, sayang
Bagaikan layang-layang putus benangnya, oh
Tertiup angin yang kencang entah jatuh di mana
Sakit di hatiku bukan karena cemburu
Sakit di hati karena janji
Sia-sia sudah diriku menanti disini
Anggur merah di genggamanku
Pecah sudah dan membasahi bajuku
Inikah ibarat dirimu telah di ambil orang?
Kali ini giliran Namboru Risma mengeluarkan suaranya. Nada tinggi menjadi ciri khas wanita beranak satu itu. Soprano Powerfull menjadi jenis suaranya dengan vokal lima oktaf.
Keping-keping hancur cintaku
Pijakan kakiku terasa hampa
Kemana lagi harus melangkah?
Oh, sayang
Bagaikan layang-layang putus benangnya
Tertiup angin yang kencang
Entah jatuh dimana
Tertiup angin yang kencang
Entah jatuh dimana
Nyanyian itu ditutup dengan tepuk tangan gemuruh pengunjung. Inilah yang mereka sukai. Pemilik Lapo wanita cantik dengan suara emas yang selalu bisa berbaur bersama mereka.
Saat lagu pertama habis kemunculan pria yang disangka Monang dan Luhut belum juga tiba padahal dua orang pemuda yang diutus sudah kembali. Harapan untuk minum gratis sepertinya malam ini tidak akan ada lagi pikir mereka.
"Eh, Lamhot! Tadi katamu si Monang sama si Luhut akan datang sebentar lagi tapi, buktinya sampai satu lagu habis mereka berdua belum juga datang." Rustam berkata sewot pada dua pemuda yang ia suruh tadi.
Rustam memang sengaja mencari-cari alasan agar Monang datang karena dia hanya mampu membeli satu gelas tuak. Kalau ada, Monang sudah dipastikan bahwa para pengunjung Lapo akan kekenyangan air nira.
"Aku tidak tahu, Bang Rustam. Kami tadi hanya bertemu dan berbicara dengan ketua." Lamhot berkata jujur dan memang itulah kenyataannya.
"Ada apa denganmu, Rustam? Si Monang yang belum datang kenapa kamu yang sibuk?" tanya pria yang istrinya baru glow up tersebut.
"Efek tidak jadi buka puasa makanya dia sewot seperti Ibu-ibu gosipers," ucap salah satunya lagi.
Keadaan Lapo tuak itu sungguh sangat ramai pesona Namboru Risma memang tidak perlu diragukan. Pesona Lapo tuak maksudnya. Tak jarang banyak para istri yang datang menjemput suami mereka. Jika sudah sampai Lapo ini sudah dipastikan para suami itu akan lupa pulang.
"Diam saja kamu Pak Botak. Sebaiknya kamu siap-siap saja karena sebentar lagi istrimu pasti akan datang menjemput," kata Rustam mencibir karena memang setiap jam sembilan malam istri Pak Botak selalu saja datang menjemput membuat mereka memberi julukan suami takut istri pada pria tak berambut tersebut.
"Istriku itu datang menjemput karena ingin bergelut di ranjang bukan karena ia tidak suka aku minum disini lama-lama," sanggah Pak Botak tidak ingin terlihat menjadi pengecut didepan teman-temannya.
Tawa seluruh pengunjung Lapo tuak terdengar begitu garing. Mengejek orang lain adalah salah satu hal yang paling membahagiakan bagi mereka. Bahkan dulu ada seorang laki-laki yang memilih pulang karena tak sanggup menjadi bahan bully-an mereka dan sampai hari ini batang hidungnya tidak pernah terlihat lagi di Lapo.
Tanpa memperdulikan rekannya yang sedang saling mengejek pria berbaju merah kembali memetik senar gitar menimbulkan nada-nada merdu yang siap disandingkan dengan suara emas para pria penghuni Lapo tuak.
Ini hati yang bicara
Bukan mulut yang berkata
Kutahu kamu terluka
Dengan rasa cinta yang ada
Kau paling setia
Mengerti artinya cinta
Walau derai air mata
Kau masih tetap bertahan
Selvi (Selvi), aku begini hanya karena cinta
Tapi kini semuanya berubah
Kau datang bawa cinta yang berbeda
Selvi (Selvi), aku tahu ini aku yang salah
Tak pernah mengerti tulusnya cinta
Yang selama ini yang engkau berikan
Maafkan, sayang, aku tahu aku yang salah
Kau paling setia ....
"Ketua!" panggil salah satu dari mereka dengan mata berbinar-binar.
"Donatur dan ketua kita sudah datang," ucap yang lain tak kalah girang.
Baru setengah lagu dinyanyikan kedua laki-laki yang sedang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Pandangan para penghuni Lapo terlihat begitu berbinar-binar. Malam ini sepertinya akan menjadi malam panjang tanpa menggeluarkan sepeser uang.
Arya berdiri mematung, memandang sekeliling dengan tatapan bingung. Tempat ini terlihat indah dengan pemandangan kilatan birunya air di Danau Biru tapi, di indra penciuman Arya bau nira seperti bau busuk. Dengan sekuat tenaga ia menahan agar perutnya yang sedang bergejolak tidak mengeluarkan isinya.
"Donatur, duduklah dulu. Kamu kenapa bengong seperti itu?" tanya Rustam basa-basi.
"A–aku ... aku tidak apa-apa," ucap Arya terbata-bata. Gugup terlihat jelas diraut wajahnya.
"Kemari lah, Monang." Kali ini Pak Botak yang memanggilnya.
"Apa yang harus ku lakukan disini? tempat ini juga sangat bau," kata Arya dalam hatinya, indra penciuman mencium tua seperti bau busuk padahal bagi orang awam itu adalah minuman ternikmat.
"Hei adik ipar cepatlah kemari." Luhut mengeluarkan suaranya.
Pria yang disangka Monang itu duduk tepat disebelah Luhut. Mengambil posisi nyaman agar tidak canggung menghadapi yang lain.
"Ternyata si Uli pintar sekali merawat suaminya. Baru dua hari menikah tubuhmu sudah sangat bersih." Salah seorang yang bertemu Arya di sungai mengulang ucapannya dihadapan Arya.
"Di wantex kali sama si Uli," Lamhot berkata acuh. Tidak sadar ucapannya bisa menyinggung kepala suku.
"Jangan menggoda adik ipar ku!" pekik Luhut.
"Alah, Ketua. Sementang-mentang ia adalah adik ipar mu jadi kami tidak boleh menjahilinya?" Kini giliran Pak Harapan yang melontarkan pertanyaan.
"Aku juga bingung saat melihat kulit si hantu hitam ini pagi tadi. Mungkin ini efek pengantin baru. Atau karena ketulusan cinta mereka? Di sungai Air Mata pun mereka mendapatkan Ikan Emas keberuntungan." Luhut berkata panjang lebar.
"Wah beruntung sekali kamu, Monang. Aku saja sudah menikah selama 4 tahun, 12 kali pergi memancing ke sungai itu tapi, belum mendapatkan Ikan keberuntungan. Aku malah mendapat anak Nila." Rustam berkata sedih karena sampai hari ini pun mereka bahkan belum mendapat restu orang tua. Istrinya dulu memiliki tubuh gemuk. Hampir 80 kilogram. Hal itu membuat keluarga Rustam tidak direstui. Sedihnya sampai hari ini mereka belum dikarunia anak.
"Sabar, Rustam. Sebentar lagi keberuntungan pasti akan ada di pihak kalian. Buktinya saja istrimu sudah banyak berubah sekarang. Aku sampai pangling. Ku fikir anak gadis india," kata Pak Harapan menyemangati tapi dari pandangannya menyorot nafsu pada istri Rustam.
"Berani mengkhayalkan istriku akan ku potong saudara kandungmu," kata Rustam mengancam. Matanya dipenuhi amarah. Benci mengepul didada saat orang lain memandang sang istri penuh nafsu.
"Ngomong-ngomong soal saudara kandung. Apa kamu sudah memiliki nama untuknya, Monang?" tanya Luhut mengalihkan percakapan Bapak-bapak kere itu.
"Bang, tuak lah dulu." Lamhot merengek pada Arya.
"Ehh ..." Arya yang tidak tahu apa-apa memasang wajah bingung.
"Jangan bilang bahwa abang lupa untuk mentraktir kami tuak karena sudah menikah. Ternyata si Uli selain mencuci tubuhmu dia juga mencuci otakmu agar jauh dari kami." Lamhot mengomel tidak jelas.
"Ehh pria cungkring yang kurusnya lebih parah dari triplek jaga mulutmu. Jangan bicara yang macam-macam tentang adikku." Luhut langsung melayangkan tatapan maut.
"Ketua ..." ucap Lamhot tersenyum memamerkan deretan gigi kuningnya.
"Jadi apa nama untuk saudara kandungmu?" tanya Luhut lagi. Ada rasa penasaran dalam dirinya. Sejak dulu hanya Monang yang tidak memberikan nama untuk benda pusakanya. Dengan alasan masih perjaka nanti saja tunggu sudah bisa merasakan liang kenikmatan.
"Em ... itu ... anu," jawab Arya gugup.
"Ah tidak keren sekali kamu. Anu itu sudah banyak dipakai orang," cibir Rustam.
"Namboru, tuak dulu satu teko. Adik ipar ku yang akan membayarnya nanti." Luhut memesan tuak atas nama pria yang disangka, Monang.
"Dasar manusia tidak kreatif. Kamu membuatku malu saja," cibir Luhut.
Arya yang berada tepat disebelah Luhut semakin bingung saja. Emangnya siapa saudara kandung ku? Untuk apa juga aku memikirkan namanya? pikir Arya dalam diam.
"Oh ia aku baru ingat. Aku menamainya Tamia," kata Arya cepat saat dia ingat tentang perkataan Uli bahwa saudara kandung pria adalah benda pusaka nya sendiri. Pengakuan Arya membuahkan gelak tawa pengunjung Lapo tuak.
"Ba–bagaimana bisa? Haha. Apa gerakan maju mundurnya juga akan selambat dan berhentinya secepat mainan jadul itu?" Rustam bertanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Sementara itu disudut jalanan Desa seorang wanita mungil dengan celana training serta Hoodie putih bertopi sedang berjalan menyusuri jalanan setapak. Jalan tikus yang langsung menghubungkan ke Lapo Namboru Risma.
"Tidak! Tidak! Para Bapak-bapak tukang gosip itu tidak boleh mencurigai, Arya. Aku harus segera sampai sebelum mereka melihat kejanggalan yang begitu mencolok nantinya." Uli berkata sendiri sembari mempercepat langkah kakinya.