Chereads / 60 Days I Love You / Chapter 18 - 18

Chapter 18 - 18

Uli masih berjalan tergesa-gesa. Nafasnya naik turun tidak teratur. Dadanya kembang-kempis. Ada rasa takut akan gelapnya malam apalagi dia sedang sendirian membuatnya wanita bertubuh kecil itu cukup waspada. Menerawang keberbagai arah. Mewanti-wanti setiap sudut mana tahu terdapat hal-hal aneh tak kasat mata.

Jalan tikus yang dilaluinya ternyata sangat seram. Pohon-pohon rindang disisi kanan dan kiri disertai hembusan angin dingin membuat siapa saja akan merinding meski tanpa melihat makhluk halus. Apalagi suara deru angin membuat suasana semakin mencekam.

Ini Desa bukan Kota wajar saja jika pukul sepuluh malam keadaan sudah sunyi seperti dini hari.

Dibelakang, seperti ada yang mengikuti langkah kaki Uli. Langkahnya terdengar gemulai ditelinga seperti wanita sesungguhnya. Tidak seperti Uli yang grasak-grusuk. Samar-samar terdengar suara seorang gadis memanggil nama Uli. Suaranya sedikit cempreng.

Malam-malam begini wanita mana lagi yang keluyuran kecuali gadis berambut panjang dengan gaun putihnya yang kumel. Jangan lupa gelak tawa yang mampu membuat siapa saja merinding.

Terkadang banyak manusia yang heran melihat wanita terbang itu. Dia selalu terlihat sendirian tapi, tetap bisa tertawa seperti tidak punya beban. Harusnya manusia belajar hal itu darinya. Bagaimanapun keadaannya cobalah untuk tetap tertawa.

"Uli ..." Suara itu terdengar mengalun, bernada merdu, menggema disisi jalan setapak. Namun, membuat bulu kuduk berdiri tanpa di perintah.

"Kurang aja si buluk kuduk ini emang! Nggak ada sopan sama empunya sendiri," maki Uli dalam hatinya.

"Uli." Suara itu kembali terdengar. Semakin jelas. Namun, semakin membuat Uli gusar.

"Ini tidak lebih baik dari pada aku dihukum, Arya pagi tadi." Uli masih berbicara dalam hatinya. Membayangkan kejadian itu dengan suaminya.

Mulut wanita itu sedang membaca segala jenis doa dengan mata mengerjap berkali-kali. Berharap siapapun itu yang mengganggu akan segera pergi.

Uli mempercepat langkahnya. Semakin cepat langkah Uli semakin cepat juga sosok yang berada dibelakangnya itu melangkah. Mereka seperti sedang kejar-kejaran.

"Uli," panggil suara itu lagi. Kali ini suara wanita itu terdengar begitu jelas. Jelas sekali.

Seketika Uli mematung, mengingat-ingat suara yang begitu akrab ditelinga wanita bersuami itu. Sepertinya bukan suara milik wanita tertawa bergaun putih tapi ....

"Kenapa kamu jalannya begitu cepat? Suara dan nafasku hampir habis karena memanggilmu. Sejak masuk jalan setapak ini aku sudah mengikuti mu." Wanita itu berkata dengan nafas satu-satu. Berjalan menghampiri Uli yang masih mematung. Butiran keringat sebesar biji jagung terlihat jelas di keningnya.

"Naina!" teriak Uli penuh kekesalan.

"Kenapa?" tanya Naina bodoh..

"Aku hampir saja kehilangan jantung karena berfikir bahwa kamu adalah wanita bergaun putih yang suka tertawa itu," cerocos Uli menatap sebal kearah sahabat sekaligus calon kakak iparnya itu. "Kenapa mengikuti ku ha?!" sambungnya lagi.

"Tadi aku tak sengaja melihat, Bang Luhut pergi ke Lapo di pinggir Danau itu jadi aku ingin menyusulnya tapi, saat keluar rumah aku melihatmu berjalan tergesa-gesa kearah sini. Aku takut ada sesuatu yang terjadi makanya aku membuntuti mu." Naina menjelaskan alasannya dengan suara lembut ciri khasnya.

"Aku juga ingin ke Lapo tuak itu. Aku ingin membawa pulang suamiku," kata Uli jujur meski ada niat terselubung didalamnya.

"Aku juga ingin membawa suamiku pulang," ucap Naina meniru perkataan Uli dengan penuh percaya diri.

"Wahai nona cantik. Calon suami! Bukan suami! Kalian belum sah!" Uli berkata lantang.

"Nanti juga akan jadi suami," ucap Naina santai.

"Ya ya ya." Uli mengakhiri perdebatan mereka. Sekarang yang paling penting jangan sampai kumpulan makhluk hidup dengan senjata laras panjang bertinta putih yang mampu menghasilkan bibit manusia itu mengetahui jika pria yang berada di dekat mereka bukan Monang tapi, Arya.

Naina mengangguk-anggukan kepala. Niatnya kesini bukan untuk beradu argument dengan Uli tapi, untuk menjemput calon suaminya pulang. Siapa tahu wanita janda pemilik Lapo itu nanti menggoda Luhut.

Tingkat kecemburuan Naina tidak perlu diragukan lagi. Padahal kalau dipikir-pikir gadis secantik Naina tidak pantas mendapatkan pria sangar seperti Luhut. Bagaikan langit dan bumi.

"Ayo cepat kita kesana sebelum Abang ku dimakan oleh janda kembang Desa ini," ucap Uli yang seolah mengerti isi hati dan pikiran Naina.

Namboru Risma adalah seorang janda. Sepak terjangnya sudah pasti jauh. Pengalaman di atas ranjang tidak perlu diragukan lagi. Itulah yang membuat para Ibu-ibu takut jika suaminya berlama-lama di Lapo tuak tersebut.

Bayangkan saja ... manusia yang sudah pernah merasakan kenikmatan duniawi pasti akan terus mencarinya. Apalagi Namboru Risma yang sudah hampir dua tahun menjanda. Wanita itu pasti sudah haus akan belaian seorang pria.

Begitulah kira-kira pemikiran para Ibu-ibu yang suaminya suka nongkrong di Lapo pinggir Danau Biru tersebut.

"Uli, pelan kan sedikit langkah kaki mu itu. Aku lelah! Tidak sanggup lagi mengimbangi langkahmu." Naina protes karena memang Uli berjalan dengan sangat cepat seperti seorang sedang dikejar setan. Atau mungkin atlet jalan jauh.

"Aduh, Naina. Kamu harus mempercepat langkah mu atau nanti, Bang Luhut akan di goda ular betina itu." Uli sengaja memanas-manasi Naina. Padahal dia lah sebenarnya yang sedang ketar-ketir takut identitas Arya terbongkar.

"Tidak! Tidak! Luhut hanya milikku seorang. Milik Naina Si Romauli. Kami akan menikah. Wanita ular itu tidak boleh mendekati milikku," kata Naina berapi-api. Kecemburuan terlihat jelas dimatanya tapi, ada baiknya juga ucapan Uli. Buktinya sekarang Naina sudah berjalan beberapa langkah dibelakang Uli. Membuat wanita dengan status istri itu menahan tawa karena kecemburuan sahabatnya.

Keduanya berjalan semakin cepat. Apalagi Uli tidak berhenti memprovokasi calon kakak iparnya tersebut. Hal itu harus dilakukan Uli mengingat hanya dengan cara itulah Naina bisa berjalan cepat.

Di Lapo tuak Arya sedang duduk. Suasana canggung menyelimuti dirinya. Menyesal karena menerima ajakan sang kakak ipar untuk pergi ke Lapo.

Jika bisanya Monang asli akan mengolok-olok orang lain maka, kali ini pria yang di sangka Monang lah yang menjadi bahan olokan mereka.

"Monang, apa tidak ada nama lain selain 'Tamia' aneh sekali?" tanya Lamhot yang tawanya terdengar begitu nyaring.

"Walaupun namanya 'Tamia' setidaknya benda pusaka itu sudah digunakan. Bukan seperti punyamu yang hanya dipakai untuk pipis saja," cibir Luhut pada Lamhot mencoba membela adik iparnya.

"Lagian kamu aneh-aneh saja. Apa karena kulit tubuhmu sudah di wantek jadi otakmu juga ikut-ikutan? Walau saudara kandungku masih aku gunakan secara tunggal tapi, aku sudah menamainya 'Ular Kadut' bukan seperti dirimu." Baru saja terdengar pembelaan keluar dari bibi Luhut untuk adik iparnya tapi, kini pria sangar itu sudah menjatuhkannya.

"Sebenarnya kamu niat membela atau menjatuhkan?" tanya Arya yang mulai ikut dalam alur pembicaraan.

"Tidak keduanya. Aku hanya berada ditengah-tengah," ucap Luhut santai sambil menuang tuak yang baru saja diantar janda cantik pemilik Lapo kedalam segelas cangkir kaca berukuran lima puluh mililiter.

"Wahh ternyata si Monang benar-benar putih. Wajahnya juga berseri. Sangat berbeda waktu sebelum menikah." Namboru Risma juga tak mau kalah. Wanita lajang beranak satu itu ikut-ikutan nimbrung percakapan. Mengambil posisi ditengah-tengah para pria.

"Kenapa? Apa aku sangat berubah sampai membuat kalian terheran-heran seperti ini?" tanya Arya. Pemikirannya sudah ingin mengetahui seperti apa sosok Monang yang sebenarnya.

"Kalau aku tahu kamu akan berubah menjadi seperti ini pasti sudah ku terima lamaran mu dua bulan lalu," ucap wanita itu dengan senyum menggoda.

"Hei! Berani menganggu adik ipar ku ... akan ku pastikan Lapo ini tutup dan kamu akan diasingkan ke Desa terpencil di kaki gunung.

"Alah kamu ini memang tidak bisa melihat aku bahagia. Janda juga butuh sentuhan, Luhut. Ingat, ya ... janda masih jauh lebih menggoda daripada perawan!" kata Namboru Risma penuh percaya diri.

"Suamiku," panggil Uli manja. Istri Arya itu baru saja tiba saat mendengar penuturan penuh percaya diri Namboru Risma.

"Abang," panggil Naina tak kalah lebih manja dari Uli.

"Alah ... baru juga sekali teguk dua wanita ini sudah tiba saja," kata Luhut dalam hati.

Sejak menjalin cinta dengan, Naina pria sangar itu memang sudah jarang pergi ke Lapo untuk minum tuak agar tubuhnya hangat. Salah Luhut sendiri mengapa pakai acara berjanji bahwa dia hanya akan ke Lapo satu minggu sekali itu pun jika ditemani Naina. Sekarang kenak getahnya.

"Uli ... duduk sini," ucap pria yang disangka Monang canggung mengajak istrinya duduk tepat disebelah dirinya.

"A–adek, duduklah sini ... sebelah Abang kursinya masih kosong. Bahkan sangat dingin karena tidak ada yang menduduki," kata Luhut basa-basi. Mencoba tersenyum ramah demi menutupi kerisauan hatinya.

"Ia seperti dinginnya malam ini. Istriku mana istriku ?" Pak Harapan mencoba menggoda kedua pasangan itu.

"Diam kamu! Atau kamu bayar semua minuman ini?!" kata Luhut bernada ancaman.

Pak Harapan mengerut. Memilih mundur tidak berani melawan penguasa.

"Lihatlah ... mereka yang berkuasa saja bisa luluh lantah dihadapan wanita. Apalagi kita yang hanya remahan rengginang di kaleng konghuan."

"Kenapa wanita selalu bisa memporak-porandakan pria? Sihir apa sebenarnya yang mereka pakai?"

"Hei jaga ucapan kalian sebelum Luhut mendengarnya."

Bisik-bisik para Bapak-bapak gosip penghuni Lapo tuak terdengar samar ditelinga dua orang wanita cantik yang sedang berjalan menuju kursi tempat dimana laki-laki mereka duduk.

"Mau pesan apa gadis-gadis cantik?" tanya Namboru Risma seramah mungkin saat kedua wanita itu sudah duduk dengan nyaman disebelah pasangannya masing-masing.

"Aku bukan gadis! Aku adalah nyonya Hamonangan pemberani." Uli berkata lantang menautkan jari-jemarinya dengan milik Arya. Menunjukkan pada pengunjung Lapo.

"Kemarin saja pakai acara kabur dari pernikahan. Sekarang malah seperti kerbau yang di cocok hidungnya," cibir Rustam terang-terangan.

"Rustam!" pekik Luhut.

"Aku berkata jujur ketua. Ingatkan kita menangkapnya saat dia hendak pergi ke Kota. Untung saja kita tepat waktu kalau tidak si Monang ini pasti sudah benar-benar kabur."

"Sudahlah. Aku minta maaf telah membuat penduduk kampung repot yang penting hari ini aku masih berada disini bersama istriku," kata Arya berat.

Uli memandang suaminya dengan penuh kekaguman. Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya tiba-tiba lenyap bagai tertiup angin malam.

"Marilah pulang. Malam sudah mulai larut, tidak baik wanita diluar malam-malam begini." Ajak Luhut.

"Aku tidak mau pulang!" kata kedua wanita itu kompak. Ada rencana terselubung yang telah mereka diskusikan dijalan tadi.