Kedua pria dengan status iparan itu terlihat frustasi menghadapi pasangannya masing-masing. Acara menghirup udara segar demi ketenangan otak seperti angan-angan Luhut hilang sudah. Padahal hampir sebulan ia puasa dari minuman berbahan dasar nira itu karena Naina tidak pernah mau diajak ke Lapo.
Dasar Luhut saja yang bodoh ... padahal banyak sekali pilihan Lapo tuak disini. Meski harus diakui bahwa hanya tuak Namboru Risma rasanya yang paling pas. Lagi pula malam hari Luhut kan tidak bersama Naina jadi bisalah dia bebas. Asal mulut Bapak-bapak itu tidak lemes. Memberi tahu pada Naina maka Luhut akan aman.
Dasar kamu Luhut badan aja yang sangar. Gaya mau bacok kepala Arya dulu gak taunya sama Naina aja takut.
Berbeda dengan pria yang disangka Monang. Arya bersyukur dengan kehadiran Uli karena dia memiliki alasan untuk tidak minum minuman yang berbau busuk menurut indra penciumannya sendiri. Meski kesalnya masih sulit untuk hilang.
Apalagi para Bapak-bapak disini. Sungguh sangat tidak mungkin mereka bisa minum dan menggosip dengan tenang jika dua wanita ini tetap berada disini. Bisa saja perkataan mereka besok akan sampai pada istri-istrinya.
Moto dalam dunia pergosipan adalah 'SIAPAPUN BOLEH UNTUK DICERITAKAN. TIDAK TERKECUALI' makanya jangan coba-coba masuk kealam mulut berbisa ini. Setiap hari pasti akan dihantui oleh rasa penasaran karena berfikir yang tidak-tidak. Mencoba hadir setiap saat demi memastikan diri sendiri menjadi bahan gosip hari ini atau tidak. Padahal bahan yang paling nikmat untuk diperbincangkan adalah saat seorang yang akan digosipkan tidak berada ditempat.
Akhirnya karena lelah berdebat kedua pria itu pun memutuskan untuk mengalah. Membiarkan pasangannya berada di Lapo sampai akhirnya dua wanita itu sendiri yang akan minta pulang nantinya. Luhut dan Arya berfikir bahwa wanita tidak akan betah berada di lingkungan Bapak-bapak yang penuh dengan aroma rokok dan bau nira.
"Jadi kalian mau pesan apa? Atau kalian mau minum tuak juga?" Namboru Risma kembali bertanya. Untuk apa ramai pengunjung tapi tidak membeli pikirnya.
Disaat seperti ini lah strategi S3 Marketing dibutuhkan. Mau suka atau tidak kita sebagai penjual kepada pelanggan tapi, tetap harus memasang wajah manis dengan senyum palsu serta rayuan maut agar dagangan laku keras. Dalam hal jual beli bermuka dua dihalalkan tapi jangan sampai menipu pembeli dengan barang dagangan yang kualitas abal-abal.
"Aku pesan teh hangat saja," ucap Uli angkuh enggan menatap wanita dihadapannya. Padahal ia tidak memiliki masalah apapun terhadap janda satu anak itu. Mungkin karena pembicaraan buruk Ibu-ibu gosip membuat Uli dan Naina berfikir yang bukan-bukan. Padahal bukti kebenaran akan ucapan Ibu-ibu gosip tidak ada.
"Aku juga sama," sambung Naina tak kalah ketus dari Uli. Gadis manis ini sepertinya sama. Otaknya sudah tercuci dengan perkataan Ibu-ibu gosip ditambah kadar cemburu yang membabi buta. Tanpa jelas alasannya.
"Teh hangat berarti tidak pakai gula? Seperti hidup tanpa cinta," kata Lamhot menggoda pembicaraan mereka.
"Persis seperti hidupmu bukan," ucap Namboru Risma meledek Lamhot yang tidak pernah berhasil meluluhkan hati wanita.
Tidak terhitung berapa banyak wanita yang digoda oleh Lamhot tapi, tetap saja satu pun tidak ada yang berhasil di ikatnya. Jangankan untuk menjadikan istri sebagai kekasih saja para gadis itu enggan.
"Dasar janda tidak tahu diri. Bahkan sejak suami mu meninggal saja kamu lebih memilih menutup hati daripada menikah lagi. Itu artinya hidup mu sekarang sama saja bagai sayur tanpa garam. Lalu apa bedanya dirimu denganku?" cibir Lamhot tidak mau kalah. Sampai hari ini belum ada satu orang pun yang mampu menang melawan kelemesan Lamhot. Mungkin karena itu juga dia tidak laku-laku.
"Alah itu hanya ucapan dibibir saja. Buktinya dia selalu menggoda pria tampan yang datang kesini. Bilang saja jika kamu sudah haus akan belaian." Kini giliran Pak Harapan mengolok janda mekar itu.
Wanita mana pun pasti liurnya akan jatuh jika melihat pria tampan. Hal itu juga dirasakan oleh Namboru Risma. Sampai hari ini belum ada kasus yang menyatakan bahwa wanita janda itu melanggar sumpah atau bermain api dengan anak muda setempat.
"Naina, ternyata tempat ini seru juga, ya. Jauh lebih seru dari pada lesehan Ibu-ibu gosipers." Uli terpaksa mengeluarkan kata-kata demi mengalihkan pembicaraan yang dapat merusak gendang telinga. Malas sekali mendengar ucapan Namboru Risma
"Perkumpulan Bapak-bapak bermulut lemes memang mengasikkan. Aku jadi ingin bergabung disini setiap malam," ucap Naina dengan mata berbinar penuh arti. Lain dibibir lain pula dihati.
Belum sempat Uli menjawab Namboru Risma sudah berbicara lebih dulu . "Maka dari itu aku mendirikan Lapo ini. Hanya sebuah tempat untuk para Bapak-bapak mengeluarkan isi hatinya saja. Kalau begitu biar aku buatkan minum untuk kalian dulu. Jangan lupa dibayar," kata Namboru Risma sedikit menyindir ke arah Rustam sambil bangkit dari duduk berjalan kearah dapur pesanan.
"Dasar janda tidak tahu diri. Bisa-bisanya menyindir aku disaat keadaan ramai seperti ini," gerutu pria yang hanya mampu membeli satu gelas tuak pelan tak ingin terdengar orang lain.
"Aku juga mau teh hangat," kata pria yang disangka Monang saat Namboru Risma baru saja berbalik arah.
Deg!
Semua mata para pengunjung sontak membulat sempurna. Menatap Arya tanpa berkedip. Raut heran tercetak jelas di wajah mereka. Berbagai pertanyaan menyelimuti isi otak mereka. Seorang Monang tidak minum tuak bagaimana bisa? Dia adalah Donaturnya. Dia adalah peminum kelas kakap di Desa ini. Dunia pasti akan kiamat kalau begini.
"Aku tidak minum demi kelancaran hidup Tamia," kata Arya pura-pura bodoh saat membaca situasi canggung akibat perkataannya.
Hahaha.
Pengakuan pria putih nan tampan itu sontak membuat para pengunjung yang bengong menjadi tertawa terpingkal-pikal. Akhirnya ada satu orang lagi yang ditakuti Monang selain almarhum Opung Boru-nya (Nenek).
Monang dikenal sebagai anak seorang juragan kaya raya yang kehidupannya bebas. Bebas menghamburkan uang seberapa banyak pun. Tidak pernah di kekang sama sekali. Sejak kecil dia hanya tinggal bersama Opung Boru-nya saja karena kedua orangtuanya sibuk bekerja.
"Mengkerut donatur itu bah," cibir Lamhot si mulut bisa.
Hahaha.
Tawa mereka pecah kembali saat mendengar cibiran Lamhot. Namboru Risma diam ditempat, lupa akan apa yang harus ia kerjakan. Hal tak terduga ini membuatnya tertawa lepas tanpa beban.
"Sudah!" teriak Uli pada seluruh pengunjung agar menyudahi menertawakan suaminya.
"Namboru Risma pergi sana buatkan pesanan ku. Tenggorokan ini rasanya mulai kering. Pakai gula, ya." Uli berkata lagi memerintah penjual tuak itu.
"Kalau pakai gula namanya bukan teh hangat tapi, teh manis hangat," omel wanita penjual tuak itu.
"Pembeli adalah raja jadi terserah ku mau merubah pesanan atau tidak," kata Naina menimpali.
Namboru Risma memilih mengalah. Enggan kehilangan pelanggan. Apalagi Monang yang kalau membeli bisa sampai ratusan ribu. Tidak heran jika pria itu selalu pulang pagi dengan keadaan tidak sadarkan diri. Kadar alkohol tuak memang sedikit tapi, jika diminum dalam takaran berlebihan akan menimbulkan mabuk pada si pengkonsumsi.
"Naina, apa kamu juga ingin merubah pesanan?" tanya Uli.
Hanya dijawab gelengan kepala oleh Naina.
"Suamiku?" Kini Uli beralih tanya pada Arya.
"Tidak," jawab Arya pasti.
Uli yang duduk disebelah Arya mengambil gitar dari tangan pria berbaju merah. Daripada membahas hal lain yang tidak berguna lebih baik bernyanyi.
Tadi saat Uli dan Naina jalan berdua menuju Lapo tadi tiba-tiba saja Uli berfikir untuk berada disana lebih lama. Mengalihkan padangan Bapak-bapak itu dari Arya jauh lebih baik daripada membawa Arya pulang. Kalau Arya pulang harga diri suaminya lah yang akan jatuh. Para pria bermulut lemes itu akan mencap pria yang disangka Monang sebagai laki-laki takut istri sama seperti Pak Botak.
"Ayo, ayo kalian mau request lagu apa?" tanya Uli dengan bunyi petikan gitar ditangannya.
"Lapo tuak kita sepertinya akan diambil alih," kata Lamhot malas.
Rustam sudah diambang ketinggian. Tuak satu teko yang dipesan atas nama Monang KW sudah habis di teguk setengah olehnya. Beginilah ciri-ciri manusia tidak modal.
"Bagaimana kalau lagu Ku Cari Jalan Terbaik?" usul Pak Botak.
"Jalan terbaik kamu, ya dijemput istrimu," cibir Lamhot.
"Bersiap-siap saja untuk pulang. Istrimu pasti akan datang beberapa menit lagi," cibir Rustam yang masih betah meneguk minuman padahal matanya sudah merah seperti ikan busuk.
ehh emang ikan busuk matanya merah, ya?
Uli memulai petikan gitarnya mengatur nada-nada agar bisa terdengar indah ditelinga pendengar. Namun saat baru masuk intro teriakan suara perempuan memanggil suaminya terdengar begitu jelas. Memecah konsentrasi Uli.
"Pak Botak!" teriak wanita dengan Daster bermotif bunga mawar. Rambutnya berantakan, matanya terlihat seperti baru bangun tidur.
"Dasar pria Botak tidak Tahu diri. Ku tinggal saat menidurkan anak. Kamu juga meninggalkan aku dan memilih pergi ke Lapo tuak janda kembang ini, ya." Wanita yang sudah pasti adalah istri dari Pak Botak itu berkata dengan nada berapi-api.
"Matila aku ..." ucap Pak Botak lirih. Wajahnya sudah menunduk, takut menatap istrinya sendiri.
"Ha itu dia istrimu sudah datang," kata Rustam yang mulai hilang kesadaran.
"Hei, Roida kamu tahu tidak? Tadi suamimu ini berkata bahwa kamu akan menjemputnya untuk bergulat di ranjang. Hahaha. Lucu sekali bukan, teman-teman." Orang yang sedang mabuk memang sulit untuk berbohong.
"Astaga ... ternyata si Rustam sudah benar-benar mabuk. Omongannya pun sudah tidak terkontrol. Akan jadi apa nasib wayang keket ku kalau begini," kata Pak Botak dalam hati.
Drama rumah tangga Pak Botak dan Mak Botak selesai sudah meski diiringi dengan gelak tawa sekaligus ngeri bagi para laki-laki yang belum beristri. Hal memalukan ini selalu saja terjadi saat Pak Botak pergi ke Lapo tanpa sepengetahuan istrinya.
Uli kembali memainkan gitarnya. Memetik senar dengan begitu lihai. Nada yang dimainkan Uli terdengar jauh lebih merdu daripada pria berbaju merah tadi.
"Sepertinya basecamp kita ini memang akan benar-benar diambil alih kedua wanita itu," kata Lamhot berbisik ke telinga Rustam yang hampir sekarat.
Uli memilih memainkan lagu dari Thomas Arya berjudul Bunga dengan sedikit musik koplo.
Merana kini aku merana
Kekasih tercinta entah ke mana
Sendiri kini 'ku dibalut sepi
Tiada tempat 'tuk bercurah lagi
Di mana kini entah di mana
Bunga impian yang indah di mata
Kurindu tutur sapamu nan manja
Saat kau barada di sisiku
Kini tinggal aku sendiri
Hanya berteman dengan sepi
Menanti dirimu kembali
Di sini kuterus menanti
Akan kucoba untuk
Menanti dirimu, kekasih
Oh bunga
Di mana kini kau berada
Jangan biarkan diriku
Dalam keseorangan
Oh bunga
Jangan kau gores luka di dada
Sungguh diriku takkan kuasa
Campakkan kenangan
Ho ho ho ...
O-oh bungaku
Ho ho ho ...
O-oh bungaku
Merana kini aku merana
Kekasih tercinta entah ke mana
Sendiri kini 'ku dibalut sepi
Tiada tempat 'tuk bercurah lagi
Di mana kini entah di mana
Bunga impian yang indah di mata
Kurindu tutur sapamu nan manja
Saat kau barada di sisiku
"Tarik sis," kata Uli dengan semangat berkobar.
"Semongko," ucap seluruh pengunjung Lapo tuak dengan hebohnya terkecuali, Rustam yang sedang menunggu malaikat maut.
"Ah mantap."
Kini tinggal aku sendiri
Hanya berteman dengan sepi
Menanti dirimu kembali
Di sini kuterus menanti
Akan kucoba untuk
Menanti dirimu, kekasih
Oh bunga
Di mana kini kau berada
Jangan biarkan diriku
Dalam keseorangan
Oh bunga
Jangan kau gores luka di dada
Sungguh diriku takkan kuasa
Campakkan kenangan
Ho ho ho ...
O-oh bungaku
Ho ho ho ...
O-oh bungaku
Ho ho ho ...
O-oh bungaku
Ho ho ho ...
O-oh bungaku