Saat matahari tenggelam berganti shift dengan rembulan saat itulah kedai tuak atau biasa disebut dengan Lapo tuak oleh penduduk kampung yang berada dipesisir danau biru ramai pengunjung.
Hembusan angin dingin khas pegunungan seolah tidak dirasakan oleh mereka para laki-laki yang sedang berkumpul.
Hangat dari minuman beralkohol yang terbuat dari cairan nira itu mampu membuat mereka kebal hawa dingin.
Lapo Namboru Risma menjadi tempat favorit bagi mereka pencinta tuak.
Selain tempatnya yang strategis penjual tuaknya juga aduhai.
Seorang janda berusia 35 tahun yang bentuk tubuhnya hampir menyerupai artis Aura Kasih. Tidak mirip hanya sebelas dua belas.
Masih lebih menarik artis Ibu Kota itu.
Tempat ini ramai akan para pemuda sampai Bapak-bapak. Mereka rajin berkumpul disini setiap malam.
Satu orang memetik senar gitar sisanya akan bernyanyi. Ada juga yang hanya sekedar bercerita masalah istrinya dirumah.
Jika para Ibu-ibu akan bergosip saat pagi hari di tukang sayur maka bapak-bapak memilih waktu malam hari di Lapo tuak untuk mengeluarkan unek-uneknya.
Siapa bilang para bapak-bapak tidak bisa bergosip.
"Ah aku lebih parah lagi ... baru satu sentakan bayi kami sudah menangis. Jangankan untuk terbang, aku bahkan jatuh saat baru mulai memanaskan mesin," kata salah satu pria beristri yang diketahui baru buka puasa selepas kelahiran putra pertama mereka.
"Bah ... ngeri sekali kamu. Bisa-bisa hancur sperpat didalam sana jika kelamaan tidak berganti oli." Pria yang lain berkata meledeknya.
"Cenat-cenut, uring-uringan seminggu dia." Timpal yang lain lagi diiringi tawa garing pengunjung.
"Istriku semenjak berat badannya turun jadi semakin menggila saja aku. Sehari tidak menyentuh bisa tidak tidur semalaman aku," kata pria yang istrinya baru saja melakukan diet ketat yang sedang semarak didunia maya.
"Body istrimu memang ... aduhai sekali sekarang, Rustam." Pria yang satu lagi menimpali. Kemarin waktu istri si Rustam sedang belanja ke pasar kebetulan mereka berpapasan. Wanita gendut dan kumal yang dulu selalu jadi bahan ledekan mereka di Lapo tuak kini berhasil glow up. Sayang sekali wanita itu adalah istri si Rustam. Jika tidak ....
"Dasar Curut berani-beraninya kamu." Si A emosi, hampir melayangkan pukulan tapi, sadar itu hanya bercandaan. Dulu sewaktu istrinya masih jelek mereka juga sering membicarakannya.
Jika Ibu-ibu gosip memiliki nama perkumpulan PIG (Perkumpulan Ibu-ibu Gosipers) maka Bapak-bapak juga memiliki nama perkumpulan sendiri. BTS (Bapak-bapak Tukar suara).
"Ngomong-ngomong kemana ini si Monang? Semenjak menikah sudah tidak pernah lagi datang ke Lapo kita ini."
"Aku kemarin bertemu dia di sungai Air Mata yang di ujung kampung itu. Kalian tahu tidak? Dia sama sekali tidak menegurku. Sombong sekali dia." Kata salah seorang pengunjung yang baru saja tiba.
"Ah mana mungkin seorang Monang sombong. Bagaimanapun dialah yang selalu mentraktir dan mengamankan desa kita ini. Kalau tidak ada Monang tidak tahu lagi bagaimana kehidupan penduduk kampung ini." Salah satu dari mereka yang tadi belum sempat berbicara kini mengeluarkan pendapatnya.
"Tapi anehnya si Monang kulitnya jadi putih bersih," ucap pria yang baru saja akan buka puasa.
"Haha hebat sekali si hantu hitam itu bisa berubah menjadi putih dalam waktu dua hari," kata pria yang istrinya sudah glow up menimpali omongan tersebut. Nada mengejek terdengar jelas dari caranya berbicara.
"Hei, Lamhot. Kamu pergi dulu kerumah si Luhut panggilkan si Monang kesini. Agar bisa kita kerjain dia." Pria yang baru akan buka puasa menyuruh seorang anak lajang untuk memanggil, Monang.
"Ide yang bagus, bang. Kalau gitu aku akan menyeretnya juga ketempat ini sekarang juga." Anak lajang yang lain membuka suara.
Monang dikenal dengan sifat bar-barnya tapi, biarpun begitu dia sangat perduli akan ketentraman warga kampung. Sering sekali bertengkar dengan desa sebelah hanya ingin memperjuangkan hak para teman-temannya. Mereka lebih sering baku hantam karena seorang wanita.
Di hari Monang dan Uli dipergoki warga kampung sebenarnya mereka merasa kecewa. Namun kekecewaan itu tertutup karena materi yang dimiliki keluarga Uli maupun Monang. Uang mampu menutup mulut, mata dan telinga penduduk kampung.
Kedua pemuda yang disuruh menjemput, Monang sudah bersiap berjalan menuju kediaman Luhut. Jarak yang ditempuh tidak jauh, hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit.
"Enak sekali, ya jika kita memiliki uang," kata si pria yang memakai celana training.
"Kenapa kamu berbicara seperti itu?" tanya si pria satunya yang menggunakan sarung.
"Ingat tidak waktu kita memergoki mereka berzinah?" tanyanya.
"Ingat. Kenapa?" Pria bersarung kembali bertanya.
"Jika kita hanya penduduk bisa sudah dipastikan akan dimutasi ke desa terpencil yang di ujung hutan itu."
"Jangan seperti itu. Keluarga Uli dan Monang sangat membantu perekonomian desa kita ini. Jika tidak ada mereka mungkin sampai hari ini pemerintah tak pernah tahu tentang desa ini."
Usaha kedua keluarga itu di segala bidang mampu menarik minta warga luar untuk membeli produk yang mereka hasilkan. Harganya pun terbilang mahal. Ada harga ada kualitas. Untung saja mereka tidak bisa dibodohi. Berkat itulah mereka bisa memperlihatkan desanya ke dunia luar. Membuat pemerintah turun tangan untuk membenahi infrastruktur desa dengan syarat tidak boleh merubah adat istiadat.
"Memang benar keluarga mereka sungguh sangat berjasa untuk desa ini. Aku jadi termotivasi untuk memiliki uang seperti mereka," ucap pria yang tadi seperti meragukan.
"Bagaimana hubunganmu dengan si Sulis gadis kembang desa sebelah?" tanya pria bersarung mengalihkan pembicaraan.
"Sudah selesai. Gajiku tidak cukup untuk mengumpulkan uang panai," katanya terdengar putus asa.
"Memangnya dia minta berapa?" tanya pria bersarung kepo.
"50 juta belum lagi 5 kerbau dan segala hasil bumi. Harus dimana aku mencarinya?" ucapnya penuh keputusasaan.
Sementara dirumah keluarga Luhut sepasang pengantin baru sedang dijamu dengan sangat istimewa. Ikan Emas seberat 4.8 kilogram itu sudah dimasak bumbu kuning, dihidangkan diatas piring perak khas desa Suka hati. Ikannya sudah dipotong-potong tapi, mamak membentuknya menjadi satu ekor ikan yang siap santap.
Seluruh keluarga yang sekarang terdiri dari lima orang itu sudah duduk diruang TV. Beralaskan karpet malaysia keluaran terbaru. Karpet kesayangan Mamak yang untuk membelinya saja memerlukan waktu cukup lama karena lokasi mereka cukup jauh. Jangakan antar Negara antar Ibu Kota saja masih sulit. Janji pemerintah akan membangun jasa ekspedisi belum juga rampung padahal sejumlah dana sudah dikeluarkan keluarga berada di desa ini agar kehidupan mereka tidak tertinggal dibelakang. Dikarenakan mereka akan mengadakan acara sakral maka meja makan tidak digunakan untuk sementara.
"Pertama-tama kita panjatkan puji syukur dulu kepada Tuhan dan Putri Kayangan yang telah memberkati anak dan menantu kita serta adik dari Luhut anak tertua kita. Bapak disini hanya akan menyampaikan sedikit petuah yang semoga bermanfaat untuk kalian kedepannya." Bapak sebagai kepala rumah tangga telah membuka kata.
"Dengarkan itu," kata Luhut sedikit berbisik.
"Diam! ini acara ku. Abang jangan banyak bicara." Uli berkata sewot membalas bisikan Abangnya.
"Pak, inikan acara sakral seharusnya, Bapak pakai celana. Jangan menggunakan sarung belalai gajah berdiri yang hampir tidak pernah dicuci karena dipakai tiap hari," kata Luhut berniat baik.
"Dasar anak tidak tahu diri. Kamu saja sama seperti ku." Kenyataannya kedua pria satu darah namun, berbeda generasi itu memang lebih suka memakai sarung belalai gajah berdiri daripada celana.
"Like father like son," ucap Luhut tersenyum simpul.
"lik, lik, lik kamu kira Bapak mu ini burung perkutut," gerutu Bapak.
"Itu bahasa inggris. Artinya, bagaimana sifat Ayahnya begitu pula sifat anaknya." Luhut mencoba menjelaskannya.
"Alah masih makan ikan asin, tahu tempe saja sudah sok pakai bahasa Inggris," cibir Bapak.
"Pak, kita itu harus belajar internasional agar desa kita ini semakin makmur nantinya," kata Luhut benar. Pria berbadan kekar itu memang sedang mempelajari bahasa asing dan juga ilmu penjualan bahan pangan keluar negara.
"Sudah-sudah. Ini adalah acara Monang dan Uli bukan acara debat pria bersarung." Mamak berkata menengahi.
"Bapak yang mulai," kata Luhut protes
"Astaga anak ini ..." Mamak menjewer telinga Luhut.
"Ampun, Mak ampun," kata Luhut meringis kesakitan.
"Sudahlah mari kita mulai sekarang saja. Perutku sudah keroncongan. Cacing-cacing didalamnya minta di beri nutrisi." Uli yang sejak tadi memilih bungkam kali ini membuka suaranya.
Sedangkan Arya. Pria itu sedang santai melihat dan mendengarkan ocehan keluarga barunya.
"Hem ... hem ... satu, dua, tiga. Test, test ... selamat malam semuanya. Disini sudah terhidang Ikan Emas yang didapat dari sungai Ari Mata. Itu artinya bahwa Putri Khayangan memberkati Monang dan Uli sebagai pasangan suami istri. Mitos yang sampai detik ini kami percaya bahwa siapapun yang mendapat ikan ini kehidupan rumah tangganya akan langgeng sampai maut memisahkan."
"Hari ini mulai lah kehidupan rumah tangga kalian menjadi yang lebih baik lagi. Cobalah untuk saling terbuka. Melihat kalian sudah berteman sejak kecil Bapak dan Mamak semakin yakin bahwa kalian bisa melewati segala yang akan terjadi. Ingatlah satu hal bahwa apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan manusia."
"Monang, mulai hari ini terimalah putriku seutuhnya. Meski kalian berawal dari buruk tapi, cobalah untuk belajar menjadi baik. Cerita seluruh manusia dimuka bumi ini sama hanya jalannya saja yang berbeda."
Bapak berbicara panjang lebar sementara Arya yang fokus mendengarkan pikirannya sedang teralih. Tidak bisa berbohong akan jati diri lebih lama lagi. Nanti kalau orang tua Monang datang bagaimana? Orang tua pasti tahu mana anaknya yang sebenarnya. Sebelum kejadian itu terjadi ada baiknya mengungkap kebenaran terlebih dulu pikir Arya.
"Untukmu Monang. Kepala Ikan ini adalah perwujudan dirimu sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah agar siripmu bisa terus bergerak, agar badanmu bisa bertumbuh. Di kepala ini segala macam pikiran menjadi satu untuk bisa bertahan hidup dan teruntuk putriku. Belajarlah kamu dari ekor ikan yang tidak pernah melawan arah saat kemana kepala dan tubuh akan bergerak, tapi jika salah silahkan berontak karena bagaimanapun kita manusia bukan seekor ikan." Kali ini Mamak yang berkata awalnya terdengar sangat berwibawa tapi, ternyata out of the box.
Semakin banyak petuah yang diucapkan semakin membuat hati, Arya carut-marut. Perasaanya sudah seperti permen nano-nano berbagai rasa. Isi dalam otaknya tidak bisa fokus, ia dibayang-bayangi oleh rasa bersalah akan sebuah kebohongan. Padahal Tuhan pun tahu jika penduduk kampung lah yang salah menangkap orang.
"Pak, Mak sebelumnya saya mengucapkan banyak terimakasih untuk kalian semua. Disini saya akan menyampaikan sesuatu ...."
Uli sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Arya seolah paham akan kemana arah pembicaraan itu. Dia dengan cepat menggenggam tangan, Arya tersenyum semanis mungkin sambil menggelengkan kepala.
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu terdengar ditengah acara yang sedang mereka lakukan.
"Untunglah," ucap Uli dalam hati.