"Bagaimana kalau kita bikin tantangan 60 Day's I Love You?" kata Uli tiba-tiba. Ide itu datang begitu saja tanpa diundang.
"Maksudnya Bagaimana?" tanya Arya heran dalam hati kecilnya malah berfikir hal apalagi yang akan dilakukan Uli padanya.
"Dalam waktu 60 aku akan membuat Abang mencintaiku," ucap Uli dengan penuh percaya diri.
Pancaran matanya menggambarkan girang yang tak terucap ia yakin misi ini akan berhasil.
"Bagaimana bisa?" tanya Arya lagi. Seumur hidup dia belum pernah mencintai seseorang begitu cepat.
Dulu saja waktu bersama mantan kekasihnya ia melakukan pendekatan hampir satu tahun.
Namun, lama kelamaan saat nyaman begitu besar hubungan malah merambat kejenjang yang tidak seharusnya.
"Entahlah ... aku belum memikirkan caranya." Ide konyol itu saja datang tiba-tiba saat memandang jernihnya air sungai.
Strategi belum disusun hanya baru merencanakan saja.
"Lalu?" Arya mengernyitkan dahi, bingung.
Namun, mencoba untuk berprasangka baik. Bagaimana bisa Uli mengusulkan hal itu saat ia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Kalau aku berhasil bagaimana?" Uli kembali bertanya. Otaknya sedang memikirkan cara terbaik untuk masa depannya kelak.
Arya hanya mengangkat bahu sembari menggelengkan kepala.
Apapun yang dilakukan Uli setidaknya itu terbaik untuk rumah tangga tak terduga ini. Mundur juga tidak mungkin.
Lebih baik belajar berjalan menyusuri lekuk kehidupan agar menemukan arti yang sesungguhnya.
"Dalam waktu 60 hari jika aku berhasil membuat Abang mencintaiku maka, Abang harus membawaku ke kota."
Uli tersenyum penuh arti dibalik ucapannya.
"Bilang saja jika kamu ingin ke kota bersamaku. Tidak perlu melakukan hal ini."
Arya ingat saat hari pertama mereka menikah. Saat mereka tidak saling mengenal, saat baru bertatap muka setelah pesta melelahkan, Uli meminta dibawa ke kota oleh Arya.
"Hal ini sangat penting untuk hubungan kita kedepannya, Bang. Aku bukan berarti begitu menginginkan tinggal di kota. Aku hanya sedang berusaha memperjuangkan rumah tangga dengan caraku sendiri."
"Lalu jika aku yang menang? Aku yakin sekali bahwa aku menang. Selama hidup aku belum pernah mencintai seseorang secepat itu."
Arya berkata dengan penuh kepercayaan diri.
"Abang juga harus membawaku ke kota," jawab Uli santai senyum penuh arti itu belum lepas dari bibirnya.
"Hanya ada cara itu saja agar kamu bisa keluar dari desa ini. Haha," sambungnya lagi.
Kali ini tawa Uli terdengar begitu riang meski ada nada mengejek didalamnya.
"Itu namanya kamu curang!" pekik Arya tidak terima. Kesepakatan ini seolah menjadi keuntungan ganda untuk Uli. "
Sebenarnya apa yang mau kamu cari di kota?" tanya Arya, ada rasa penasaran mengapa istrinya begitu ingin pergi ke kota.
"Tidak ada. Aku hanya ingin pergi jauh dari desa ini bersama suamiku."
Uli menjawab dengan mantap, tak terdengar keraguan sedikitpun dari ucapannya.
"Alasan ..." cibir Arya kesal. Ini pasti hanya akal-akalan Uli saja atau ada sesuatu yang tidak beres pikir Arya.
Uli mendelik kesal usahanya belum membuahkan hasil.
Padahal niatnya pergi ke kota untuk kebaikan hubungannya dengan Arya.
Jika suatu saat penduduk kampung tahu bahwa suaminya bukanlah, Monang entah hal apa yang akan terjadi.
Sepertinya tanaman itu butuh lebih banyak air dan pupuk lagi agar bisa membuahkan hasil menuruti keinginan Uli.
Tinggal di kota bersama pasangan hidup sudah menjadi impian Uli sejak kecil.
Melihat hiruk pikuk kendaraan, lampu-lampu jalan yang menyala disepanjang malam lewat jendela kamarnya.
Kebanyakan menonton sinetron di TV membuat wanita itu tergila-gila akan gemerlap kehidupan kota.
"Berapa lama kamu di kota dulu?" Arya bertanya setelah tak mendapatkan respon dari istrinya.
Arya tidak tahu bahwa istrinya sedang memikirkan strategi baru.
"Hampir empat tahun," jawab Uli cepat.
"Masih baru ... kamu hanya menikmati keindahan kota tanpa melihat sisi lainnya.
Aku malah lebih suka tinggal di desa. Disini tenang, segalanya bisa dilakukan untuk sesuap nasi tanpa harus menjadi budak orang." Arya berkata penuh makna.
"Uli, apakah aku sangat mirip dengan Monang?" sambung Arya bertanya.
Sejak awal dia sudah ingin menanyakan hal ini tapi, belum menemukan waktu yang tepat.
"Emmm ... menurutku pribadi tidak." Uli berkata sambil memandang suaminya dari atas sampai bawah.
"Lantas kenapa warga kampung bisa mengira bahwa aku adalah Monang?" tanya Arya
penuh keheranan.
Jika memang tidak begitu mirip lalu kenapa bisa salah orang seperti ini.
"Dari bentuk wajah kalian sangat mirip. Seperti anak kembar. Postur kalian tubuh berbeda, warna kulit juga sangat berbeda. Suaramu apalagi ... suaramu berat, kamu bisa dikenali dengan seorang yang berwibawa hanya dari cara bicaramu. Kalau Monang suaranya lebih seperti suara anak kecil pecicilan," kata Uli sambil menerawang mengingat, Monang yang memang berbeda dari Arya jika dilihat teliti.
"Jika perbedaan diantara kami begitu mencokok lantas mengapa warga kampung tidak bisa begitu mengenalinya," ucap Arya masih belum mengerti.
"Aku juga tidak tahu. Aku tidak ada disana waktu kejadian itu. Lagian tadikan sudah aku katakan wajah kalian sangat mirip. Seperti anak kembar. Tingginya sama, hanya warna kulit dan suara saja yang berbeda. Tatanan rambutmu saat ini saja sama seperti, Monang." Uli memperjelas ucapannya agar sang suami yang tingkat kecerdasannya belum diketahui Uli itu paham.
Arya memiliki kulit putih, tubuh tegap. Perut kotak-kotak yang sering disebut dengan roti sobek.
Perut artistik itu terlindung sempurna dibalik pakaian yang ia gunakan. Dari raut wajah serta tinggi Arya dan Monang memang pantas disebut saudara kembar.
Arya versi putih. Monang versi hitam dengan perut buncit khas bapak-bapak di kedai tuak.
"Marilah kita pulang. Lama-lama disini aku akan menjadi gosong nantinya," ajak Arya yang mulai merasakan sinar matahari begitu terik mengenai pori-pori kulit halusnya.
"Tidak, Abang belum mengiakan tantangan ..." Uli menolak mentah-mentah.
Mereka harus menyelesaikan dulu masalahnya disini baru bisa pulang.
Mereka juga belum membuat satu janji masing-masing.
"Nanti saja dirumah." Arya mengelak.
"Kita belum mengucap janji. Abang juga belum memberi jawaban. Jangan lupa tujuan datang kesini bukan hanya untuk melihat keindahan tapi, juga mengungkapkan suatu hal yang mengganjal di hati," kata Uli mencoba menjelaskan lagi.
"Uli ... sudah ku katakan bahwa kita akan memulainya. Berawal dari teman, berusaha saling mengenal satu sama lain, berusaha saling memahami, berusaha untuk menjadi pasangan yang baik. Kita bukan sedang pacaran tapi, sudah menikah. Jika aku melanggarnya sama saja aku menolak rencana Tuhan. Perlu kamu tahu bahwa aku hanya ingin kamu menjaga nama baikku didepan orang lain," jelas Arya, sangat terlihat matanya memancarkan aura kesungguhan dari kata-kata yang ia ucapkan.
Dihari Arya mengucapkan janji dihadapan Tuhan ada secuil rasa dalam hatinya untuk tidak mengingkari.
Marah? Hal itu sudah pasti ada dalam dirinya tapi, mau bagaimana lagi takdir berkata lain. Mau tidak mau Arya harus menerimanya.
Hal itu sudah berlalu. Berontak pun tidak ada gunanya, jika ingin melawan sebaiknya dilakukan dari kemarin.
Hati dan pikirannya saja berontak saat itu, harusnya ia melawan tapi, tidak dilakukan. Yang sudah terjadi yasudah lah pikir Arya.
"Intinya kalau dalam 60 hari aku berhasil membuat, Abang jatuh cinta maka kamu harus membawaku ke kota. Hidup sebagai sepasang suami istri sesungguhnya." Uli berkata tegas. Terdengar begitu egois memang tapi, inilah caranya mempertahankan sesuatu yang sudah menjadi hak milik.
"Baiklah ... aku Arya Wiraguna menerima tawaranmu." Lagi-lagi pria itu mengalah dengan keadaan.
"Sekarang mari masing-masing kita ucapkan satu sumpah untuk harapan kedepannya." Uli tersenyum bahagia. Sangat jelas raut bahagia itu terlihat di wajah wanita yang sedang memperjuangkan rumah tangganya. Jika didalam cerita novel-novel keduanya akan menolak dan sepakat untuk bercerai maka, disini Uli malah berusaha mempertahankan meski tidak saling mengenal.
"Caranya bagaimana?" tanya Arya.
"Tatap mata Ikan Emas yang kita dapat tadi lalu ucapkan permintaanmu dalam hati. Kita mulai sama-sama," jelas Uli pada sang suami.
Keduanya sudah memandang ember yang berisi Ikan Emas seberat lima kilogram hasil pancingan Arya.
Netra mereka memandang lekat mata seekor ikan yang dipercaya sebagai keberuntungan itu.
Mengucapkan permintaan terbaik untuk hidup kedepannya didalam hati.
Setelah selesai keduanya saling pandang. Terlihat keteduhan, kelegaan dari mata sepasang suami istri itu.
Entah apa harapan yang diminta tapi, semoga itu terbaik untuk pernikahan mereka.
Selesai dengan segala hal yang harus dilakukan mereka memutuskan untuk pulang kerumah.
Sepanjang jalan udara tidak begitu dingin karena terik matahari yang semakin menyengat.
Uli dengan setia tidak melepaskan topi dan mengaitkan tali antara hoodie dengan topi begitu ketat.
Tujuannya hanya satu untuk menutup bekas kemerahan dileher hasil karya suaminya pagi tadi.
Sepanjang perjalanan saat memasuki area penduduk desa Suka Hati terdengar desas-desus akan pengantin baru yang sedang mengendari motor itu.
"Haha ternyata si Monang sangat rakus. Baru kali ini pasangan pengantin baru memiliki tanda merah."
"Eh ... ehh itu dia pasangan pengantin baru kita. Sepertinya mereka baru dari sungai Air Mata."
"Ternyata benar perkataan Keleng bahwa leher, Uli penuh dengan tanda kemerahan. Jika tidak mana mungkin ia menutup kepalanya dengan topi seperti itu."
"Heii pengantin baru! Berhenti!" panggil salah seorang mamak-mamak di perkumpulan Ibu Gosip.
"Apa?" tanya Uli kesal. Meskipun berada diatas motor tapi, dia masih bisa mendengar dengan sangat jelas perkataan para Gosipers itu.
"Jangan kesal pengantin baru. Kami hanya ingin melihat hasil karya suamimu."
"Hahaha," tawa Ibu-Ibu gosip itu.
"Minta saja pada suami kalian masing-masing. Sudah, Bang ayo kita pulang. Jangan perdulikan Mamak-mamak tukang gosip ini."
Arya melajukan sepeda motornya lagi. Keheranan terlihat jelas diwajahnya.
Siapa kira-kira yang membeberkan masalah ranjang pada orang sekitar? atau jangan-jangan Bang Luhut dan Naina pikir Arya.
Sementara Uli sedang kesal setengah mati. Berbagai sumpah serapah ditujukan untuk Keleng.
Boleh-boleh saja pria hitam itu bergosip tapi, jangan sampai menggosipkan kerakusan suaminya diatas ranjang.
Uli sungguh tidak terima. Amarah memenuhi dadanya, kepalanya merah, berasap siap menyemburkan lava.
Jika nanti bertemu Keleng maka tamat lah riwayat TV berjalan itu.