Chereads / twenty four hours / Chapter 22 - Bab 22/Hanya Beban Otak

Chapter 22 - Bab 22/Hanya Beban Otak

Kelompok Kimia nomor tiga memasukkan alat-alat praktek mereka ke dalam kotak berwarna putih. Alat-alat itu baru saja digunakan untuk mempraktekkan reaksi asam dan basa pada pelajaran Kimia dengan Pak Surya hari ini.

Kelompok-kelompok lainnya menaruh alat-alat praktek mereka ke dalam dua buah kotak putih di depan meja Raka, karena Raka lah yang bertanggung-jawab untuk mengembalikan alat-alat Laboratorium yang dibawa ke kelas. Sebenarnya mereka tidak perlu melakukan hal ini, jika kelas 12 saat ini tidak menggunakan Laboratorium di jam yang sama dengan mereka. Mau bagaimanapun, mereka harus tetap mengalah.

"Tugas hari ini sudah selesai. Tinggal presentasi kelompok Minggu depan!" ucap Raka sembari menepuk-nepuk kotak di depannya dengan lega.

"Presentasi minggu depan, suruh Mimi aja yang menjawab pertanyaan kelompok lain! Mimi kan pandai bersilat lidah. Bahkan bisa mematikan omongan lawan dengan sekali smash." usul Zafran diiringi cengiran usilnya.

"Kayak main Badminton aja," tambah Raka.

"Bukan! tapi main Bola Voli." Ucap Zafran lalu ber-tos ria dengan Raka.

Kayla yang sibuk dengan alat-alat praktek di mejanya hanya menatap Zafran dengan miring dan tajam, gadis itu menaikkan kacamatanya dengan kasar seperti isyarat mengibarkan bendera perang pada Zafran. Bahkan, gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan satu patah katapun pada Zafran sejak tadi pagi, karena mengingat kejadian tempo hari.

Zafran mengatupkan kedua telapak tangannya pada Kayla, menunjukkan raut bersalahnya. "maaf, Mi! gue beneran nggak sengaja jatuhin payung bunga-bunga seperti di taman bunga punya lo!"

Zafran mengeluarkan dua jarinya, "suer, deh! demi keripik tempe dan uang saku gue. Kalau bisa, gue suruh Papa gue ganti dengan pabrik-pabriknya. Lo mau apa? motif bunga? cagar alam? marga satwa? kebun raya? taman nasional? atau Hutan Amazon? Papa gue beliin! "

Kayla memutar bola matanya malas, dan mendecih keras tidak ingin peduli dengan ucapan Zafran. Semakin ia meladeni Zafran, maka akan semakin cepat darah tingginya menaik.

"Zafran, lo yang ngantar ini ke Laboratorium, ya?" Raka menengahi.

Zafran menatap Raka tidak santai, "gue? kenapa gue? ini tugas Anda Bapak Ketua?" protes Zafran tidak terima.

"Sebagai ganti untuk presentasi minggu depan," ucap Raka "lo tinggal milih! bertugas mengantar ini, atau menjawab pertanyaan saat presentasi?"

"Pilihan lain ada nggak?" tawar Zafran.

Raka berdehem panjang memikirkan hal yang tepat, lalu cowok itu mengangguk antusias. "atau kerjakan semua laporan yang tadi ke dalam kertas."

Zafran berdecak keras, menurunkan bahunya dengan pasrah mendengar tawaran dari Raka. Raka tersenyum puas, menepuk bahu Zafran berkali-kali.

"Ini sebagai bentuk peduli gue dengan nilai Kimia, lo! gue tahu lo nggak terlalu membantu, jadi gue buat lo supaya terpaksa membantu." jelas Raka. Zafran hanya menghela pasrah aja, lalu teringat sesuatu. Cowok itu menunjuk Bintang dengan cepat, membuat Bintang kaget sendiri.

"Terus Iblis ini? dia juga nggak membantu di kelompok ini!" protes Zafran mengingat jika Bintang satu spesies dengannya.

Bintang mengangkat tangannya, "tugas gue membelikan makanan di kantin. Karena hari ini kita udah bosan makan makanan sekolah. Jadi, kita akan membeli Mie Ayam Bakso!" elak Bintang semakin membuat Zafran mendengus kesal. Dan lebih parahnya, Raka mengiyakan tawaran dari Bintang.

Zafran menggeleng masih menolak, "gue nggak mau! yang lain aj...."

"Biar saya saja!" ucapan Zafran terpotong, semua mata di meja kelompok tiga kini menuju ke arah Sarah yang tiba-tiba mengacungkan tangannya.

"Saya saja yang ngantar! saya ingat tempatnya. Saya juga sedang menuju ke sana." tawar Sarah lagi.

Yang lain saling berpandangan satu sama lain, sedikit ragu jika Sarah yang mengantarnya. Alasannya karena kotak yang harus dibawanya berjumlah dua buah, jika Zafran sendiri yang membawa, itu tidak akan masalah karena Zafran punya tenaga yang kuat.

Yang kedua, mereka tidak yakin jika Sarah tahu tempatnya. Bagaimana jika Sarah salah menaruh? meskipun Sarah mengatakan jika ia ingat, tetap saja mereka merasa kurang yakin.

"Mbaknya serius?" tanya Zafran ragu pada Sarah.

Sarah mengangguk meyakinkan, "ya! saya tahu tempatnya."

Semuanya berpandangan satu sama lain lagi, detik berikutnya mereka mengangguk bersama berkali-kali. Lalu, Kayla menunjuk pada Zafran.

"Tetap harus lo!" tajam Kayla pada Zafran.

Zafran melongo kesal, menunjuk dirinya dengan tidak percaya, "gue?" tanya Zafran.

"Kata Papa gue, kita nggak boleh menolak kebaikan seseorang. Itu namanya, menolak rezeki."

Mendengar pembelaan Zafran yang tak habis-habisnya, Kayla membulatkan mata dan menggertakkan gigi pada Zafran, sebagai isyarat yang seakan-akan berkata, 'payung itu beneran gue minta pabriknya dengan motif Taman Nasional Komodo'

Mendapat tatapan dari Kayla, membuat Zafran menelan ludahnya, dengan cepat menarik satu kotak peralatan Laboratorium, dan menjinjingnya. Diikuti oleh Sarah yang hendak menyusul.

Zafran tiba-tiba berbalik, menatap Bintang dengan sendu. Cowok itu menghembuskan nafasnya berat.

"Bin! Mie Ayam gue nggak pakai saus, nggak pakai sambal, juga tidak pakai kol!"

***

Zafran dan Sarah berjalan beriringan sembari menjinjing kotak putih berisi peralatan Laboratorium tadi. Dua pasang sepatu putih itu berjalan dengan selaras secara bersamaan. Tidak ada yang membuka pembicaraan selama beberapa menit lalu. Hingga, Zafran mulai jengah dengan keadaan dan menggumam panjang.

"Hai Mbak! perkenalkan, nama saya Zafran Andara Romero, sekelas dengan Mbaknya, saya cowok dengan label tampan, mapan dan sopan. Jika ada yang kurang dari perkenalan saya, mohon beritahu saya!" ucap Zafran yang hampir melupakan kegiatannya setiap hari, yaitu memperkenalkan diri.

Sarah tersenyum hangat dan mengangguk, "iya"

Hanya sampai di situ, lalu tidak ada lagi pembicaraan. Zafran benar-benar tidak nyaman. Setelah beberapa detik terdiam dan berfikir, Zafran pun kembali berdehem panjang.

"Mbak Amnesia!" panggil Zafran, Sarah langsung mengalihkan pandangannya pada Zafran." gue sebagai pengingat, ingin bertanya. Apakah ada yang Mbak mau tanyakan pada saya tentang hari-hari kemarin?"

"Pertanyaan seperti apa?" tanya Sarah,

"Ya terserah mau nanya apa! 'kemarin Saya udah senyum nggak?', ' kemarin Saya ngeselin nggak?', 'kemarin Saya numpahin sup wortel ke celana cowok paling tampan, mapan dan sopan, nggak?' seperti itu." jelas Zafran.

Sarah terlihat sedang berfikir sembari berdehem panjang, lalu menatap Zafran dan menggelengkan kepalanya, "nggak ada."

Zafran menghela pasrah, "kalau ada yang mau ditanyakan, tanya aja sama gue! asalkan jangan tanya nomor atom dan nomor massa sebuah atom, ya! apalagi molekul, senyawa, ataupun unsur."

Sarah tanpa sadar terkekeh pelan, mengangguk kecil merespons ucapan Zafran, "iya." balas Sarah apa adanya.

"Sepertinya Saya tahu alasan mereka menyuruh Anda mengantar semua peralatan ini." ucap Sarah menebak jika cowok di depannya ini sama sekali tidak membantu dalam praktek Kimia. Sehingga mereka menyuruh Zafran untuk bertanggungjawab dalam menaruh peralatan.

Zafran mendengus tidak terima, menatap Sarah dengan tidak santai. Zafran merangkul kotak di tangannya dengan satu tangan di samping. Dan tangan satunya memukul-mukul dadanya.

"Gue ini hanya malas mempelajari pelajaran yang bersangkutan dengan IPA ataupun Matematika." bela Zafran sudah tahu arah fikiran Sarah, "di pelajaran lain, gue sangat pintar. Mister Budi bisa kalah kalau tanding speaking Bahasa Inggris dengan gue!"

"Ilmu Kewarganegaraan dan hukum?" Zafran mendecih sombong, "bisa-bisa gue langsung dicalonkan menjadi Pengacara dan Hakim. Terus, Sejarah? Zaman Arkaikum bisa gue jabarkan dengan rinci. Bahkan Thomas Alva Edison mendengar gue, bakal berfikiran kalau gue kerabat dia. "

Zafran tidak henti-hentinya menyombongkan dirinya. Merasa tidak terima jika dirinya dianggap remeh. Memang benar, ucapan Zafran tidak sepenuhnya salah. Daripada pelajaran berbau IPA dan Matematika, Zafran lebih suka semua pelajaran di luar pelajaran itu.

"Seharusnya gue nggak masuk kelas IPA!" decak Zafran meratapi nasibnya.

Mendengar penjelasan Zafran, Sarah mengangguk saja. Antara percaya dan hanya mengiyakan saja. Entahlah, Sarah sangat sulit ditebak. Zafran kini menatap Sarah serius.

"Terus, lo! kenapa gue selalu lihat lo membaca buku-buku Anatomi maupun Fisika?" tanya Zafran benar-benar penasaran.

"Sepertinya saya punya cita-cita jadi Dokter." balas Sarah menatap hambar ke depan.

"Sepertinya?" tanya Zafran lagi. "memang lo nggak yakin?"

Sarah mengangguk, "dari dulu sepertinya saya nggak punya tujuan. Sehingga saya memutuskan belajar dengan giat untuk bisa jadi Dokter."

"Dan lo bisa mengingat tujuan lo itu?"

Sarah mengangguk lagi, "iya, karena setiap tekad yang saya keluarkan di saat saya amnesia. Maka, tekad itu akan terikat dengan batin saya."

Zafran berdehem, "jadi, diri lo sudah tahu dengan sendirinya tujuan lo, meski lo nggak bisa ingat apa-apa?"

Sarah mengiyakan, takjub dengan pemahaman Zafran yang begitu cepat saat dijelaskan. Sarah jadi tidak perlu menjelaskan dengan panjang lebar. Ternyata otak Zafran tidak gampang ditebak.

"Kalau gitu, lo yakin bisa buat jadi Dokter?" tanya Zafran yang kini masih dalam mode 'kepo'. "soalnya, gue yakin lo bahkan nggak bisa ingat pelajaran yang lo pelajari dalam sehari."

Sarah tidak membalas sama sekali, tatapannya sendu menatap bawah, sangat lama untuk Sarah bisa berkata kembali. Membuat Zafran dengan cepat mengatupkan bibirnya rapat, takut jika ia tadi salah bicara. Apa kata-katanya begitu kejam? apa Sarah sakit hati mendengarnya?

Terdengar Sarah menghembuskan nafasnya panjang, mengangkat kepalanya menatap Zafran dengan senyum yang mengembang.

"Saya tahu," jawab Sarah, "saya hanya ingin punya tujuan. Orang seperti saya bahkan nggak punya dan nggak ingat jika punya cita-cita. Saya ingin seperti anak-anak normal lainnya yang punya cita-cita."

"Meskipun saya hilang ingatan, saya ingin sekali berkata, 'saya ingin jadi ini, ataupun itu!'. Yah! saya juga nggak yakin mau jadi Dokter. Hanya sekedar cari tujuan saja."

Zafran menelan ludahnya dengan susah payah, merasa bersalah sekaligus merasa kasihan mendengar Sarah. Meskipun Sarah sudah pernah mengatakan jika ia tidak suka dikasihani, tapi tetap saja Zafran tidak bisa mengelakkan perasaan itu. Zafran rasanya serba salah.

"Karena itu lo belajar dengan keras dalam seharian penuh? meskipun lo tahu itu bakal sia-sia?" tanya Zafran tidak habis-habis.

Lagi. Sarah terdiam lagi, tidak mengeluarkan satu patah katapun dalam beberapa saat, matanya kembali menatap kosong pada jalan di depannya. Dan lagi, membuat Zafran mengatupkan bibirnya. Cowok itu tidak henti-hentinya merutuki mulutnya yang berbicara tidak tahu landasan. Entah kenapa, mulutnya seperti melebihi pertanyaan acara gosip di televisi.

"Karena ingatan saya yang hanya bertahan selama sehari, membuat otak saya dengan mudah mengingat kejadian. Otak saya terasa kosong di pagi hari, dan karena otak saya tidak banyak terisi, membuat saya dengan mudah dan dengan kuat mengingat kejadian-kejadian di sekitar saya." jawab Sarah pada akhirnya tanpa memandangi Zafran. Kini Zafran berhenti merutuki dirinya, dan dengan fokus mendengar Sarah.

"Karena itu, sangat mudah buat saya membaca dan mengingat satu buah buku besar dalam sehari. Alasan lainnya, saya hanya ingin membebani otak saya."

Mendengar itu, Zafran mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Sarah seperti sedang memberinya teori-teori.

"Karena kekosongan otak saya, membuat saya ingin membebaninya." mata Sarah menatap ubin dengan sendu, "saya selalu berfikir, jika saya mengisi otak saya dengan penuh dan keras. Mungkin otak saya akan lelah, kemudian mengembalikan ingatan saya seperti dulu karena tidak sanggup menahan beban."

Kini Sarah beralih menatap Zafran dengan senyum yang sangat jelas dipaksakan. Matanya seperti mengalirkan sesuatu yang dalam, raut wajahnya seperti seseorang yang tengah keletihan.

"Dan saya tahu, kalau itu pemikiran konyol dan sia-sia dari saya." ucap Sarah.

Zafran terdiam, benar-benar speechless, untuk sekian kalinya, Zafran tidak dapat mengelakkan diri jika ia benar-benar merasa kasihan pada cewek di sampingnya ini. Benar-benar memprihatinkan. Tidak seharusnya Zafran bertanya, sungguh mulut Zafran yang tak tahu tempat mendarat!

"Maafkan gue, Mbak Sarah! sepertinya gue nggak bisa jika nggak kasihan pada Mbak." lirih Zafran sendiri dengan suara kecil agar Sarah tidak mendengarnya.

Zafran menghembuskan nafasnya, mengangguk kecil.

"Tapi tetap aja, nilai lo jadi tetap terjamin, dan nggak ada masalah pada mata pelajaran lainnya. Memangnya, lo ada kesulitan dalam mengingat hal lain?" tanya Zafran sekaligus merasa merasa iri.

Sarah terkekeh kecil menatap Zafran, "sepertinya Anda cocok jadi Wartawan!" canda Sarah.

Zafran tiba-tiba mengangguk, "benar juga! boleh gue kasih tahu sama Papa, nih!" Ucap Zafran menyadari jika dirinya banyak bertanya.

Sarah kemudian menggeleng, hendak menjawab pertanyaan Zafran sebelumnya. "ada! saya selalu kesulitan dalam Olahraga. Mungkin saya dari dulu memang terlalu kaku dalam pelajaran itu. Saya juga iri, setiap kali bisa melihat orang-orang dengan mudahnya memegang, menendang, dan melempar bola"

Tiba-tiba, langkah Zafran terhenti, membuat Sarah juga ikut menghentikan langkahnya. Sarah menatap bingung pada Zafran yang kini sedang terdiam hampa melihat ubin di bawah. Zafran sama sekali tidak mengatakan apapun. Membuat Sarah kebingungan sendiri.

Tak lama, Zafran mengangkat kepalanya, beralih menatap Sarah dengan tatapan hampa. Zafran meneguk ludahnya,

"Basket? gimana dengan basket?"