Chereads / twenty four hours / Chapter 21 - Bab 21/Jati Diri Sebenarnya

Chapter 21 - Bab 21/Jati Diri Sebenarnya

"Ge...Gembul..!" lirih Zafran dengan lemah.

Sarah mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari maksud dari ucapan Zafran yang didengarnya.

"A..apa?" tanya Sarah tidak mengerti. Sementara Zafran hanya diam mematung sembari menatap Sarah dengan mata memanas. Membuat Sarah menjadi takut sendiri.

"Anda marah, ya? saya benar-benar minta maaf!" Sarah hendak menyentuh pundak Zafran untuk menyadarkan cowok itu, tapi Zafran langsung memundurkan langkahnya, membuat Sarah mengurungkan niatnya.

Zafran mengusap wajahnya tersadarkan, sepertinya ia sedang terbawa suasana. Lalu, cowok itu tertawa kecil dan menatap langit-langit dengan tatapan tidak percaya, berkali-kali Zafran mendengus.

"Wah.. gue kenapa? gue memang nggak waras hari ini!" ucap Zafran pada dirinya sendiri.

Sarah memiringkan kepalanya menatap Zafran heran. Semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Zafran.

Melihat Sarah yang kebingungan, Zafran mengibaskan tangannya dengan cepat, tersenyum lebar sebagai isyarat jika dia tidak apa-apa.

"Jangan terlalu pikirkan gue! pasti bingung kan lihat gue?" pinta dan tanya Zafran. Zafran berkacak pinggang, menatap ke sembarang tempat, cowok itu mendengus pelan sembari mengipas-ngipas lehernya yang panas padahal sedang hujan.

"Wah... sepertinya ini efek petir yang langsung menyambar otak dan pikiran gue! asupan keripik tempe gue akhir-akhir ini juga kurang." Zafran menatap Sarah lagi, "gue memang aneh, jadi dimaklumi aja, ya!"

Sarah tersenyum kikuk, mengangguk pelan untuk merespons ucapan Zafran. Detik berikutnya, Sarah menunjuk ke arah payung yang tergeletak di bawah hujan, payung yang sudah bercampur dengan lumpur. Dan yang lebih parahnya lagi, payung dengan motif yang tidak lagi sempurna. Payung yang robek!

"Itu... payungnya!" ucap Sarah.

Zafran mengikuti arah telunjuk Sarah. Matanya berkedip berkali-kali melihat kondisi payung yang tergeletak. Riwayat Zafran sedang terancam.

Tak lama, seorang gadis keluar dari kelas sembari bersenandung bahagia. Kakinya terhenti di depan pintu ketika melihat sebuah payung yang tidak asing sedang dalam kondisi kritis di bawah sana. Hati bahagianya dalam sekejap hilang hanya karena sebuah payung.

Zafran berbalik, mengeluarkan jari telunjuk dan jari tengahnya sembari tersenyum lebar pada gadis berkacamata yang dipanggilnya 'Mimi' itu. Mau bagaimana pun, Zafran tetap memaksakan senyumnya.

"ZAFRAN..!!!! PAYUNG GUE!"

***

Cowok dengan baju kaus garis-garis, rambut yang masih acak-acakan dan basah duduk di depan meja Ruang Tamu. Ia memilih duduk di bawah lantai daripada di atas sofa, dengan satu lutut sejajar dengan dagu. Cowok itu menaruh susu panas di atas meja, dan satu keranjang jeruk.

Cowok yang tidak lain adalah Zafran itu, mengupas kulit jeruk yang ke-lima miliknya. Menatap kosong pada televisi, tapi seperti biasa tidak tahu apa yang sedang ditonton olehnya. Zafran sedang hanyut dalam pikirannya sendiri. Zafran mendesis panjang,

"Kenapa bisa gue sempat berfikir seperti tadi?" tanya Zafran tak habis fikir pada dirinya sendiri.

"Gembul?" Zafran mendecih, "wah... gue masih berfikir tentang dia?"

Zafran menaruh kulit jeruk yang telah dikupasnya dengan kasar di atas meja, lalu memakan jeruk dengan kunyahan cepat, membuang bijinya ke sembarang tempat.

"Sarah? cewek kuncir? Mbak Amnesia itu?" Zafran menunjuk-nunjuk ke sembarang arah seakan orang yang sedang dibicarakannya itu ada di sana. "Nggak mungkin! mustahil! dia hanya cewek yang suka ikut urusan orang, pencinta IPA, dan pecinta coklat!"

Zafran tiba-tiba terdiam, merenungi apa yang telah diucapkannya. Mulutnya berhenti mengunyah,tatapannya berubah kosong, jeruk di tangannya ikut terjatuh di atas meja.

"Coklat? coklat mint?" tanya Zafran mengingat jika Sarah adalah orang yang sangat suka dengan coklat, apalagi jika itu adalah coklat mint. Sangat mirip dengan orang yang dipikirkannya.

Zafran menggeleng pelan berkali-kali, semakin tidak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri. Zafran mengacak rambutnya frustasi, dan membenturkan kepalanya di atas meja berkali-kali dengan frustasi.

"Gue hari ini memang nggak waras! coklat bisa disukai oleh semua orang, kan? gue hari ini memang gila! nggak waras!"

"Lo setiap hari memang nggak waras!" ucap seseorang, membuat Zafran membalik kepalanya ke belakang, mendapati Kakaknya yang sedang berjalan cepat menuju kamarnya, walaupun terlihat sedang buru-buru, Kakaknya itu masih saja sempat meladeni Zafran.

Zafran mendesis, "lo setiap jam nggak waras!" balas Zafran tidak mau kalah.

"Lo setiap menit!"

"Lo setiap detik!"

Eggy memberhentikan langkahnya yang hampir menaiki tangga, membalik badannya menatap adiknya, ia tersenyum sumringah pada Zafran.

"Lo setiap 0,00005 detik!" balas Eggy semakin menyudutkan Zafran. Lalu, berbalik dan melanjutkan jalannya meninggalkan Zafran dengan senyum puas dan penuh kemenangan.

Zafran terdiam kebingungan, sangat susah menghitung jumlah Nol yang dikatakan Eggy, Zafran mendecak kesal, kembali menatap televisi. Zafran baru menyadari jika yang ia tonton adalah film para Remaja cinta segitiga, segi empat, segi lima, bahkan segi tiga bermuda.

"Otak gue terlalu polos dan jernih untuk bisa menonton film seperti ini!" Zafran menggeleng, mengambil remote, dan menukar ke siaran Tom And Jerry. Siaran yang sangat cocok untuk dirinya dan Eggy.

Zafran kembali mengambil sebuah jeruk baru, mengupasnya, dan memakannya. Ia jadi tidak terlalu memikirkan pikiran anehnya yang tadi. Sepertinya, Eggy sangat membantu juga.

Tidak lama, Eggy turun dari tangga, membawa berbagai tumpukan kertas, dan menghitung kertas di tangannya satu-persatu untuk memastikan. Zafran sudah tahu jika itu kertas yang berhubungan dengan daftar-daftar pasien Eggy yang dibawanya pulang.

Eggy berdiri di samping sofa, berkacak pinggang menatap Zafran, lalu menghela nafasnya panjang.

"Jadi, pikiran apa yang sedang mengganggu adik gue, sehingga membuat adik gue ini berfikir? padahal biasanya sangat malas untuk berfikir. Angin apa yang melalui adik gue ini?" tanya Eggy peka setelah melihat tingkah Zafran.

"Angin Muson Barat!" balas Zafran mendengus.

Eggy membungkuk, menepuk bahu Zafran pelan.

"Semoga angin itu selalu melalui lo, Aran! agar membuat lo terus berfikir."

Zafran memutar bola matanya malas, memilih untuk melanjutkan memakan jeruk miliknya.

"Oh, iya! kenapa lo pulang, Kak?" tanya Zafran baru menyadari. Biasanya, Eggy memiliki berbagai alasan jika ia pulang di jam kerjanya.

Eggy melirik jam tangannya sekilas, "ini waktu makan siang. Gue memilih untuk pulang, karena ada yang harus gue ambil, sebentar lagi gue mau pergi." jelas Eggy.

Zafran mengangguk, "nyatanya, lo nggak makan, tuh!"

Zafran sangat mengerti sifat Kakaknya. Eggy itu akan lupa waktu makannya jika sudah bersangkutan dengan pasien di Rumah Sakit. Apalagi, jika pasien dengan kondisi gawat darurat. Eggy tidak akan mengingat dirinya sendiri, sebelum menuntaskan tugasnya.

Eggy tersenyum cengir, "gue udah makan keripik tempe di mobil. Gue stok sangat banyak!"

Zafran menatap Kakaknya lemah, menghembuskan nafasnya dengan berat melihat Kakaknya kini.

"Setidaknya, lo makan dengan teratur! wajah lo udah terlihat tirus." nasihat Zafran yang kali ini membuat Eggy merasa aneh karena sikap adiknya yang tiba-tiba baik dan peduli.

"Setelah ini, gue akan melakukan operasi pada seorang pasien yang mengalami usus buntu. Gue sedikit gugup, apalagi dia seorang anak dengan usus buntu yang parah." jelas Eggy. Apa kata Zafran? Kakaknya Memang seperti itu, Zafran sangat mengenalnya.

Eggy tersenyum, "kali ini, angin apa yang telah melalui adik gue?" tanya Eggy.

"Angin Muson Timur!"

Eggy tersenyum, membungkuk pada Zafran, dan menepuk bahu adiknya itu.

"Semoga angin itu selalu melalui, lo! agar bersikap ramah, baik, patuh, dan penurut pada Kakaknya ini!"

Zafran hanya menghela pasrah mendengar Eggy. Lalu, Eggy melipat ke dua tangannya di depan dada, tersenyum dengan bangga. "jika gue banyak makan dan nggak tirus lagi. Itu seperti tidak menjadi diri gue yang sebenarnya."

Zafran mengernyit tidak mengerti dengan ucapan Eggy. Sementara Eggy menepuk-nepuk dadanya berkali-kali, menunjukkan pada Zafran siapa yang sedang berdiri di depannya kini.

"Sebagai seorang Dokter, wajah tirus gue menjadikan bukti jika gue adalah seorang Dokter bertekad kuat. Jika gue banyak makan, dan menjadi gemuk. Akan menjadikan gue merasa jika gue kehilangan jati diri gue yang sebenarnya, menjadikan gue tidak seperti Dokter sesungguhnya. Kecuali, jika gue benci pekerjaan gue, akan sangat mudah untuk menghilangkan jati diri gue. "

Eggy menunjuk Zafran, tersenyum hangat pada adiknya. "sama seperti lo, Aran! gue tahu kalau tangan lo sering kapalan karena bermain bola basket. Dan itu bukti, jika jati diri lo adalah pemain basket."

Zafran mengangguk berkali-kali, mengerti dengan penjelasan Eggy, merasa kagum dengan Kakaknya ini. Eggy tersenyum sombong menatap Zafran.

"Meski begitu, makasih udah mengingatkan!" ucap Eggy senang.

Zafran semakin menatap malas pada Eggy, mendecih dengan keras, "gue itu mengingatkan agar lo nggak mati, Kak! siapa yang akan membelikan gue keripik tempe kalau Papa lagi sibuk kerja? tentu saja Kakak gue yang bernama Eggy."

Zafran menunjuk Kakaknya, "terus, kalau lo tirus. nggak akan ada cewek yang mau sama, lo. Hidup gue akan dipenuhi selamanya dengan melihat Pak Dokter ini."

Eggy menekan giginya di dalam bibir menahan kekesalannya. Baru saja ia dibawa terbang ke langit ketujuh, dan dengan hitungan detik saja, dijatuhkan ke dalam air comberan. "dasar adik durhaka!"

"Dasar Kakak durjana!"

Eggy mengelus dadanya dengan sabar, memaksakan senyumnya dengan sabar, menahan diri agar tidak terjadi film Tom And Jerry season dua.

"Kalau begitu, Kakak Durjana ini akan kembali ke Rumah Sakit, karena sepertinya jam makan siang akan berakhir." ucap Eggy dan berbalik.

"Tunggu, Kak!" panggil Zafran membuat Eggy berbalik pada adiknya. Zafran mengumpulkan kulit jeruk di meja dengan tangannya, menyodorkan ke hadapan Eggy, membuat raut wajah tidak mengerti pada Eggy.

"Timbun!" pinta Zafran, "kata guru IPA gue waktu SMP, kalau timbun sampah basah seperti kulit jeruk di dalam tanah, akan membentuk kompos. Ini namanya sampah yang berguna."

Eggy menghela berat, semakin memaksakan senyumnya pada Zafran.

"Guru IPA mana yang membuat adik gue sangat pintar seperti ini? tapi nggak bisa pintar di rumus fisika dan kimia?" tanya Eggy menyerang Zafran. Membuat Zafran mendesis kasar pada Kakaknya.

Eggy tersenyum lebar tanpa paksa, mengeluarkan ibu jarinya dengan tatapan usil.

"Jangan lupa timbun ya, Aran!" suruh Eggy lalu berjalan meninggalkan Zafran yang sudah kesal sendiri.

"DASAR KAKAK DURJANA!"

***

Malam ini, Sarah menemani Mamanya yang sedang membersihkan buncis di meja makan. Sementara dirinya, sibuk dengan buku-buku dan bolpoin yang bergerak ke sana kemari mencatat hal-hal penting.

Sarah mengeluarkan sebuah kertas putih dengan motif bunga-bunga di pinggir kertas tersebut, yang merupakan pemberian dari cowok bernama Zafran. Sarah membaca isi kertas tersebut.

'Jangan dilihat motif kertasnya! ini gue ambil secara diam-diam dari kertas milik Mimi tanpa sepengetahuan dia.'

'Mbak Amnesia! perkenalkan nama saya Zafran Andara Romero, anak dengan label tampan, mapan dan sopan. Duduk di paling kiri, nomor dua paling depan. Tapi bukan yang paling sudut!'

'Di sini saya hendak memberitahu Mbaknya, jika Mbak sudah tersenyum hari ini, dan akan terus tersenyum. Jadi, diingat ya, Mbak Amnesia!'

' Raka otak Fisikawan. Bintang, otak monopoli. Saya Zafran yang tampan. Pamit undur diri!'

Sarah terkekeh dan menggeleng pelan membaca catatan panjang punya Zafran, sedikit terhibur apalagi jika bertemu dengan orangnya langsung.

Sarah mengambil bolpoinnya, dan menyalin ke dalam catatan kuning miliknya. Meskipun Sarah sedikit bingung ingin mencatat bagian mana, karena catatan Zafran sangat panjang.

Tangan Sarah terhenti menulis ketika melihat Buku Besar Fisika dan buku besar lainnya berada di meja. Sarah menatap kosong pada buku tersebut. Cewek itu beralih menatap mamanya yang sibuk dengan buncis.

"Ma...!" panggil Sarah dan langsung diangguki oleh Salma, "apa Sarah punya mimpi?"

Salma mengernyit melihat Sarah, "kenapa?" tanyanya.

Sarah menggeleng pelan, menatap sendu pada buku pelajarannya. "nggak ada, rasanya sangat aneh jika Sarah punya tekad buat jadi Dokter hanya karena Sarah selalu membaca buku berkaitan dengan itu,"

"Sarah tahu, yang Sarah baca setiap hari akan terlupakan. Dan itu pasti menjadikan Sarah kesulitan dalam mencari cita-cita. Tapi, Sarah cuma penasaran, apa Sarah dulu punya cita-cita?" tanya Sarah sekaligus menjelaskan.

Salma tersenyum hangat pada putrinya, "nggak ada! kamu dulu nggak pernah memikirkan cita-cita. Kalau memang ada sebelum kamu hilang ingatan, pasti kamu akan terikat dengan cita-cita kamu dulu walaupun kamu lupa ingatan."

Sarah mengangguk mengerti. Benar juga, jika dia sudah punya tujuan dari dulu sebelum hilang ingatannya dimulai, pasti dia sudah dapat terikat dengan tujuannya itu meski kini hilang ingatan. Sarah tersenyum masam pada buku-bukunya, menghembuskan nafasnya berat.

"Sepertinya Gue nggak punya jati diri."