Chereads / twenty four hours / Chapter 5 - Bab 5/ Praktek Puisi

Chapter 5 - Bab 5/ Praktek Puisi

Jarinya sibuk mengetik di atas keyboard laptop berwarna merah. Matanya menjuru mencari sesuatu yang sangat ingin ia lihat. Sembari sibuk dengan loptopnya, tangan satunya sesekali mencomoti keripik tempe yang tinggal setengah di dalam mangkuk.

"Hmm.... gue yakin nggak ada penyakit semacam itu."

Ya! kini Zafran sedang sibuk berkutat dengan laptopnya. Sudah setengah jam cowok itu menghabiskan waktunya duduk di bawah lantai ruang tamu. Bahkan ia menyalakan televisi tanpa tahu siaran apa yang sedang diputar. Jika ingin tahu, kini siaran yang sedang terputar adalah film Upin Ipin yang tak kunjung masuk SD.

Zafran mengacak rambutnya frustasi. Nyatanya, hal yang ia cari itu sama sekali tidak ada di internet. Zafran mencari artikel yang berkaitan dengan 'Amnesia 24 jam'.

"Gue dibohongi atau gue terlalu mudah percaya pada bualan-bualan dua cowok dan cewek kuncir itu?" Zafran masih tidak habis fikir.

"Aran, gue pergi dulu. Keripik tempenya gue simpan, takut ada yang makan." Ucap seseorang yang membuat Zafran berhenti dari aktivitasnya.

Dia adalah Eggy. Kakak lelaki Zafran satu-satunya yang kini bekerja sebagai dokter umum di rumah sakit Angkasa. lalu, kenapa ia memanggil Aran? ah.. itu panggilan Zafran di rumahnya. Keluarganya merasa nyaman dengan panggilan itu. Yah! walau keluarganya hanya Kakak dan Ayahnya.

Ibu Zafran? Zafran sama sekali tidak ingin membahasnya. Di saat Ayah dan Ibunya berpisah, Zafran sangat jarang mendapat kabar dari ibunya. Mungkin ini tidaklah baik. Tetapi, Ibunya yang tidak pernah memberikan kabar membuat Zafran berfikiran untuk membenci Sang Ibu. Zafran akui jika ia juga masih sesekali merindukan kasih sayang Ibu.

"Kak, gue mau nanya," ucap Zafran. Eggy pun berhenti dan beralih pada adiknya.

"Nanya sama gue bayar! pasien di rumah sakit gue aja bayar." elak Eggy bercanda. Yah! memang begitulah keluarga Zafran, jauh dari kata serius.

"Gue bukan pasien! gue masih sehat walafiat karena rutin memakan keripik tempe."

Eggy tertawa, lalu berjalan menuju adiknya kearah sofa. Eggy menatap jam tangannya lalu duduk di atas sofa tepat di samping Zafran yang duduk di lantai depan meja.

"Waktu anda 3 menit untuk bertanya. Karena pasien saya masih banyak" Eggy kembali mempermainkan Zafran.

"Kak!!" geram Zafran.

"Iya, iya. tinggal ngomong aja ribet,"

Akhirnya Zafran menatap serius pada Eggy. Membuat Eggy merasa aneh karena tidak biasanya Zafran seserius ini.

"Lo pernah ada pasien yang mengalami amnesia dalam 24 jam nggak, Kak?" tanya Zafran pada akhirnya.

Eggy mengernyitkan dahinya pertanda ia tidak mengerti dengan ucapan sang Adik.

"Penyakit macam apa itu?" kini Eggy yang bertanya.

"Jadi gini," ulang Zafran "selama 24 jam lo akan menjalani hari-hari seperti biasanya. Dan setelah 24 jam, lo akan lupa ingatan dan kembali pada ingatan baru."

"Lo lagi ngarang novel atau gimana, Ran?"

"Kalau dengar penyakit semacam itu pernah, nggak?" Zafran masih berusaha.

Eggy menggeleng pelan "enggak, emang siapa yang punya penyakit seperti itu?"

Zafran menghela nafasnya kuat. Jawaban kakaknya tidak membantu sama sekali.

"Gue rasa udah 3 menit, pergi sana!" usir Zafran yang tiba-tiba tidak serius lagi.

Eggy mengacak rambut Zafran dan membuat rambut cowok itu berantakan. Zafran hanya dapat meratapi nasib.

"Mangkanya kalau nanya yang masuk akal!" ledek Eggy lalu cepat-cepat berdiri dan berjalan meninggalkan sang adik. Zafran hanya dapat geleng-geleng kepala dan menghela nafas lemah.

"Masalahnya akal gue terlalu sedikit untuk dimasukkan ke dalam pertanyaan itu." lirih Zafran sendiri. Lalu, ia ingin kembali mencomoti keripik tempenya. Namun, ia mendapati mangkuk telah kosong.

Zafran berdiri sambil memegang mangkuknya.

"OI KAK! LO SIMPAN DI MANA KERIPIKNYA?"

***

"Hari ini begitu indah, kenapa harus kulihat wajahmu di depanku. Wahai Raka yang sedikit cerdas. Apakah ini kutukan untukku? atau ini adalah azab bagiku?"

Plak!! buku paket Bahasa Indonesia mendarat empuk di atas kepala Bintang. Sang empunya kepala langsung mengelusi dan meringis mengelus kepalanya. Sementara Raka hanya menatap dengan rasa tidak bersalah.

Bagaimana tidak? ketika puisi yang dibacakan Bintang sangat, sangat, dan sangat jelek. Bacaannya saja sudah tidak tepat ditambah lagi dengan hinaan pada dirinya. Ingin rasanya Raka menyumbati mulut Bintang dengan koleksi ultraman miliknya.

"Puisi lo terlalu jelek, Bin!" gemas Raka.

"Iya, karena terinspirasi oleh diri lo yang sekarang lagi duduk di depan gue,"

"Sialan!" umpat Raka merasa kalah.

Tak lama kemudian, Zafran datang melewati pintu masuk kelas sembari membawa bola basket di pangkuannya. Raka dan Bintang melambaikan tangan mereka kepada Zafran.

Mereka bukan sebaik itu untuk melambaikan tangan pada Zafran. Hanya saja, mereka tidak sabar ingin melihat ekspresi Zafran ketika mendengar jika hari ini ada praktek membaca puisi di depan kelas. Mereka yakin jika Zafran lupa tentang itu. Sangat yakin!

"Kalian kenapa senyum-senyum?" tanya Zafran sembari meletakkan bola basketnya di bawah meja dan duduk di bangkunya "Hari ini celana gue normal, kok."

"Enggak ada," elak Raka "kita sekarang lagi suka baca puisi aja, ya kan, Bin?"

Bintang mengangguk "Ya! dan kita mau tahu lo bisa apa nggak kalau membaca puisi."

Zafran mengibaskan kerahnya, berlagak sombong di hadapan dua teman barunya itu.

"Ehem!" dehem Zafran sedikit pemanasan "kenyataan untuk ku begitu menyakitkan. Haruskah aku hidup dengan otak yang lemah dengan matematika, drop di fisika dan kejang-kejang di kimia? Wahai otak ku! apakah ini kutukan, atau azab untuk ku?"

Prok!prok!prok!

Bintang tiba-tiba bertepuk tangan "wah... ternyata kemampuan kita nggak beda jauh, Zaf!"

Zafran merasa bangga sendiri. Padahal ia tidak jauh lebih buruk daripada Bintang. Akhirnya dua orang itu melakukan high five, untuk membanggakan diri sendiri.

Raka menggeleng dan mengambil buku paket bahasanya dan buku paket milik Bintang. Dan mendaratkan buku itu di masing-masing kepala dua temannya.

"Makan tuh puisi!"

Zafran dan Bintang hanya dapat mengelusi kepala mereka. Di antara mereka bertiga, memang Raka lah yang paling pintar. Yah.. walau otaknya sedikit lebih melenceng dari kepintarannya.

"Oi Zaf!" panggil Raka tersadarkan "lo tahu kan kalau hari ini ada--"

"Tunggu dulu!" potong Zafran "kalian berbohong kan soal amnesia 24 jam cewek kuncir itu?" tanya Zafran mengalihkan pembicaraan.

Raka dan Bintang saling bertatapan bingung. Lalu, detik berikutnya mereka menatap Zafran serius.

"Kenapa kita harus bohong?" tanya Bintang tidak habis fikir.

"Kita nggak lagi berfantasi." tambah Raka membenarkan "memang Sarah lagi mengalami situasi seperti itu,"

Zafran menggaruk dagunya. Pikirannya jadi berubah-ubah. Melihat tatapan dua temannya sepertinya mereka tidak berbohong. Tapi, mau bagaimana pun, Zafran tetap tidak dapat menemukan penyakit semacam itu.

Raka mementik jarinya di depan mata Zafran.

"Kenapa lo sampai pengen tahu tentang amnesia Sarah?" tanya Raka

"Tentu saja gue harus tahu. Sebagai orang yang sudah menyebabkan masalah pada gue, itu menjadi hal yang penting bagi gue."

Untuk kedua kalinya, Raka dan Bintang saling bertatapan heran. Sejak kemarin-kemarin Zafran selalu saja bertanya tentang amnesia Sarah. Tapi, anehnya Zafran tidak pernah bisa percaya.

"Nanti kita sambung, sekarang gue lagi ada urusan." ucap Zafran cepat ketika melihat seorang gadis yang akan memasuki pintu kelas. Gadis itu membawa buku-buku tebal di tangannya seperti biasanya. Tidak lain dan tidak bukan, gadis itu adalah Sarah.

Lalu, Zafran bangkit dari duduknya meninggalkan Raka dan Bintang. Dua teman Zafran itu hanya bisa menatapi Zafran dari belakang.

"Ngomong-ngomong, apa nggak masalah kita nggak kasih tahu dia soal praktek membaca puisi?" tanya Bintang tanpa mengalihkan pandangannya dari Zafran. Dan dibalas dengan gelengan dari Raka.

Di sisi lain, Zafran berdiri di depan pintu kelas dan menunggu gadis yang akan segera melewati pintu kelas. Zafran melipat kedua tangannya di depan dada sembari bersandar di tepi pintu.

Sarah baru saja akan melangkah masuk ke dalam kelas. Namun, tiba-tiba sebuah kaki panjang menjulang menghalangi pintu. Yap! Zafran dengan cepat merentangkan kakinya ketika Sarah akan masuk. Sarah dengan tatapan bingung menatap sang pemilik kaki.

Zafran tersenyum manis "perkenalkan, saya anak baru di SMA Angkasa. Nama saya Zafran Andara Romero, sekelas dengan Mbak Sarah. Saya pria dengan label Tampan, mapan dan sopan,"

"Untuk mengingatkan, hari-hari yang lalu Mbak nya menyenggol bola basket saya dan menyebab kan celana saya terkena sup wortel. Dan pada akhirnya saya menggunakan celana lama saya hingga ditertawakan satu sekolah." ulang Zafran seperti yang diucapkannya kemarin.

Sarah tampak bingung, dan tersenyum kikuk dengan ragu-ragu.

"H.. hai!" sapa Sarah mengira jika Zafran adalah orang baru yang mengajak berkenalan.

Zafran mendengus dan menurunkan kakinya.

"Wah... gue lagi di negeri fantasi atau bagaimana, sih?" Zafran menatap Sarah "lo memang benar-benar lupa?"

Sarah tampak berfikir. Walaupun yang ia pikirkan itu hanya akan sia-sia.

"Kita pernah ketemu sebelumnya? kalau begitu, kenapa memperkenalkan diri?" tanya Sarah.

"Nggak ada, mana tahu gue direkrut jadi pembantu baru," elak Zafran merasa sia-sia saja bertanya. Nyatanya gadis di depannya ini sama sekali memang tidak ingat.

"Saya nggak lagi cari pembantu" ucap Sarah polos.

Zafran menghela nafas pasrah, tidak ingin merespons lagi.

"Kalau gitu, saya mau buru-buru dulu," pamit Sarah berjalan terlebih dahulu. Namun tangannya tiba-tiba ditahan oleh Zafran. Sarah hanya menatap heran.

"Lo buru-buru kali ini dengan alasan apa? biasanya lo selalu punya alasan banyak kalau sedang buru-buru," tanya Zafran memahami keadaan Sarah.

"Itu, saya harus menghafal puisi untuk praktek Bahasa Indonesia hari ini."

Mendengar itu, mata Zafran membulat penuh. Ia melepaskan tangan Sarah dan menatap kedua temannya di meja mereka. Terlihat Raka dan Bintang yang sedang menatap dirinya dengan senyuman kikuk.

"KENAPA HARUS PUISI????"