"LO SENGAJA KAN?"
Semua mata menatap kearah meja di samping tempat duduk Zafran dan teman-temannya. Zafran dan Raka sampai menoleh kebelakang mereka untuk melihat keributan yang tengah terjadi.
"Sa..saya beneran nggak masukin merica ke mangkuk kakak," ucap seorang siswi dengan kacamata dan rambut yang dijalin melebihi bahu.
"KALAU BUKAN LO SIAPA LAGI? UDAH JELAS LO YANG NGAMBIL MAKANAN GUE!" Teriak seorang siswi lainnya yang menyebabkan keributan. Siswi itu menggunakan seragam yang sudah ketat, dengan rambut bergelombang panjang di bagian bawah.
Ahh... Bintang dan Raka tahu siapa siswi itu. Dia Kirana, kakak kelas tingkat akhir yang terkenal suka merundung adik kelas, apalagi jika adik kelas itu berpenampilan lugu. Satu sekolah sudah tahu, jika dia kakak kelas yang menganggap jika ia lebih berkuasa dari yang lainnya.
"Sumpah Kak! saya nggak nambahin merica ke makanan Kakak." ulang siswi berkacamata itu membela dirinya. Dilihat dari sikapnya, sepertinya gadis itu masih kelas 10, siswi dengan tingkat pertama.
Kirana mendengus kasar, melepaskan cengkraman tangannya dari kerah si siswi berkacamata. Anak malang itu hanya dapat menahan isakannya. Ia tahu, jika tidak akan ada yang membantunya. Bukan tidak ada, tapi tidak berani.
"Gue perintahin lo ngambil makanan gue, seharusnya lo udah tahu kalau gue nggak suka merica, cewek culun!" Kirana mengeluarkan dua jarinya dan menekan-nekan nya di dahi gadis berkacamata itu dengan keras. Membuat kepala gadis itu berkali-kali terhempas kebelakang.
"Sa.. saya beneran...."
"TERUS LO PIKIR GUE YANG LAKUIN?" teriak Kirana. Gadis itu hanya dapat terbungkam, tidak berani melawan untuk membenarkan lagi.
Sungguh malang, dia harus mengalami hal ini setiap hari. Dia tidak seperti anak murid lainnya yang mampu melawan hanya dengan bermodal uang dan harta. Dia sama sekali bukanlah murid yang sanggup memberanikan diri walau dirinya tidak salah. Dia hanya gadis yang dianggap tidak ada hanya karena keterbatasannya.
Di sisi lain, Bintang melihat sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak tiga kali.
"Wah.. ternyata cuma karena merica sampai buat keributan di seluruh kantin. Kasihan petani lada yang bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, tapi masih ada yang nggak ngehargai. Sungguh mengasihankan!" heran Bintang tak habis fikir. Dan entah kenapa kali ini ucapannya benar.
"Merica aja diributin, Bunda gue aja sampai ngancam gue larang main ultraman karena nggak mau di suruh beli merica di warung." tambah Raka sedikit curhat.
Bintang ikut prihatin pada Raka dan menepuk-nepuk bahu Raka berkali-kali.
"Yang sabar, masih untung nggak dibakar tu ultraman" ucap Bintang dan dihadiahi tatapan maut dari Raka.
Zafran menatap dua temannya "Dia siapa? kenapa dia memarahi anak itu sampai segitunya?"
"Dia kakak kelas yang menganggap dirinya hebat dan dengan bebasnya merundung cewek yang dianggapnya lugu dan culun," jelas Bintang.
"Nggak akan ada yang bantu, yang lain akan menganggap jika itu bukan urusan mereka." tambah Raka.
Zafran mengangguk berkali-kali. Ini bukan kali pertamanya melihat perundung di sekolah. Zafran sudah sering melihatnya di SMP dan sekolah lamanya. Dan, yang dipikirkan Zafran sama dengan yang dipikirkan oleh murid lainnya. Jika itu bukanlah urusannya, itu adalah urusan si Perundung dan yang di rundung.
Semua kini hanya melihat kejadian di depan mereka dalam diam. Sementara Sarah melihat dengan tatapan dalam dan lekat, matanya sedari tadi tidak terlepas dari pertikaian di depannya.
***
Jam pelajaran usai sudah untuk hari ini, murid-murid pulang menuju rumah mereka untuk melakukan aktifitas negara mereka. Beda dengan lelaki yang men-cap dirinya sebagai lelaki tampan, mapan dan sopan.
Kini Zafran berdiri di depan ruang majelis guru dengan membawa bola basket di tangannya. Cowok itu kini menunggu Kapten Basket yang sedang ada urusan di dalam ruang guru.
Ini hari pertama Zafran mengikuti kegiatan latihan basket di SMA Angkasa setelah pindah ke sini. Tentu Zafran sangat semangat akan hal itu, ia bahkan rela menunggu Kapten Basket yang akan menjelaskan perihal latihan basket di SMA Angkasa padanya nanti.
Tak lama kemudian, lelaki tinggi dan jangkung dengan rambut ditata pendek ke samping keluar dari Ruang Majelis Guru. Meski ia atlet basket, tapi kulit putihnya tidak pernah berubah sama sekali. Dia lah kapten basket SMA Angkasa, Galen. Yang menurut Zafran kulit putih cowok itu memang sudah keturunan dari keluarga Galen.
"Jadi, gue udah mulai latihan rutin hari ini kan, Kak?" tanya Zafran antusias.
Galen mengangguk "ya, dan lo nggak boleh main-main selama latihan. Dan harus menunjukkan kemampuan lo!"
Zafran memukul dadanya sombong "Kemampuan gue nggak pernah diragukan, gue mantan kapten basket dan akan gue rebut jabatan itu dari lo" Bangga dan tantang Zafran pada dirinya sendiri.
Galen tertawa kecil "kalau gitu lo latihan aja hari ini tanpa kapten basket, hari ini gue mau pulang dan menghabiskan waktu untuk kencan dengan kasur gue." setelah itu, Galen berjalan meninggalkan Zafran. Zafran hanya dapat membuka mulutnya kagum atas ucapan Galen.
"Sepertinya jabatan anda akan saya rebut, seperti gebetan anda yang direbut oleh guling di kasur Anda" lirih Zafran sambil menggeleng menatap kepergian Galen.
Raka melangkah untuk beranjak dari depan Majelis Guru. Namun, langkahnya terhenti ketika Karina dan gadis berkacamata itu lewat di sampingnya. Sepertinya mereka menuju ke ruang Bimbingan Konseling yang berada tepat di samping ruang Majelis Guru.
Zafran menghela lemah "pada akhirnya nasib-nasib orang seperti kalian berakhir di ruang yang tidak jauh berbeda dari akhirat. Ruangan dengan aura seperti di Neraka dan diinterogasi seperti di kantor polisi" ucapnya sendiri.
"Palingan ditanya-tanya sama guru. Udah kek mau lamar kerja aja." ketus Zafran.
Zafran memilih tidak ingin peduli pada dua cewek itu. Zafran kembali melangkah. Namun, langkahnya terhenti ketika gadis yang dikenalnya berjalan di sampingnya. Kali ini, gadis itu Sarah.
Mata Zafran tak lepas memandangi setiap langkah Sarah. Hingga cewek itu mengikuti langkah dua siswi yang bermasalah di kantin tadi. Sarah masuk ke dalam ruang Bimbingan Konseling.
Zafran menautkan alisnya merasa heran. Sarah? kenapa dia? Zafran tidak habis fikir.
"Dia ada salah juga?"
***
Kirana, dan gadis berkacamata itu berdiri di depan meja guru BK, Bu Rahma. Tidak ada yang menjawab pertanyaan dari Bu Rahma. Baik Kirana, maupun gadis malang itu.
"Tidak ada yang ingin memberi tahu ibu siapa yang salah duluan?" ulang Bu Rahma bertanya.
Tatapan gadis berkacamata itu hanya menatap takut ke bawah. Tangannya meremas-remas rok nya dengan tangan gemetar dan berkeringat. Ia berada dalam posisi yang sulit. Ia tidak bisa menjawab yang sejujurnya karena takut dengan apa yang akan terjadi padanya setelahnya. Tentu saja Kirana tidak akan mengampuni dirinya.
"Kamu," panggil Bu Rahma pada gadis berkacamata "kamu tidak mau menjelaskan?"
Gadis itu hanya mengulum bibirnya ke dalam. Semakin takut dan bingung dengan yang dialaminya.
Klik!
Suara pintu terbuka terdengar, membuat mata yang ada di dalam ruang BK menuju pintu. Terlihat gadis dengan rambut kuncir kuda masuk ke dalam ruangan dan berjalan menuju meja Bu Rahma.
Sarah menunjuk gadis berkacamata sambil menatap Bu Rahma.
"Dia nggak salah! saya ingat dan lihat apa yang terjadi,"