Hari-hari berlalu, baik Adri dan Januar sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Januar yang sibuk dengan urusan organisasinya, dan Adri dengan penelitiannya seperti biasa. Januar yang tidak menangani urusan program kerja BEM nya itu secara langsung tetap saja harus sibuk, ditambah dengan persiapan dies natalis yang semakin dekat. Sejak senin, Ia mulai sering pulang larut malam sekali dari kampus.
Sementara Adri, Ia lebih sering berada di laboratorium baik di jam kosongnya atau memang sengaja Ia melemburkan diri. Theo sudah membaik kondisinya, tapi Adri melarangnya keras untuk datang ke kampus, begitu pun yang dilakukan Jevan.
Namun hari ini, ada sesuatu yang lain. Adri harus menyambut adik-adik tingkatnya yang baru masuk departemen sore itu agar lebih mengenal fasilitas penelitian dan pembelajaran FT, khususnya departemen Teknologi Pangan.
"Nah ini dia temen-temen, laboratorium riset biokimia, biasanya ini dikhususnkan buat yang penelitian akhirnya tentang biokimia pangan, dan gak sering dipakai buat pembelajaran. Tapi ada juga sih instrumen yang sering dipakai bersama."
Adri menjelaskan seluk beluk keenam laboratorium yang berderet dalam satu koridor dihadapannya sebaik mungkin.
"Terus ini, Laboratorium Mikrobiologi pangan. Maaf kalian gak bisa lihat ke dalam karena prosedurnya laboratorium ini gak bisa dibiarkan terbuka dan dimasuki tanpa prosedur khusus. Ada yang tau gak kenapa?" tanya Adri ramah.
"Karena nanti kontaminasi dari udara luar kak," jawab seorang mahasiswa.
Adri mengangguk, "Ya, itu bener banget. Nanti kedepan kalau kalian ngambil mata kuliah disini atau penelitian akhirnya disini, bisa deh masuk."
Begitu seterusnya, hingga ke Laboratorium Pembelajaran Kimia Pangan di paling ujung dekat tangga turun.
"Thanks Adri," ujar Siska, panitia yang mendampingi rombongan tur laboratorium mahasiswa baru itu.
"Sip sip," ujar Adri sembari menepuk pelan bahu Siska.
Adri kemudian melihat rombongan mahasiswa selanjutnya yang akan datang ke enam laboratoriumnya dari balkon.
Adri memicingkan matanya melihat siapa mahasiswa yang mengenakan jas laboratorium sekaligus sebagai fasilitator di sepanjang laboratorium Teknik Industri lantai dua.
"Januar fasilitator juga?" ujarnya sembari mengangguk. Tak lama kemudian, rombongan di bawah itu selesai, menyisakan si fasilitatornya.
Detik berikutnya, Januar melihat ke atas, tak sengaja matanya menangkap Adri sedang memperhatikannya dari balkon lantai tiga. Ia kemudian tersenyum ramah dan melambaikan tangan.
Adri balas tersenyum, melambaikan tangannya juga ke arah Januar.
Sesederhana itulah komunikasi mereka. Sudah beberapa hari ini, mereka tidak bertemu karena kesibukannya masing-masing. Jangankan bertemu, keduanya yang jarang memegang ponsel itu bahkan tidak saling berkomunikasi secara virtual.
****
Setelah sekian lama, akhirnya Jevan berada di tempat yang ingin dikunjunginya. Ruang rawat inap Theo. Jevan berdecak sebal, entah kenapa rasanya Ia marah sekaligus penasaran ingin mengetahui kondisi sahabatnya itu. Bukan marah yang sebenarnya, Jevan hanya tidak percaya Theo melukai dirinya sendiri untuk masalah yang Ia tidak juga mengerti bagaimana solusinya. Serba salah.
Akhirnya Jevan mendorong perlahan pintu ruangan Theo. Tampak ruangan itu sepi, tidak ada siapapun kecuali Theo yang tengah berbaring membelakanginya. Kamar itu juga gelap. Sepertinya Theo sedang tertidur.
"Yo?" panggi Jevan pelan. Tidak ada respon.
Jevan menaruh barang bawaannya untuk Theo di nakas sebelah brankar.
"Yo, tidur Lo? Ini Gue Jevan," ujarnya lebih keras sembari menepuk lengan atas Theo.
Theo akhirnya bergerak, kemudian berbalik ke arah Jevan. Ia tampak sedikit terkejut, kemudian berubah duduk.
"Jev. Kapan ... Lo dateng?"
"Barusan."
"O-oh."
Keduanya kemudian hening, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Jevan sendiri bingung apa kalimat awal yang ingin diucapkan pada Theo.
"Sorry." Theo membuka suaranya pelan dan dalam. Suaranya terdengar serak.
"Bukan ke Gue atau siapapun, tapi diri Lo," respon Jevan cepat.
Theo terdiam dan menunduk, tatapannya kosong.
"Lo balik ke rumah?" tanya Jevan kemudian. Theo mengangguk.
"Apa yang Lo temuin disana?"
"Bokap Gue. Dia bawa jalang lagi ke rumah, di depan Gue, Jesslyn, dan Nana. Nyokap Gue dipukul, nangis."
Jevan menghela nafas dalam, menunggu Theo menyelesaikan kalimatnya. Sahabatnya itu terdengar sangat rapuh.
"Mama Gue minta cerai, tapi dia malah semakin disiksa secara brutal," lanjut Theo datar. Pria itu bicara seperti mati rasa.
"Dia ngancam Nana sama Jesslyn bakal dipindahin ke Kanada, lepas dari pantauan Mama kalau nyokap tetep minta cerai."
"Udah sembilan tahun Jev. Keluarga Gue begitu, dari Nana masih bayi, Gue masih SMP."
Di tahap ini, Jevan paham, merasakan beratnya hidup Theo yang terlihat damai-damai saja dari luar.
"Apa yang Lo lakukan kemaren di rumah?" tanya Jevan.
"Gue berantem sama bokap Gue, seperti biasa."
Theo tersenyum miring, "Dia bahkan semakin marah dan brutal begitu Gue menampar jalang bawaannya. Lalu Nana, dia bener dibawa pergi, entah kemana."
"Nyokap Lo gimana?"
"Dia balik ke Singapore hari itu juga, ninggalin Gue dan Jesslyn. Dua orang itu sama-sama pengecut. Gak pantes disebut orangtua," ujarnya menggebu. Tampak matanya menggebu-gebu.
Jevan menghela nafasnya berat, seiring cerita Theo yang semakin berat bahkan untuk sekedar didengar.
"Gue udah capek Jev. Gue mau pergi dari keluarga Gue, tapi gimana Jesslyn sama Nana?"
"Sekalipun keluarga sialan itu bubar, Gue belum bisa menghidupi adik-adik Gue. Gue belum punya power buat ngalahin orang itu."
Jevan mengangguk, "Gue bahkan gak bisa berkomentar. Bahkan di tahap ini seolah Gue mewajari Lo melakukan hal-hal yang membahayakan diri Lo sendiri," ujarnya.
Theo menghembuskan nafas beratnya, "Dengan adanya Lo, Adri, Jesslyn, Nana aja udah cukup buat Gue bertahan. Sejujurnya, Gue pengen cepet mengganti lingkungan toksik keluarga Gue sendiri Jev. Selama ini Gue bekerja keras untuk itu, terutama gimana caranya finansial Gue cukup buat menarik adik-adik Gue buat lepas dari mereka."
"Kalau boleh tau, kenapa bokap Lo gak mau cerai?"
"Pernikahan bisnis. Mereka sama-sama gila harta."
Jevan lagi-lagi menghela nafas dalam, "Terus apa yang mau Lo lakuin sekarang?"
Theo menggeleng, "Gue belum tau apa yang bakal Gue lakuin jangka panjang, tapi yang jelas Gue harus selesai S1 dulu, kerja dengan penghasilan tinggi."
"Harusnya Lo cerita sama Gue, dan bukan malah begini Yo," ujar seseorang. Bukan Theo atau Jevan, itu Adam yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat toilet, menyimak pembicaraan keduanya.
"Bang Adam? Kok bisa?" tanya Jevan.
Adam meletakan barang bawaannya, lalu duduk di ujung tempat tidur Theo, "Bisa aja. Apa yang gak bisa manusia lakukan? Terutama masalah Lo, Yo."
"Lo denger semuanya?"
Adam mengangguk, "Gue mungkin gak bisa menyelesaikan kondisi kesehatan mental Lo dan adik-adik Lo. Tapi kalo bantuan hukum, finansial, Gue bisa bantu Lo," ujarnya membuat Jevan dan Theo semakin bingung.
"Siapa yang mau Lo selesaikan dulu? Nyokap Lo? atau bokap Lo? Jejaring firma hukum Gue banyak di KPAI dan Komnas HAM, Lo gak perlu mikirin biaya."
"Terus kalo Lo bingung gimana settle finansial, Gue lagi megang program di VC, dananya satu milyar. Gue emang udah berencana ngasih proyek itu ke orang yang jago di teknis kayak Lo."
"Bang ..."
"Gak perlu kaget. Gue gak suka basa-basi."
Theo dan Jevan masih terkejut, sekaligus memproses apa maksud Adam.
"Apalagi yang Lo bingung buat misahin diri Lo dan adik-adik Lo dari keluarga toksik itu? Rumah? Dengan dana 1 milyar itu, bisa Lo pake dulu buat sewa rumah atau apartemen. Adik Lo masih kecil, Lo gak perlu repot masalah biaya pendidikan karena Jesslyn juga sekolah di SMA negeri, dan dia berprestasi. Iya, Gue ngobrol banyak sama dia kemaren."
"Kelar kan? Masalahnya tinggal di Lo sendiri Yo. Lo siap gak buat sepenuhnya lepas dari dukungan orangtua Lo, dan terjun ke dunia bisnis. Gak perlu takut karena Gue akan terlibat langsung di urusan keuangan proyek pembuatan perusahaan 1 milyar itu. Gue juga yakin Lo bisa belajar cepat."
"Sebentar, Gue masih kaget," sergah Theo.
"Ini terlalu mendadak buat Gue," lanjutnya.
"Bukan terlalu mendadak. Ini masalah Lo yang gak nemu solusi atas masalah Lo selama sembilan tahun, dan justru memperburuk dengan ... melukai diri Lo sendiri."
"Bang Adam," ujar Jevan memperingatinya agar tidak terlalu keras. Oh tentu saja Jevan paham betapa kerasnya watak Adam kalau urusan membentuk mental seseorang.
"Gimana? Gue kasih waktu tiga hari buat mikir. Tiga hari Lo gak konfirm ke Gue, tawaran ini batal."