Satu jam berlalu, seminar yang ditujukan untuk para mahasiswa baru itu akhirnya selesai. Sisanya adalah acara hiburan yang dikembalikan pada MC dan seluruh panitia.
"Mau kemana abis ini?" tanya Januar pada Adri.
Adri melirik jam tangannya, "Ngerjain laporan kayaknya," ujarnya.
"Oh iya ini weekend ya? Ayo kerjain bareng, Aku juga bawa ini."
Adri mengangguk, "Yaudah yuk, langsung aja. Kita ke coffee shop depan aja deh, gimana?"
"Boleh."
Keduanya kemudian kompak berdiri dari tempatnya, membungkuk pamit pada seluruh mahasiswa baru dan bintang tamu acara seminar itu, dan tak lupa, para panitia.
"Lihat tuh, datengnya sama siapa, pulangnya sama siapa," ujar Gandhi kembali memanas-manasi ketika acara itu sudah berubah menjadi semiformal.
Adri dan Januar hanya menggeleng, kemudian berlalu diiringi ucapan terimakasih dan tepuk tangan dari adik tingkat mereka. Mereka keluar dari aula itu dengan membawa banyak bingkisan dan sertifikat.
"Gimana rasanya?" tanya Adri tiba-tiba begitu Ia dan Januar sudah berada di dalam mobil.
"Rasanya apa?"
"Jadi moderator terus diroasting satu aula? Haha," tanyanya sembari tertawa.
Januar menghela nafas panjang, "Pegel sih yang jelas, pegel nahan tawa, harus serius, parah emang."
"Untung pertanyaan terakhirnya berbobot ya. Awalnya Aku pikir itu gak penting, ternyata ya penting, to build a good support system," ujar Adri.
Januar mengangguk setuju, "Ya, bener banget. Aku gak nyangka juga sih kalau dia nganggep kita inspiring, bahkan punya dream relationship?"
"That's too much"
"But we got it. I think it's all about ... everyone's vision and style," tambah Januar.
Januar menghentikan mobilnya di lampu lalu lintas yang berubah merah, "Oh ya, ada hal penting yang harus kita bahas hari ini."
"Apa itu?"
"Tawaran Bang Adam, kamu lupa?"
Adri menepuk jidatnya pelan, "Oh iya, hampir aja. Besok kita harus ketemu dia dong ya. Oke kita bahas nanti sekalian."
****
Adri dan Januar baru saja menyebutkan minuman dan makanan yang akan mereka pesan di meja kasir kedai kopi pilihan mereka, kedai kopi milik Yudha.
"Mau dijadikan satu atau masing-masing?" tanya petugas kasir sekaligus pemiliknya, Yudha.
"Jadi satu"
"Masing-masing"
Adri dan Januar menjawab kompak sekaligus berbeda. Yudha hanya senyam senyum sendiri dibalik monitor pembayaran itu.
"Jadi gimana nih mbak, mas?"
Januar menyerahkan kartunya, bukan kartu debit atau kredit, itu kartu e-money miliknya.
"Jangan, ini aja cash," ujar Adri menyerahkan satu lembar uang seratus ribu. Mencegah perdebatan pasangan itu, Yudha langsung saja mengambil uang cash milik Adri.
"Ck, si Yudha emang," protes Januar.
Yudha hanya tertawa, "Itu e-money ntar kurang kalo Lo masuk jalan tol gimana? Bingung mau beli dimana tengah jalan. Ya gak Dri?"
Adri mengangguk setuju, "Nah, bener itu."
Januar hanya memutar bola matanya malas melihat persekongkolan Adri dengan sahabatnya itu.
"Thanks Adri dan Januar, silakan ditunggu," ujar Yudha setelah memberi kembalian.
Adri dan Januar kemudian duduk di salah satu sofa dekat jendela kedai kopi itu.
"Kenapa kamu yang bayar?"
"Sesekali. Gapapa."
"Lain kali mendingan bayar masing-masing deh."
"Nah tuh tau kan. Ngapain tadi duluan ngasih e-money?"
Januar mengangguk-ngangguk, "Ya ya ya."
Adri hanya tertawa karena memenangkan argumen.
"Jadi gimana? Kita mulai dari mana bahasan serius ini?"
"Santai aja lah, jangan serius-serius amat," ujar Adri.
"Kan Aku kapitalis, haru serius masalah uang dan harta."
"Gak sekalian wanita juga?"
"Gak lah. Ada Mamah sama Kamu, udah cukup."
Adri bertepuk tangan sembari menggelengkan kepalanya seolah bangga sekaligus tidak percaya, "Katanya all men do is a lie loh," ujarnya.
"Kita lihat aja, apakah Aku masuk jajaran pria konvensional itu atau bukan," tantang Januar.
Adri hanya tersenyum sebagai respon.
"Ok. Jadi gimana menurut kamu soal tawaran dari Bang Adam itu?" tanya Januar kemudian.
Adri tampak sedikit berpikir, "Menjanjikan, dan dengan dana segitu Aku rasa kita cukup bergerak bebas in case of innovation dan operasional ya, tapi di satu sisi, tanggung jawab kita ke investor buat balikin investasi itu juga nambah berat," ujarnya.
"Oh ya, kita bahkan belum mapping kira kira kompetensi kita apa disini, dan prediksi tanggungjawabnya gimana," lanjutnya.
Januar mengangguk, "Kayaknya sih gini ya kalo dari omongan Bang Adam yang dulu-dulu, di tawaran pertama dia ke Aku pas tahun 2019 kalo gak salah. Dia selalu bilang Aku bakal ada di posisi marketing, tapi Aku tolak."
"Karena kamu gak ngerasa bisa?"
"Ya, pastinya. Walaupun network Aku luas, itu gak akan membantu kan kalo Aku gak punya strategi. Nah itu juga yang bikin kita ragu, masalah marketing, ujung tombak revenue alias penghasilan ke perusahaan."
"Bener. Kayaknya kita bertiga lebih bisa di riset, operasional, dan business development kan? Yang less contact with customer and market?" tanya Adri.
Januar mengangguk, "Iya. Serius deh kalo orang marketingnya ada, dan diurusin dengan baik sama VC nya langsung, Aku bakal ikut kali ini."
Adri tampak masih berpikir, "Tujuan kamu ikut apa?"
"Pertama, tentu cari pengalaman dan portfolio sebelum kita jadi fresh graduate, kedua penghasilan tambahan, ketiga, bantuin Theo."
"Oke, sama berarti. Itu berarti kita gak akan stay selamanya di start-up ini kan? Someday kita bakal left kalo ada kesempatan yang lebih baik?"
"Iya, tentu. Kalo misalkan nih start-up nya udah berkembang, udah autopilot, Aku rasa Aku bakal pindah."
Adri mengangguk paham, "So far gimana rencana karir kamu setelah lulus?"
"Lebih ke industri manufaktur, jadi profesional disana, sampai jadi executive board. Sejauh ini preferensi di bagian produksi atau teknik," ujarnya mantap.
"Nice. Join di start-up pasti bakal bantu kamu banyak, terutama soal manajerial perusahaan."
"Bener. Kalo rencana kamu gimana?"
"Sejauh ini Aku masih prefer ke arah pemerintahan, megang jabatan strategis sebagai kepala badan atau dirjen mungkin. Itu yang tertinggi. Instansi mungkin ke Kementerian Perindustrian atau Parekraf," ujar Adri.
Januar mengangguk paham, "Gak ada rencana masuk industri dulu? Aku rasa instansi pemerintahan kita perlu disrupsi, dan itu bisa kamu dapatkan kalau misalkan kerja beberapa tahun dulu di perusahaan multinasional sebelum kamu ke pemerintahan."
"Ya, ada. Mungkin dua tahun dulu di industri, baru daftar ke instansi pemerintah."
"Bagus lah ya kalo kita udah punya rencana karir yang jelas. Jadi menurut kamu tawaran Bang Adam ini perlu gak kita ambil?" tanya Januar membuka opsi kesimpulan pembicaraanm mereka itu.
Adri mengangguk, "I think we should, dengan catatan tadi, orang marketin gak bisa kita handle, harus rekrut dari luar dan profesional. Gak papa kita gaji orang tinggi tapi jago dari pada kita mengusahakan hal yang gak kita bisa lakukan saat ini," ujarnya.
"Yes, opportunity cost. Kita gak bisa idealis bakal belajar semua hal. Aku rasa Bang Adam juga bakal mikir ulang, apalagi dia yang ngelola finance nya."
"Bener. Mending Aku, Kamu, sam Theo udah ... di spesialisasi berdasarkan minat dan kompetensi aja. Jangan ada yang bikin gagal fokus sampe ngurusin marketing atau keuangan."
"Setuju. Oke, kalau gitu kita bakal ketemu Bang Adam dan Theo mungkin besok atau lusa."