Theo duduk bersila di atas tempat tidurnya di rumah sakit. Ia termenung sendirian, tidak ada seorang pun disana. Jesslyn adiknya baru saja pamit untuk pergi ke sekolahnya untuk kegiatan ekstrakurikuler di hari minggu. Ya, adiknya itu memang aktivis sekolah, ketua pramuka. Wajar saja jika sibuk, dan Theo mendukungnya. Bukan apa-apa, Theo paham adiknya itu menyibukkan diri untuk sejenak melupakan masalah-masalah dalam keluarganya.
Theo sangat bersyukur bahwa adik pertamanya itu bukanlah seorang yang manja dan merepotkan, atau menambah beban pikir dirinya sebagai anak pertama yang lebih banyak mengurus kedua adiknya dibanding orangtuanya sendiri.
Hari ini, Theo harus menghubungi Adam setelah berpikir panjang selama dua hari soal tawaran bisnis yang diberikan itu.
Theo membuka laptopnya, melihat kembali file excel berisi proyeksi pendapatan dan alokasi waktu per hari yang sudah Ia buat kemarin untuk lebih jelas melihat kira-kira apa kekurangan dan kelebihan jika Ia menjalankan tiga peran sekaligus; mahasiswa sibuk, kakak, dan pengelola start-up.
"This should be not that bad, I still can sleep 3-4 hours a day," ujarnya. Theo semakin fokus menganalisis tabel demi tabel yang Ia buat itu. Menganalisis risiko dengan angka sangat membantunya.
"Kekurangannya emang Gue bakal jarang kelihatan di kampus. Tapi emang kenapa?" tanyanya pada diri sendiri.
Theo akhirnya mengangguk, "Oke. Semoga Tuhan merestui apa keputusan Gue," ujarnya. Ia kemudian meraih ponselnya dan mengirim pesan chat pada Adam.
[WhatsApp]
(Adam Malik Respati)
Pagi Bang Adam, Gue mau ngabarin soal tawaran yang Lo kasih waktu itu. Gue bakal ambil Bang. Next nya gimana ya? Thanks
Theo akhirnya bernafas lega. Ia kemudian menutup laptopnya. Berlama-lama menatap layar laptop atau ponsel membuatnya pusing, terlebih Ia baru saja sembuh dari tipes yang sewaktu waktu bisa kembali memunculkan gejala seperti itu.
Baru saja Ia hendak kembali merebahkan diri, seseorang membuka pintu ruangan dengan cepat.
"Kok balik lagi?" tanyanya. Rupanya itu Jesslyn adiknya, Ia datang dengan ekspresi yang sangat ceria.
Jesslyn buru-buru duduk di kursi samping tempat tidur Theo, "Bang Bang ... tau gak?"
"Udah Gue bilang jangan panggil Gue abang," protes Theo. Entahlah, Ia hanya tidak suka.
"Iye iye bawel. Nih buka deh," ujar Jesslyn sembari menyerahkan satu amplop, sepertinya berisi surat.
Theo mengerutkan dahinya, "Apa nih? Prank?"
"Apasih? Udah buka aja."
Dengan ragu akhirnya Theo membuka amplop itu, benar saja, isinya adalah sebuah surat. Membaca kop surat itu, Theo membelalakkan matanya, melirik Jesslyn cepat. Adiknya itu hanya tersenyum dan meminta Theo lanjut saja membaca.
"Dek? Lo keterima di Environment Science and Engineering NUS Singapore ini beneran?!" seru Theo begitu selesai membaca.
Jesslyn mengedikkan bahunya, "As you read before," ujarnya.
Tanpa pikir panjang, Theo langsung memeluk adiknya itu hangat. Perasaan terharu, bangga, sekaligus sedih menjadi satu. Ia terharu dan bangga karena akhirnya adiknya bisa masuk ke universitas impiannya sejak SMP, dan Ia sedih karena mereka akan berjauhan mulai tengah tahun ini.
"Gue bangga banget sebagai kakak. Selamat ya," ujar Theo.
Jesslyn mengangguk, "Makasih juga, Kak. Ini berkat Lo dan Nana, my best support system ever," ujarnya.
Theo mengelus rambut adiknya lembut, "Gue yang makasih ke Lo karena selalu mandiri, dan gak pernah putus asa."
"Aaa Kak Theooo, jadi sedihhh," ujarnya kembali memeluk Theo.
Theo hanya tertawa geli melihat tingkah adiknya yang satu itu.
"Kapan emang Lo berangkat?"
"Agustus atau September katanya. Ih sedih banget Gue bakal jarang ketemu Lo sama Nana," ujarnya.
"Tenang aja, doain Gue cepet kaya biar tiap bulan bisa ke Singapore nengokin Lo," ujar Theo sembari tertawa.
"Eh iya gimana? Udah bilang sama Bang Adam senior Lo itu?" tanya Jesslyn kemudian. Ya, Theo sudah menceritakan semua pada adiknya, bahkan Jesslyn ikut andil dalam pembuatan keputusan Theo hari ini.
Theo mengangguk, "Ya. Udah, lagi nunggi info lagi dari dia," ujarnya.
"Bagus deh. Gilee keren banget lah uhuy nanti abang Gue jadi begaya macem Nam Do San."
Theo berdecak sebal, "Drakor aja kerjaan Lo," ujarnya.
"Yeu bodo amat dah yang penting hiburan. Gak kayak Lo nih stress malah bikin nambah stress diri sendiri plus Gue," ujarnya menyindir. Apakah ini pertanyaan sensitif? Tentu saja bukan.
"Ya sorry."
"Orang minta maaf tuh kalimatnya 'maaf ya' bukan 'ya maaf' gitu aja gak bisa pantes jomblo."
"Kayak Lo taken aja."
"Ya gimana ya Gue masih underage buat pacaran. Yang ada Lo tuh, suka sama orang bertahun tahun gak ada kemajuan."
Theo hanya menghela nafas dalam, adiknya itu mulai menjengkelkan.
"Gue mau ngabarin Kak Adri ah," ujar Jesslyn kemudian.
"Ngapain?"
"Ya ngabarin dia Gue keterima di NUS, kan selama ini dia banyak bantu Gue bang soal matematika. Tau sendiri lah susahnya soal-soal prediksi tes NUS, jadi Gue tanya Kak Adri karena Lo mah ogah ogahan bantuinnya," ujarnya.
"Oalah."
"Mama atau Papa mau Lo kabarin?" tanya Theo. Mendadak suasananya menjadi kelabu. Jesslyn terdiam, hanya fokus pada ponselnya.
"Tanpa Lo tanya juga Lo udah tau kan jawabannya?"
"Ada gunanya emang Gue ngabarin mereka? Toh mereka pergi pergi aja, uang yang mereka tinggalin aja gak pernah Gue pake dua tahun terakhir Bang," lanjutnya. Amarahnya kembali datang, mengingat bagaimana masa remajanya itu hancur, dan Ia bekerja keras sendiri untuk mempertahankan harga dirinya.
"Lo juga bisa bisanya mikirin dua orang itu di kondisi begini. Liat tangan Lo!" Jesslyn menunjuk nunjuk pergelangan tangan Theo yang masih diperban itu.
Theo hanya menelan salivanya, mendengar amarah adiknya yang lebih kuat darinya itu.
"Gue gak pernah marahin Lo karena Lo self-harm. Tapi mereka. Lo buang jauh-jauh deh mindset kalo mereka berkontribusi besar buat kesuksesan Lo!"
"Jesslyn!" seru Theo. Ia rasa adiknya itu sudah kelewatan.
"Jangan gitu. Gimanapun Mama dan Papa itu masih orangtua kita Jess! Lo gak akan ada di dunia ini tanpa mereka."
Jesslyn tersenyum simpul, "Bukan karena mereka, tapi karena Tuhan."
"Ya, terserah Lo. Tolong Lo kalo mau marah, balas dendam, silakan aja, Gue mewajari. Tapi tolong caranya ya, jangan kasar. Buktikan aja Lo itu berprestasi, dan bisa hidup mandiri tanpa bantuan mereka. Itu lebih elegan dibanding Lo memaki maki seperti tadi," nasihat Theo.
"Paham?"
"Iya paham."
Keduanya kemudian terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Begitulah Theo, Ia selalu berusaha tenang, dan mencegah adiknya yang bermental kuat itu juga untuk hati-hati. Sejauh ini Theo masih menghormati kedua orangtuanya, meskipun Ia membencinya. Serba salah menjadi Theo.
Ponsel Jesslyn kemudian bergetar tanda pesan masuk.
[WhatsApp]
(Jesslyn Han Brigita)
Kak Adryyy! Aku diterima di NUS. Thanks ya Kak atas bantuannya selama ini, huhu
(Adriana Gerrie)
Hah Really? Congrats ya Jesslyynn! Semangat terus untuk studi kamu kedepannya. Salam buat Theo dan Nana.
Jesslyn tersenyum membaca pesan Adri yang selalu menghangatkan itu. Dua tahun terakhir, sosok Adri sudah seperti kakak keduanya, Ia bahkan bercerita banyak hal hingga jalan-jalan bersama Adri beberapa kali. Meski terpaut umur cukup jauh, mereka selalu terkoneksi.
"Ada salam dari Kak Adri," ujar Jesslyn.
"Ya. Morning."
"Bang ..."
Theo memejamkan matanya, jengah dengan adiknya yang lagi-lagi memanggilnya dengan sebutan itu.
"Kak Adri udah punya pacar?" tanya Jesslyn sembari menunjukan IG story milik Adri. Tampak disana Ia berfoto dengan Januar di sebuah kafe.
Melihat foto itu sekilas, Theo mengangguk, "Iya. Udah lama."
"Hah? Kok Lo gak cerita? Terus Lo gimana Bang?"
Theo mendadak kikuk, "Ya ... gak gimana gimana. Emang harus gimana? Haha," ujarnya.
"Gue nanya serius. Lo pasti kenapa-kenapa kan?' tanya Jesslyn. Benar saja, Ia menatap Theo serius.
Theo menghela nafas dalam, "Selama itu pilihan dia, Gue selalu dukung Jess, sebagai sahabatnya. Gue rasa Januar, itu banyak ngasih pengaruh baik ke dia."
"Tapi tetep aja ..."
"Lupain Jess. Dari awal harusnya Gue gak suka sama dia, sadar diri kalo dari Tuhan aja Gue sama Adri udah beda."